EkonomiLintas NusaTerbaru

Mengapa Petani Miskin di Jawa Menerima IPHPS?

Pengkritik perhutanan sosial di Pulau Jawa memprediksi Permen LHK No P.39 /2017 ttg Perhutanan Sosial di Wilayah Kerja Perum Perhutani semakin memperburuk tata kelola hutan. Pengkritik dari Jawa Barat ini klaim, ribuan petani miskin pemegang IPHPS (Izin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial) orang tidak mempunyai keahlian khusus di bidang kehutanan. Mereka menyebabkan kesemrautan pengelolaan hutan negara.

Sesungguhnya prediksi pengkritik ini salah, mengada-ada, prasangka, apriori, ahistoris dan tak faktual. Petani miskin di Pulau Jawa Penerima IPHPS takkan memperburuk tata kelola hutan. Pengkritik tidak memahami ketentuan IPHPS. Pemegang IPHPS punya hak dan kewajiban, dan terima pembinaan dan fasilitasi.

Mengapa petani miskin Penerima IPHPS takkan merusak tata kelola hutan?

Pertama, Pemegang IPHPS menurut Permen LHK No. P.39:
1. Petani dengan matapencaharian utama mengerjakan lahan secara langsung.
2. Petani penggarap tidak memiliki lahan atau petani memiliki lahan di bawah atau sama dengan 0,5 Ha.
3. Petani dengan memperhatikan perspektif gender.
4. Pengungsi akibat bencana alam, diutamakan menjadi anggota kelompok.

Pemegang IPHPS sudah terbiasa hidup di bidang kehutanan dan mengerjakan langsung lahan. Sebagai petani menggarap, mereka warga negara tinggal di sekitar atau di dalam wilayah kerja Perhutani dibuktikan KTP (Kartu Tanda Pengenal) dan NIK (Nomor Induk Kependudukan), atau telah memiliki riwayat penggarapan dibuktikan dengan surat keterangan dari Ketua Kelompok Masyarakat, Ketua Kelompok Tani atau Koperasi. Karena itu, mereka memiliki pengetahuan dan pemahaman khusus di bidang kehutanan. Tingkat pendidikan formal mereka cenderung rendah. Tetapi, tak berarti tingkat Pengetahuan dan pemahaman khusus di bidang kehutanan rendah juga.

Baca Juga:  DPRD Nunukan Berharap Semenisasi di Perbatasan Dapat Memangkas Keterisolasian

Kedua, Pemegang IPHPS memiliki hak dan kewajiban. Petani miskin ini akan bekerja sesuai dengan hak dan kewajiban. Apa kewajiban mereka ?

1. Menjaga arealnya dari perusakan dan pencemaran lingkungan.
2. Memberi tanda batas areal kerjanya.
3. Menyusun rencana pemanfaatan jangka panjang selama 10 (sepuluh) tahun dan jangka pendek selama 1 (satu) tahun.
4. Melakukan penanaman dan pemeliharan di areal kerjanya.
5. Melakukan tata usaha hasil hutan.
6. Mempertahankan fungsi hutan.
7. Melaksanakan fungsi perlindungan.

Kewajiban ini mengharuskan pemegang IPHPS untuk mendukung meningkatkan tata kelola hutan yang baik. Takkan memperburuk Tata Kelola Hutan.

Ketiga, Pemegang IPHPS yang ribuan itu mendapatkan “pendampingan”. Pasal 9 Permen LHK Nomor 39 tahun 2017 berbunyi, Pemohon IPHPS dapat menunjuk pendamping LSM (lembaga swadaya masyarakat) setempat berbadan hukum. Dalam hal Pemohon IPHPS tidak menunjuk pendamping, maka Pokja PPS (Kelompok Kerja Percepatan Perhutanan Sosial) menunjukkan pendamping setempat berbadan hukum.

PPS adalah kelompok kerja membantu fasilitasi dan verifikasi kegiatan percepatan perhutanan sosial.

Pendampingan Pemegang IPHPS membuat sangat tak mungkin memperburuk tata kelola hutan. Justru, pendampingan ini membuat tata kelola hutan kian baik. Pengkritik mengabaikan adanya pendampingan Pemegang IPHPS.

Keempat, ada Monitoring dan Evaluasi (Monev), tentu saja dapat mengendalikan setiap prilaku Pemegang IPHPS. Harus laksanakan kewajiban.

Monitoring dilakukan secara berkala paling sedikit 1 kali setiap 6 bulan. Evaluasi paling sedikit 1 kali 1 tahun. Monev oleh Pemerintah, Direktur Jenderal, melibatkan Pokja PPS dan Perum Perhutani, dibantu Tim Kerja.

Baca Juga:  Tugu Rupiah Berdaulat Diresmikan di Sebatik

Monev tentu saja mengendalikan Pemegang IPHPS sehingga tidak memperburuk tata kelola hutan seperti diprediksi Pengkritik.

Kelima, Pemegang IPHPS tidak mungkin memperburuk tata kelola hutan karena Pemerintah melakukan langsung “pembinaan” dan “fasilitasi”. Sesuai Pasal 23 Permen LHK No P.39/ 2017, Direktur Jenderal, Kepala Badan, dan Kepala Dinas sesuai dengan kewenangannya melakukan pembinaan dan fasilitasi pelaksanaan perhutanan sosial. Pembinaan dan fasilitasi ini mencakup kegiatan al.: penandaan batas areal kerja, pemetaan dengan drone , pendampingan, penyuluhan, dukungan bibit, sarana produksi, bimbingan teknis, sekolah lapang, promosi/pemasaaran produk, penelitian dan pengembangan.

Pembinaan dan fasilitasi perhutanan sosial dapat juga diberikan oleh Kementerian/Lembaga, Lembaga keuangan, BUMN/BUMS, dalam rangka program pemberdayaan masyarakat

Pembinaan dan fasilitasi oleh Pemerintah dan lembaga2 negara ini mengarahkan Pemegang IPHPS meningkatkan tata kelola hutan yang baik, bukan justru memperburuk.

Keenam, Pemerintah memberi sanksi kepada Pemegang IPHPS. Pasal 24 Permen LHK Nomor P.39 menetapkan, dalam hal hasil evaluasi Pemegang IPHPS melakukan pelanggaran berupa pemindahan IPHPS kepada pihak lain dan melakukan manipulasi/pemalsuan data dikenakan sanksi pencabutan izin. Dalam hal hasil evaluasi pemegang IPHPS tidak memenuhi kewajibannya diberikan peringatan 3 kali berturut-turut dalam waktu 1 bulan dan dikenakan sanksi pencabutan izin.

Sanksi ini tentu saja membuat Pemegang IPHPS takkan menyimpang dari ketentuan Permen LHK No. P. 39., termasuk kegiatan dan pola tanam yang diperbolehkan.

Baca Juga:  Dongkrak Pertumbuhan Ekonomi UMKM, Pemkab Sumenep Gelar Bazar Takjil Ramadan 2024

Ketujuh, bukti lapangan dapat menyangkal prediksi pengkritik. Pd 6 Nop. 2017, Presiden Jokowi menyerahkan SK IPHPS lebih 1.662 orang di Desa Dungus,Wings, Kab. Madiun Jatim. Penerima SK IPHPS berasal dari Kab. Madiun, Kab. Tulung Agung, dan Kab Tuban. Seluruh Penerima IPHPS petani hutan di sekitar dan di dalam area kerja Perum Perhutani. Mereka sudah terbiasa hidup dan bekerja sebagai petani penggarap di bidang kehutanan.

Adalah keliru Pengkritik mengklaim, ribuan penerima IPHPS tidak mempunyai kemampuan khusus di bidang kehutanan. Persoalan fundamental bagi petani penggarap ini bukan kemampuan khusus, tetapi luas lahan hutan yang bisa dimanfaatkan. Selama ini mereka tanpa lahan atau maksimal 0,5 Ha dgn pendapatan rata-rata Rp 500 ribu per bulan/KK. Petani di acara ini mendapatkan dokumen negara sebagai pemanfaatan hutan negara maksimal 2 Ha, disebut SK IPHPS. SK ini payung hukum bagi Petani Penerima utk memanfaatkan lahan tersebut selama 35 tahun. Lahan ini bukan dibagi-bagi, tapi dipinjamkan oleh negara. Petani memberikan hasil bersih 30 % kepada perhutani, 70 % sisanya untuk petani tersebut.

Karena itu, tak ada alasan pengkritik memprediksi ribuan penerima IPHPS akan membuat tata kelola hutan tidak baik. Hidup mereka sejak kakek-nenek mereka sudah terbiasa di lingkungan kehutanan.

Tujuh alasan di atas menyangkal penilaian pengkritik dari Jawa Barat ini. Justru sebaliknya, implementasi Permen LHK No.P39/2017 ini turut meningkatkan kualitas tata kelola hutan di Pulau Jawa khususnya.

Penulis: Muchtar Effendi Harahap, Peneliti Senior NSEAS

Related Posts

1 of 4