Oleh: Reni Marlina*
NUSANTARANEWS.CO – Pajak merupakan sumber pendapatan Negara dalam melakukan pembangunan infrastruktur Negara. Hal ini terlihat di dalam struktur Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia, dimana pendapatan dari sektor pajak pada setiap tahunnya mencapai sekitar 70% dari total pendapatan negara. Walaupun kebijakan pajak merupakan hal yang menarik untuk diteliti dan sering menjadi objek diskusi, penelitian tentang pajak tidaklah banyak terutama terkait dengan penelitian yang bersifat mikro dan menyangkut data para wajib pajak. Hal ini dapat dipahami mengingat data perpajakan bersifat rahasia atau confidential. Di Indonesia, kerahasiaan data perpajakan di atur dalam UU No. 6 Tahun 1983 yang diubah terakhir kali oleh UU No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) Pasal 34.
Tax gap merupakan selisih antara jumlah potensi pajak yang dapat dipungut (taxes owed) dengan jumlah realisasi penerimaan pajak (taxes paid). Tax gap menunjukkan potensi penerimaan yang belum berhasil direalisasikan oleh otoritas pajak suatu negara. Dalam penghitungan tax gap, tidak ada lagi permasalahan perbedaan struktur sistem perpajakan pada kedua sisi, pembilang maupun penyebut. Ketika membandingkan dengan negara lain, penggunaan tax gap dianggap lebih fair karena perbedaan struktur perpajakan seperti tarif pajak, basis pajak, dan komponen penerimaan pajak telah dinetralisasi. (kemenkeu.go.id)
Berkaitan dengan penerapan sistem self-assessment di Indonesia, meskipun wajib pajak berhak untuk menghitung, menyetorkan, dan melaporkan sendiri jumlah pajak penghasilan yang harus dibayarkan, namun besarnya pajak yang dihitung oleh wajib pajak berdasarkan sistem tersebut belum bersifat pasti sebelum dikeluarkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) oleh DJP. Hal ini dimungkinkan karena berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan di Indonesia, masa daluarsa pajak adalah selama 10 (sepuluh) tahun, sehingga selama jangka waktu tersebut DJP berhak untuk melakukan pemeriksaan pajak atas Surat Pemberitahuan Pajak (SPT) yang telah dilaporkan oleh wajib pajak2. Inilah alasannya mengapa beban pajak kini (current tax expense) maupun pajak tangguhan (deferred tax expense) sering disebut taksiran pajak penghasilan (Purba dan Andreas 2005).
Dalam hal ini, pemungutan pajak dari masyarakat Indonesia masih belum memadai karena terdapat beberapa faktor yang menjadi kendala masyarakat dalam mengumpulkan pajak. Pertama, ketidaktahuan masyarakat dalam prosedur penyaluran pajak. Faktor kedua, regulasi atau sistem yang tidak seimbang sehingga menyebabkan gap/perselisihan. Di tahun politik ini, Indonesia sebentar lagi akan merayakan pesta demokrasi yang digelar setiap 5 (lima) tahun sekali. Tentunya, akan banyak sekali lading pajak yang bisa dikumpulkan oleh pemerintah. Misalanya pajak pertambangan, pajak tanah, pajak penghasilan atau pajak pertambahan nilai.
Di tahun politik ini akan memicu beberapa aspek misalnya tingkat konsumsi masyarakat yang semakin hari semakin meningkat. Dan bagi pajak perusahaan yang berbentuk badan hukum, tentu akan meningkatkan jumlah produksi karena permintaan semakin meningkat. Berkenaan dengan income tax gap di Indonesia masih kecil dana pajak yang terhimpun dari tax gap ini, karena realisasi yang tidak sesuai di lapangan. Problem ini bisa disebabkan karena sebuah perusahaan tidak memiliki pembukuan pajak yang akurat, perbedaan interpretasi atau kurangnya pengetahuan perpajakan wajib pajak, kurangnya bukti pendukung. Sehingga pemerintah enggan untuk melakukan penagihan pajak kepada wajib pajak. Dengan demikian penulis merekomendasikan strategi pengumpulan income tax gap.
Pertama, berkenaan dengan pajak terhadap perusahaan berbentuk badan, perusahaan terbuka memiliki potensi memiliki income tax gap yang lebih besar dibandingkan dengan perusahaan tertutup. Hal ini dapat dipahami bahwa, berbeda dengan perusahaan yang tidak tercatat, pada saat perusahaan tercatat di bursa maka perusahaan wajib menyusun laporan keuangannya berdasarkan standar akuntansi yang berlaku. Laporan keuangan yang diterbitkan oleh perusahaan tersebut lebih lanjut akan menjadi landasan untuk pengambilan keputusan oleh pihak lainnya dan dengannya pula pasar/market, termasuk investor, menilai kinerja perusahaan. Oleh karena itu, laporan keuangan perusahaan tercatat akan disusun sebaik-baiknya sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum untuk memenuhi ekspektasi investor dan pasar. Oleh karena itu, pemerintah hendak mewajibkan segala pembukuan terkait pajak terhadap perusahaan badan, baru-baru ini perusahaan start-up yang sedang naik daun tentu memiliki profit yang besar dan memiliki potensi yang besar pula. Kemudian koordinasi antara badan perpajakan yaitu dengan otoritas jasa keuangan (OJK) agar memberikan pengawasan terhadap perpajakan perusahaan, jika tidak demikian memberikan sanksi yang mana bisa memberikan efek jera.
Kedua, pembukuan perusahaan. Potensi income tax gap yang selanjutnya yaitu dari kurang akuratnya pembukuan sebuah perusahaan baik perusahaan start-up ataupun perusahaan berbentuk badan. Maka dari itu, hendaknya memberikan pengawasan kepada tax audit dalam pelaporan pajak untuk disertai dengan barang bukti pendukung. Karena pembukuan yang kurang jelas membuat badan perpajakan enggan untuk memungut pajak, padahal perusahaan-perusahaan startup saat ini sedang masanya. Khususnya pembukuan untuk UMKM, Saat ini sudah banyak para ahli akuntansi dalam bidang keuangan untuk membuat pembukuan yang sederhana, agar UMKM tersebut dapat berkolaborasi dengan jasa layanan keuangan dalam pembuatan pembukuan.
Ketiga, strategi Tax Planning merupakan perencanaan yang mana salah satu cara yang dapat dimanfaatkan oleh wajib pajak dalam melakukan manajemen perpajakan usaha atau penghasilannya, namun perlu diperhatikan bahwa perencaan pajak yang dimaksud adalah perencanaan pajak tanpa melakukan pelanggaran konstitusi atau Udang-Undang Perpajakan yang berlaku. Tax Planning adalah suatu kapasitas yang dimiliki oleh wajib pajak (WP) untuk menyusun aktivitas keuangan guna menmdapat pengeluaran (beban) pajak yang minimal. secara teoritis, tax planning dikenal sebagai effective tax planning, yaitu seorang wajib pajak berusaha mendapat penghematan pajak (tax saving) melalui prosedur penghindaran pajak (tax avoidance) secara sistematis sesuai ketentuan UU Perpajakan (Hoffman, 1961). Dimana perencanaan pajak disini tentunya harus diimplementasikan sesuai dengan undang-undang dan konstitusi yang tidak menyimpang. Perencanaan pajak selalu dimulai dengan meyakinkan apakah suatu transaksi atau fenomena terkena pajak. Kalau terkena pajak apakah dapat diupayakan untuk dikecualikan atau dikurangin jumlah pajaknya, selanjutnya apakah pembayaran pajak yang dimaksud dapat ditunda pembayaran dan lain sebagainya.
Dengan demikian, strategi tersebut dapat terealisasi dengan memperhatikan faktor-faktor yang telah diuraikan diatas, bahwasannya potensi dari adanya tax gap ini akan memberikan impact yang bermanfaat baik kepada wajib pajak maupun penyelenggara pajak.
*Reni Marlina, Mahasiswi STEI SEBI Depok. Sejumlah karya ilmiah, artikel dan cerpennya telah tersiar di berbagai media dan memenangi sejumlah kompetisi tingkat national.