Politik

Mengawal Netralitas dan Independensi KPU dan Bawaslu, Salahkah?

Gedung KPU RI (Foto Dok. NUSANTARANEWS.CO)
Gedung KPU RI (Foto Dok. NUSANTARANEWS.CO)

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Menjelang dihelatnya pemilihan umum 2019, KPU dan Bawaslu menjadi dua institusi penyelenggara pemilu yang mendapat sorotan tajam dari masyarakat. Sekurang-kurangnya sejak kampanye dimulai pada 23 September 2018 lalu, kedua lembaga tersebut terus menuai kritik dan masukan.

Persoalannya ialah, muncul kekhawatiran KPU dan Bawaslu tidak mampu menjaga independensi dan netralitasnya. Apakah Bawaslu dan KPU dapat mengendalikan dan mengatasi jika terjadi berbagai kecurangan dalam pemungutan suara, menjadi pertanyaan penting dalam setiap kali agenda pemilu dan pilpres dilangsungkan, termasuk di ajang pesta demorkasi tahun 2019 ini.

Pemerhati kebijakan publik, Chazali H Situmorang menuturkan, KPU dan Bawaslu kini dibayang-bayangi oleh sejumlah persoalan krusial seperti DPT yang diklaim ada yang masih misterius, kotak suara dari kardus ada yang sudah hancur kena banjir, dan ada juga di makan rayap.

“Kita pahamlah situasi gudang di daerah itu tidak terpelihara dengan baik,” katanya, Jakarta, Senin (25/2/2019).

Baca Juga:  Sumbang Ternak Untuk Modal, Komunitas Pedagang Sapi dan Kambing Dukung Gus Fawait Maju Pilkada Jember

Menggugat kredibilitas dan integritas penyelenggara pemilu memang terkesan naif. Namun, berkaca pada sejumlah pesoalan dan dinamika yang terjadi di lapangan, KPU dan Bawaslu diharapkan mesti sadar bahwa setiap calon yang berkompetisi di pemilu kesemuanya menginginkan kemenangan. Sehingga, netralitas dan independensi mereka tentu sangat mahal harganya.

“Jika pola kerja Bawaslu dan KPU tidak mengalami perubahan dan perbaikan kedepan, saya tidak dapat membayangkan apakah Pilpres dan Pileg dapat berjalan sesuai harapan rakyat banyak,” kata Chazali.

Dia mengingatkan, pemerintah memberikan kepercayaan penuh kepada Bawaslu dan KPU untuk menyelenggarakan Pilpres dan Pileg. Namun demikian, pemerintah tidak bisa lepas tangan jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.

“Dan ujung dari tanggung jawab itu sebenarnya ada di Pemerintah Pusat, yang dipimpin oleh Presiden RI sebagai kepala pemerintahan,” jelasnya.

Menurutnya, KPU harus punya kompetensi sebagai farmakolog. Yaitu mereka yang menguasai komposisi apa saja dalam obat yang diuji coba. Sudah ada pemeriksaan dan analisis laboratorium terhadap kadar efek terapi yang diinginkan, dan berapa persen kadar yang menimbulkan efek samping.

Baca Juga:  Marthin Billa Kembali Lolos Sebagai Anggota DPD RI di Pemilu 2024

“Sehingga secara teoritis sudah dapat diperhitungkan apa yang terjadi. Tinggal dipastikan apakah kadar yang disiapkan sudah sesuai dengan kebutuhan efek terapi yang di inginkan dan cocok untuk tubuh mansia,” terangnya.

Dosen FISIP UNAS ini menambahkan, dalam dua seri debat capres-cawapres KPU sudah melakukan trial and error yang kebablasan, bahkan nyaris menimbulkan keributan karena ada pihak yang dirugikan.

“Dan KPU serta Bawaslu sepertinya tidak berdaya dan tidak mempunyai sikap yang tegas untuk mengatasinya. Ada kesan kedua lembaga ini lebih mengikuti irama musik yang dimainkan salah satu tim sukses paslon,” sebutnya.

Sekadar informasi, dalam dua kali debat capres KPU diketahui kebobolan oleh ulah capres nomor urut 01 yang kedapatan menyerang pribadi capres lain. Serangan kepada pribadi pada capres di debat kedua bahkan nyaris menimbulkan keributan di dalam ruang debat. Insiden ini dianggap sebagai kelalaian KPU karena menyerang pribadi merupakan pelanggaran terhadap aturan yang telah disepakati bersama. KPU berkilah, serangan terhadap pribadi capres tersebut di luar prediksi dan kendalinya.

Baca Juga:  Gambarnya Banyak Dirusak di Jember, Gus Fawait: Saya Minta Maaf Kalau Jelek Gambarnya

(eda)

Editor: Eriec Dieda

Related Posts

1 of 3,068