Politik

Mengapa Elektabilitas Jokowi Melorot?

Rupiah Melemah (Ilustrasi/Nusantaranews)
Rupiah Melemah (Ilustrasi/Nusantaranews)

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Elektabilitas Joko Widodo dalam beberapa waktu terakhir mengalami penurunan. Indonesia Network Election Survei (INES) misalnya, menemukan adanya penurunan elektabilitas petahana yang cukup signifikan. Mengenai penurunan elektabilitas, pengamat ekonomi politik dari AEPI (Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia) Salamuddin Daeng melihat faktor ekonomi menjadi salah satu pemicu mengapa elektabilitas Jokowi melorot.

Dari kaca mata ekonomi, Salamuddin Daeng dikutip dari keterangan tertulisnya, Jum’at (11/5/2018) menjelaskan bahwa inflasi di Indonesia meningkat rata rata antara 4 (-/+1) persen setiap tahun. Inflasi artinya kenaikan harga harga secara umum. Misal harga bahan baku, bahan penolong dan harga harga kebutuhan hidup atau barang konsumsi meningkat. Namun kenaikan inflasi tidak diikuti dengan kenaikan upah, pendapatan petani dan pendapatan masyarakat. Kenaikan pendapatan masyarakat tidak lebih besar dari kenaikan inflasi.

Pemerintah menargetkan peningkatan inflasi setiap tahun dengan alasan inflasi merupakan instrumen untuk menggerakkan ekonomi, menggairahkan dunia usaha agar tetap mau berproduksi. Namun pemerintah tidak pernah menargetkan kenaikan upah dan pendapatan masyarakat dalam rangka menggairahkan buruh dan rakyat untuk bekerja.

Pemerintah menjadikan laju inflasi dalam rangka kepentingan APBN semata, bukan kepentingan menjaga dunia usaha, menjaga upah buruh atau pekerja dan menjaga pendapatan masyarakat. Inflasi hanya dikaitkan dengan target APBN.

Baca Juga:
Rizal Ramli: Sri Mulyani Gerogoti Elektabilitas Jokowi
Hasil Survei Keterpilihan dan Elektabilitas Jokowi Terkadang Tak Masuk Akal
Survei Indikator Posisikan Elektabilitas Jokowi Masih Teratas

Baca Juga:  KPU Nunukan Menggelar Pleno Terbuka Rekapitulasi Perolehan Suara Calon DPD RI

Pemerintah tidak pernah dapat menjaga target inflasi yang ditetapkan. Inflasi cenderung tidak terkendali terutama terkait dengan harga kebutuhan pokok. Akibatnya daya beli buruh atau pekerja dan masyarakat melemah.

Defresiasi mata uang rupiah terhadap USD. Pada tanggal 23 April 2017 nilai tukar rupiah terhadap USD senilai Rp. 13.050/USD. Pada 7 April 2018 nilai tukar rupiah terhadap USD senilai Rp. 13.775 atau mengalami defresiasi sebesar 5.56 %. Akhir April 2018 nilai tukar rupiah Rp. 13.900/USD dan sekarang telah melewati batas psikologisnya yahni Rp. 14000/USD. Diperkirakan rupiah akan terus melemah dikarenakan defisit dalam transakasi berjalan Indonesia yang besar.

Defresiasi akan berakibat pada kenaikan harga kebutuhan pokok, kebutuhan dasar. Sebagian besar kebutuhan pangan pokok diperoleh dari impor seperti pangan, minyak mentah yang mempengaruhi harga BBM dan listri, bahan baku industry yang mempengaruhi harga kebutuhan dasar lainnya seperti perumahan, pakaian, transportasi, kesehatan, obat obatan, dan lain lain.

Pemerintah ditenggarai sedikit senang dengan defresiasi mata uang rupiah terhadap USD karena bisa meningkatkan penerimaan Negara dari sumber luar negeri termasuk penerimaan utang dalam rangka membiayai APBN. Nanum pemerintah tidak memikirkan dampak bagi perusahaan yang membeli energy, bahan baku, dari impor serta utang perusahaan dalam bentuk USD.

Pemelamahn rupiah terhadap USD akan mengakibatkan berlanjutnya proses deindustrialisasi, menyebabkan banyak perusahaan di bidang industry bangkrut yang berakibat pada pemutusan hubungan kerja (PHK) dan hancurnya usaha usaha rakyat dikarenakan biaya produksi nasional jauh lebih mahal ketimbang barang impor.

Baca Juga:  Ketua DPRD Nunukan Gelar Reses Dengan Para Pedagang di Pasar Yamaker

Suku bunga yang tinggi. Suku bunga di Indonesia merupakan salah satu yang paling tinggi di dunia. Satu satunya yang dapat dijanjikan oleh pemerintah untuk menarik investasi asing agar masuk ke Indonesia adalah suku bunga.

Bank bank nasional berhutang ke luar negeri dengan bunga rendah, lalu meminjamkan kepada masyarakat indonesia dengan bunga yang sangat tinggi, bahkan cenderung sangat mencekik. Bank bank nasional saat ini eksistensinya ditopang oleh utang bukan oleh tabungan masyarakat.

Kebijakan suku bunga yang tinggi ini mengakibatkan usaha usaha produktif tidak berkembang, kesempatan kerja langka, hanya surat utang negara yang laku keras. Suku bunga yang tinggi mendorong perusahaan melakukan langkah efisiensi, menekan upah dan membawa dunia usaha kepada prioritas membayar utang. Negara menjadi rentenir bagi warga negara.

Pajak dan berbagai pungutan lainnya yang bersifat memaksa sangat diskriminatif. Satu sisi masyarakat disedot dengan pajak tinggi, industri nasional disedot dengan pajak besar, sementara investor asing mendapatkan berbagai fasilitas fiskal. Sistem pajak di Indonesia mengi

Masyarakat malas dalam berinvestasi dikarenakan dibebani pajak yang besar dan berbagai pungutan lainnya termasuk pungutan pemerintah daerah, retribusi dan lain sebagainya. Akibatnya udaha usaha nasional, industri nasional lesu darah. Hidup segan mati tak mau.

Importir mendapatkan kemudahan bebas bea masuk. Sementara barang barang yang dihasilkan di luar negeri jauh lebih murah dikarenakan kebijakan negara negara lain yang mendukung industri nasional. Akibatnya industri dalam negeri ambruk karena tidak mampu bersaing.

Baca Juga:  Prabowo-Gibran Resmi Menang Pilpres 2024, Gus Fawait: Iklim Demokrasi Indonesia Sudah Dewasa

Pajak di Indonesia tidak pernah dapat menjadi instumen distribusi pendapatan dikarenakan terindikasi pengelolaannya sangat korup mulai dari sisi korupsi penerimaan hingga korupsi pengeluaran. Akibatnya pajak adalah penghambat yang besar dalam memajukan kesejahteraan umum.

Harga minyak mentah selama dua tahun terakhir cenderung meningkat dari bulan April tahun 2017 antara rata rata USD 50-55 /barel, menjadi 60-65 USD per barel antara bulan marel sampai april 2018 atau mengalami peningkatan 18%. Sekarang harga minyak telah melewati batas USD 70 /barel.

Kenaikan harga minyak mentah akan mempengaruhi harga energi untuk industri dalam negeri terutama industri dasar seperti besi baja, petrokimia, meningkatkan ongkos produksi perusahaan dalam negeri. Akibatnya perusahaan bangkrut atau melakukan efesiensi dengan mengurangi upah, atau PHK.

Kenaikan harga minyak mentah akan mengakibatkan ongkos produksi BBM dan listrik meningkat. Ini memicu peningkatan harga energi yang dijual oleh perusahaan tersebut untuk kepentingan industri. Ongkos produksi industri meningkat.

Kenaikan harga minyak mentah akan meningkatkan biaya produksi BBM dan listrik bagi masyarakat. Ini akan memicu kenaikan harga jual BBM dan lsitri komersial kepada masyarakat. Akibatnya daya beli masyarakat akan melorot. Sederet persoalan krusial ekonomi inilah menurut Salamuddin Daeng menjadi penyebab elektabilitas Jokowi menurun.

Pewarta: Almeiji

Related Posts

1 of 3,072