ArtikelInspirasiTerbaru

Menengok Program Energiewende di Jerman

NUSANTARANEWS.CO – Program Energiewende kini menjadi tren di negara-negara Eropa untuk melepaskan ketergantungan dari energi nuklir dan bahan bakar fosil, beralih kepada penggunaan energi baru dan terbarukan. Sejak tahun 2011 Kanselir Angela Markel secara resmi meluncurkan Program Energiewende atau program transisi energi dengan empat target utamanya yaitu:

  1. Penghentian pemakaian PLTN secara bertahap hingga sepenuhnya dihilangkan pada tahun 2022;
  2. Pengurangan emisi gas rumah kaca dengan baseline tahun 1990: 40% pada 2020, 55% pada 2030, 70% pada 2040, 80-95% pada 2050;
  3. Pengembangan energi terbarukan dan peningkatan peranannya dalam konsumsi listrik: 40-45% pada 2025, 55-60% pada 2035, lebih dari 80% pada 2050;
  4. Peningkatan efisiensi energi sehingga terjadi pengurangan konsumsi listrik dengan baseline tahun 2008: 10% pada 2020, 25% pada 2050.

Sementara Pemerintah Perancis sejak Maret 2015 telah mengeluarkan undang-undang energi yang mengurangi penggunaan energi nuklir sebesar 20%, dan menjadi 50% di tahun 2030. Sehingga separuh kebutuhan dipenuhi dari pasokan energi baru dan terbarukan.

Baca Juga:  Jadi Bulanan Serangan Hoaks, Pemuda Pancasila Dukung Gus Fawait Djos di Pilkada Jember

Menurut Lard Waldmann dari Angora Energiewende, sebuah lembaga think tank Jerman yang bekerja untuk kebijakan energi di Jerman, salah satu kunci utama keberhasilan program adalah kerja keras pemerintah untuk menciptakan situasi yang kondusif, baik untuk kalangan investor dan pilihan bagi masyarakat untuk menggunakan jenis teknologi dan layanan.

Ide mengenai program transisi energi sendiri ini sebetulnya bukan hal yang baru bagi masyarakat Jerman, karena sejak tahun 1970-an telah tumbuh gerakan yang menolak menolak penggunaan nuklir sebagai sumber energi.

Tidak heran bila dalam kurun waktu 25 tahun, produk dan teknologi energi terbarukan buatan Jerman berkembang sangat pesat dan dikenal sebagai produk yang efisien dengan harga yang terjangkau.

Perusahaan di Jerman kini mampu memproduksi listrik dari solar panel dengan harga kisaran 8-9 cent euro/kwh, dan di masa depan banyak kalangan yang memperkirakan harga ini bisa turun lagi hingga 2 euro cent/kwh. Ini merupakan harga teknologi yang paling murah di dunia.

Baca Juga:  Skenario Terbaik yang Bisa Diharapkan Indonesia dari Presiden Prabowo

Selain teknologi solar panel, teknologi windmill juga tumbuh dengan pesat. Saat ini, harga listrik dari windmill (di daratan) berkisar 6-9 cent euro/kwh. Dengan begitu, windmill (di daratan) dan solar panel saat ini sudah sangat kompetitif dibandingkan dengan teknologi berbahan bakar fosil seperti gas atau batubara.

Pemerintah Jerman juga mengintegrasikan semua tipe pembangkit energi terbarukan ke dalam European Interconnected Electricity Grid, yang secara otomatis dalam digunakan sewaktu waktu untuk memenuhi kebutuhan listrik ketika kondisi cuaca sedang memburuk, seperti hujan, kecepata angin yang rendah atau sinar matahari yang kurang terik.

Pemerintah Jerman mengenalkan sistem feed-in tariff khususnya industri solar panel dan windmill. Dengan sistem ini investor, baik individu atau perusahaan mendapat tawaran keuntungan investasi jangka panjang melalui pemasangan solar panel dan windmill ke dalam jaringan listrik.

Jadi selama masih tersambung ke dalam jaringan listrik dan masih menghasilkan listrik, maka investor akan mendapatkan uang untuk setiap kwh yang dihasilkannya. Skema ini berbeda dari insentif pajak dimana investor akan mendapatkan dana di muka pada saat memulai investasinya, namun tidak mendapatkan insentif lain pada saat beroperasi.

Baca Juga:  Ikatan Pedagang Pasar Indonesia Dukung Cagub Risma di Pilgub Jatim

Dengan sistem feed-in tariff, investor di Jerman memiliki jaminan dari pemerintah bahwa uang yang mereka investasikan akan dikembalikan dalam periode tertentu. Saat ini sambungan solar panel ke dalam jaringan listrik mencapai 2,5 GW per tahun dan windmill mencapai 3,5 GW per tahun. (banyu/disunting dari http://iesr.or.id)

Related Posts

1 of 8