Berita UtamaFeaturedPolitik

Mengapa Serba Cawapres?

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Setahun menjelang dihelatnya pesta demokrasi akbar pemilihan presiden dan wakil presiden 2019, publik tanah air disuguhkan isu mengenai kemunculan sejumlah nama dan tokoh nasional yang bakal maju sebagai calon wakil presiden (cawapres). Sejumlah nama tokoh nasional mulai dihembuskan untuk menciptakan opini dan penilaian langsung dari publik negeri.

Anehnya, nama-nama tokoh nasional itu hanya mentok sebagai cawapres. Sejumlah Lembaga survei nasional masih menempatkan Joko Widodo dan Prabowo Subianto sebagai dua sosok calon presiden (capres) berdasarkan elektabilitas. Tidak adakah nama lain selain Jokowi dan Prabowo?

BACA: Mereka Ingin Jokowi Bertarung Melawan Kotak Kosong di Pilpres 2019

Sebelumnya banyak pihak yang mengendus adanya suatu upaya dan skenario untuk menciptakan calon tunggal pada Pilpres 2019. Nama capres tunggal tersebut tak lain ialah Joko Widodo. Dominasi nama eks walikota Solo ini mengakibatkan sejumlah nama tokoh nasional hanya ditempatkan di posisi ‘ban serep’ belaka, alias cawapres.

Lembaga survei Poltracking Indonesia misalnya, mendapuk sejumlah nama tenar sebagai cawapres. Di antaranya Gatot Nurmantyo, Agus Harimurti Yudhoyono, Anies Baswedan, Ridwan Kamil, Wiranto, Hary Tanoe, Susi Pudjiastuti, Khofifah Indar Parawansa, Mahfud MD, Sri Mulyani Indrawati, Ahmad Heryawan, Budi Gunawan, Muhaimin Iskandar, Muhammad Zainul Majdi (Tuan Guru Bajang), Zulkifli Hasan, Puan Maharani, Luhut Binsar Pandjaitan, Budi Waseso, Mohamad dan Shohibul Iman.

Baca Juga:  Anton Charliyan Lantik Gernas BP2MP Anti Radikalisme dan Intoleran Provinsi Jawa Timur

Lembaga survei Indo Barometer juga tak jauh berbeda. Hanya saja Indo Barometer menambahkan sejumlah nama lain seperti Basuki Tjahaja Purnama, Tri Rismaharini, Moeldoko, AA Gym, Tito Karnavian, Deddy Mizwar, Dedi Mulyadi, Jusuf Kalla, Bima Arya Sugiarto, Sandiaga Uno, Setya Novanto, Ganjar Pranowo, Oesman Sapta Odang, Wiranto, Hidayat Nurwahid, Said Aqil Sirodj, Yusril Ihza Mahendra, Surya Paloh, dan Ahmad Syaikhu.

BACA JUGA:
Kotak Kosong dan Ancaman Disintegrasi Bangsa (Bag. I)
Kotak Kosong dan Ancaman Disintegrasi Bangsa (Bag. II)

Menurut Poltracking, dalam simulasi sepuluh kandidat wakil presiden untuk Jokowi. Di antara yang tinggi ialah Gatot Nurmantyo (16.4%), Agus Harimurti Yudhoyono (16.0%), Sri Mulyani Indrawati (4.3%), Budi Gunawan (2.3%), Puan Maharani (1.3%), Muhammad Zainul Majdi (Tuan Guru Bajang) (1.3%), dan Budi Waseso (Buwas) (0.9%).

Adapun menurut Indo Barometer, dari simulai 8 nama cawapres Jokowi di antaranya Agus Harimurti Yudhoyono (17,1%), Gatot Nurmantyo (15,9%), Ridwan Kamil (9,5%), Moeldoko (3,0%), Puan Maharani (2,8%), Sri Mulyani (0,2%), Tito Karnavian (0,0%), dan Budi Gunawan (0,0%).

Hasil-hasil survei kemudian diperkuat dengan data hasil riset media monitoring Monitor Indonesia di mana disebutkan bahwa dari 10 nama yang menjadi objek pemberitaan, nama Joko Widodo (37%), Setya Novanto(26%), A Muhaimin Iskandar (9%) dan Gatot Nurmantyo (8%) merupakan tokoh paling banyak diberitakan terkait dengan tema partai politik, pemerintahan, parlemen serta pencapresan.

Baca Juga:  Dihadiri PPWI dan Perwakilan Kedubes, Peletakan Bunga di Monumen Gagarin Berlangsung Hikmad

Kecenderungan kedua dari dinamika politik tanah air ialah borong dukungan parpol. Diketahui PDIP, NasDem, Hanura, Golkar, PSI, PPP, Perindo dan PKPI telah secara resmi mengusung Jokowi sebagai capres 2019. Sementara PKS, PAN, Demokrat, PKB dan PBB belum resmi mengusung siapa. Partai Gerindra sendiri bersikukuh mengusung Prabowo Subianto.

Fenomena borong dukungan parpol ini seolah semakin mempertegas adanya upaya untuk menciptakan calon tunggal. Hal ini diperkuat juga dengan ketentuan ambang batas presiden (presidential threshold) yang ditetapkan 20-25 persen. Ketentuan yang mengundang kontroversi ini nyatanya sudah terlupakan begitu saja meski banyak pihak yang menduga ada skenario menciptakan calon tunggal melalui ketentuan tersebut. Anehnya, ketentuan ini sudah tak ada lagi yang mempersoalkannya.

Partai Gerindra dan PKS mengaku pernah ditawari untuk bergabung ke dalam lingkaran pemerintah, namun keduanya sampai saat ini masih memilih berada di barisan oposisi.

BACA JUGA:
Pilpres 2019: Jika Strategi Calon Tunggal Sukses, Ucapkan Selamat Tinggal NKRI

Walhasil, kini muncul isu bahwa barisan pendukung Jokowi tengah berupaya untuk membuat skenario politik Pilpres 2019 melawan kotak kosong. “Kemenangan kotak kosong tidak ada undang-undang yang mengaturnya. Hal ini akan memicu krisis legitimasi pada pemerintahan pasca pemilu. Sekalipun Jokowi menang melawan kotak kosong. Bisa dipastikan eskalasi politik akan terus menuju puncaknya. Krisis legitimasi ini akan mengarah pada disintegrasi bangsa. Disintegrasi dalam masyarakat Indonesia ditandai oleh beberapa gejala, diantaranya kerap kali terjadinya proses-proses sosial di masyarakat yang bersifat disosiatif (mengarah pada konfik),” ujar pengamat politik Bin Firman Tresnadi kepda NusantaraNews baru-baru ini.

Baca Juga:  Kepala DKPP Sumenep Ajak Anak Muda Bertani: Pertanian Bukan Hanya Tradisi, Tapi Peluang Bisnis Modern

BACA JUGA:
Presidential Threshold 20% Skenario Pilpres 2019 Calon Tunggal, Demokrat Menolak Tegas
Presidential Threshold 20 Persen Kepentingan Partai Pendukung Jokowi
Tiga Cacat Fundamental Presidential Threshold dalam Perspektif Demokrasi

Terlepas dari itu, sejumlah tokoh lain kembali dimunculkan sebagai capwares. Wakil Ketua Umum ICMI Bidang Politik Dalam Negeri Priyo Budi Santoso, misalnya mengusulkan sosok yang dinilai layak dipertimbangkan untuk mendampingi Jokowi dalam Pilpres 2019. Dia menyebut nama Jimly Asshiddiqie, Din Syamsuddin dan Mahfud MD sebagai sosok yang tepat mendampingi Jokowi. (red)

Editor: Eriec Dieda, Achmad S & Romandhon

Related Posts

1 of 60