Opini

Meneropong Pilgub Jatim (Bag IV): Kemana Suara Alumni 212 di Pilgub Jatim?

NUSANTARANEWS.COAlumni 212 di Jawa Timur jumlahnya besar. Bagi siapapun yang ingin mendulang suara, alumni 212 menjadi lumbung. Sosok alumni 212 tidak bisa diremehkan dalam kancah perpolitikan di Indonesia. Pasca reuni 212 pada 2017, massanya cair. Presidium 212 sekadar memberikan himbauan untuk tetap konsisten mendukung parpol yang membela umat Islam. Dalam hal ini kaitannya dengan parpol yang tidak setuju dengan Perppu Ormas. Semisal PKS, PAN, dan Gerindra.

Ada bebarapa hal yang penting untuk memahami massa 212, sebelum mengeja pergerakannya di pilgub Jatim.

Pertama, aksi 212 dan sepadannya yang dihadiri jutaan umat Islam menunjukan ada kegairahan politik. Bukan tujuan berpolitik praktis. Lebih pada kesadaran untuk melakukan pembelaan pada agamaya (Islam).

Kedua, alumni 212 pasca rentetan aksi merupakan massa cair. Kesadarannya bergerak dipantik oleh suatu persoalan yang menyentuh aqidahnya. Hal ini berkaitan dengan penistaan agama Islam. Karenanya, massa cair ini bisa ditarik dan digerakkan.

Ketiga, kesadaran ideologis belum menjadi panduan alumni 212. Memang ada aktor-aktor yang menyatukan dalam aksi, namun massa belumlah orang yang terbina matang secara intelektual dan pergerakan. Pada akhirnya pergerakan masih simbolik dan parsial. Belum pada tataran revolusioner.

Baca Juga:  Presiden Resmi Jadikan Dewan Pers Sebagai Regulator

Keempat, pragmatisme senantiasa meliputi alumni 212. Hal ini bisa dilihat dari pembelokan perjuangan yang ditarik pada kepentingan ekonomi dan beberapa pendirian koperasi. Banyak pula dana yang sudah diinvestasikan oleh alumni. Hanya berbekal nama “212” banyak yang memanfaatkan momen ini.

Kelima, persatuan yang dibangun dari aqidah pada masa aksi belum menyatu ke perjuangan berikutnya. Padahal, penting untuk merumuskan perjuangan ke depan agar energi yang dikeluarkan tidak ditumpangi kepentingan politik pragmatis. Dalam perjuangan alumni 212 harus memiliki goal setting dan panduan yang jelas. Mengingat persoalan umat sudah mendera di segala bidang, tidak sekadar ekonomi atau penistaan agama. Karenanya dibutuhkan kesadaran politik, hukum, dan ideologi yang sahih agar perjuangan berasa manfaatnya.

Karena itu, bagi social movement dan pressure group di Indonesia, khususnya alumni 212 harus memiliki road map jelas. Ketidakjelasan road map menjadikan pergerakan jalan di tempat. Kalaulah tidak ingin dibilang mati. Pada akhirnya sangat disayangkan jika ada pihak yang tidak bertanggung jawab memanfaatkan alumni 212 dalam kepentingan politiknya. Yang kemudian, alumni itu sekadar diambil suaranya dan ditinggal pasca pesta politik.

Baca Juga:  Keluarnya Zaluzhny dari Jabatannya Bisa Menjadi Ancaman Bagi Zelensky

Mengeja Arah Alumni 212

Jika dilihat komposisi alumni 212 di Jawa Timur dapat diamati berasal dari ragam latar belakang. Baik tingkat pendidikan, maupun organisasi massa Islamnya. Kondisi itu bisa dilihat dari mobilisasi massa pada aksi 212 dengan ragam moda transportasi dan lembaga yang memberangkatkan. Hal utama yang memanggil mereka bergerak adalah dorongan aqidah Islam. Ini merupakan modal utama bagi siapapun yang merindukan perjuangan heroik.

Arahan dari presidium 212 jelas pada segenap alumni. Pertama, jangan pilih partai pendukung penista agama. Kedua, jangan pilih partai pendukung perppu ormas. Dua hal inilah yang saat ini coba diantisipasi oleh pihak keamanan dan BAWASLU agar tidak terjadi kampanye SARA. Baik di medsos, ceramah agama, maupun demonstrasi. Peneyelenggara Pilkada tampaknya belajar dari Pilkada DKI 2017 yang dianggap menjadi kegaduhan politik nasional.

Sialnya, dua seruan di atas tampaknya menjadikan alumni 212 dilema berat. Pasalnya, koalisi dalam model politik demokrasi begitu cair di daerah. Jika di pusat mereka sepakat dan bekerja sama dalam kepentingan tertentu. Lain halnya di dareah yang juga memiliki kepentingan berbeda.

Baca Juga:  Catatan Kritis terhadap Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2024

Publik sudah mengetahui Gus Ipul-Puti diusung PDI-P dan PKB di awal. Jelas jika komposisi seperti itu, alumni 212 akan memilih pasangan yang lain. Nah pada akhirnya, Partai Gerindra dan PKS yang digadang-gadang tetap membela kepentingan umat menjatuhkan pilihannya. Kedua partai bergabung dengan partai pengusung Gus Ipul-Puti.

Nasib PAN pun sama. PAN akhirnya berlabuh bersama Golkar, Nasdem, Hanura, dan Demokrat mendukung Khofifah-Emil. PAN yang juga digadang-gadang tetap kritis di daerah, mau tidak mau harus menerima kenyataan politik.

Jika kenyataan seperti ini, alumni 212 dipastikan ada kegalauan besar. Berat rasanya harus menjatuhkan pilihan kepada siapa? Karenanya alumni 212 mulai hari ini dan ke depan harus memiliki panduan politik yang jelas. Karena alumni 212 adalah muslim, maka standar politiknya harus Islam. Jangan sampai termakan rayuan orang-orang yang mempolitisi Islam demi kepentingan sesaat. Karenanya tetap waspada dan kembalilah mengkaji politik Islam berdasarkan panduan quran dan sunnah.

Publik pun pasti bisa mengeja. Ke mana arah alumni 212 menjatuhkan pilihannya? Atau bahkan alumni 212 perlu ikhtiar politik dan membuat arus baru? Entahlah!

Penulis: Hanif Kristianto (Analis Politik dan Media)

Related Posts

1 of 29