Mengenai Pajak Penulis dan Seniman, Peneliti: Jangan Main Hantam Begitu

Pekerja Seni/Foto Croup/Net/Nusantaranews

Pekerja Seni/Foto Croup/Net/Nusantaranews

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Menindaklanjuti rencana Kementerian Keuangan dalam mengkaji ulang kebijakan Norma Penghitungan Penghasilan Netto (NPPN) 50 persen bagi profesi penulis dan seniman, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dikutip Tempo menyatakan pemerintah bakal memetakan ekosistem pekerja seni. Ini dilakukan karena ada berbagai macam profesi dalam pekerja seni yang berbeda-beda seperti, penari, pelukis, pembuat film, aktor, dan juga penulis.

“Nanti kita lihat dari sisi proses penetapan NPPN tadi, 50 persen norma apakah dianggap masih mencukupi untuk mencerminkan kebutuhan dari profesi pekerja seni,” kata Sri Mulyani, pada 13 September 2017 lalu.

Peneliti Atlantija Institut Nusantara Jacob Ereste melihat bahwa sikap pemerintah ini dinilai karena tengah panik akibat ancaman ekonomi Indonesia yang tidak kunjung sembuh akibat defisit berkepanjangan (baca: tax amnesty).

“Hendaknya janganlah main hantam begitu. Sebab seniman umumnya di Indonesia belum banyak yang terbilang dalam katagori berkecukupan. Rata-rata seniman di Indonesia sama memprihatinkan jika tidak bisa dikatakan senakin memburuk sekarang, dimana dunia tulis-menulis semakin sulit dan tidak populer menjadi pilihan profesi pekerjaan. Demikian juga bagi para seninan,” ujar Jacob dalam keterangannya, Jum’at 15 September 2017.

Kisah sastrawan Hamsad Rangkuti yang merana di usia tuanya, lanjut Jaco baru saja menghentak akal sehat banyak orang, khususnya seniman atau sastrawan di Ibukota, Jakarta. Lalu bagaimana caranya memajaki mereka yang tidak mempunyai penghasilan yang jelas ini?

“Rekam jejak Darmin (Menteri Ekonomi), Sri Mulyani bersama gengnya kata Edy Mulyafi sebagai penganut ekonomi neolib, terlanjur biasa mengikuti kemauan dan aturan para majikan asingnya; yaitu IMF, WB, dan ADB. Buktinya, mereka yang hanya mengandalkan APBN dan inflasi untuk urusan ekonomi makro, tetap anteng-tentrem dengan terus menggunakan gaya alon-alon asal kelakon. Sementara kondisi ekonomi semakin parah,” sambungnya.

Sebagai Menkeu, kata Jacob, Sri Mulyani Indrawati dianggapnya terkesan lebih sibuk mengutak-atik APBN. Dia menerapkan kebijakan austerity alias pengetatan bujet. Caranya, menggunting serangkaian anggaran, termasuk belanja sosial pemerintah.

Akibatnya, berbagai harga kebutuhan dasar melonjak. Gas LPG, listrik, dan BBM semua naik. Lonjakan komoditas startegis itu segera diikuti meroketnya berbagai harga kebutuhan pokok lainnya. “Tentu saja, yang paling terpukul adalah rakyat miskin dan nyaris miskin,” ungkap Jacob.

Kelompok yang disebut kedua itu pun akhirnya, kata dia tergelincir menjadi miskin begitu BBM dan listrik 900 VA naik.  Sedangkan yang sudah miskin, kian dalam tenggelam tingkat kemiskinannya, sebagaimana dirilis BPS beberapa waktu lalu. “Sebetulnya, ada sejumlah langkah yang bisa ditempuh untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi agar naik lebih tinggi dari sekadar 5%,” sambungnya.

Untuk mendongkrak ekonomi diatas 5% pemerintah patut mengambil langkah counter cyclical policies. Yaitu, kebijakan fiskal yang intinya meningkatkan pengeluaran (ekspansi) dan memotong pajak selama resesi. Amerika, Jepang dan Cina biasanya memompa ekonominya dengan kebijakan fiskal dan moneter. Amerika bahkan tidak segan-segan mencetak uang banyak-banyak untuk mengakselrasi ekonomi domestiknya.

“Tahun silam, reevaluasi aset telah menggelembungkan nilai BUMN lebih dari Rp 800 triliun. Pajak yang berhasil ditangguk pun mencapai Rp32 triliun. Jika dikombinasi dengan sekuritisasi asset, maka bukan mustahil kita bakal meraup dana lagi sekitar US$10 miliar,” kata Edy Mulyadi Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies yang ia kutip.

Pewarta/Editor: Romandhon

Exit mobile version