Kini Jokowi telah lebih 3 tahun sudah menjadi Presiden RI. Apakah ia berhasil atau gagal memenuhi janji kampanye di dalam Tri Sakti dan Nawacita serta sasaran (RPJMN 2015-2019)?
Secara umum kondisi politik dalam negeri dapat digambarkan dari penilaian sejumlah Politisi dan Pakar sebagai berikut:
Pertama, Prabowo Subianto dalam buku Paradoks Indonesia: Negara Kayaraya, Tetapi Masih Banyak Rakyat Hidup Miskin (Jakarta: KGN, 2017) menjelaskan demokrasi Indonesia berada dalam keadaan sangat rawan. Terlalu banyak pemimpin bisa disogok, bisa dibeli. Akhirnya mereka tidak menjaga kepentingan rakyat, tidak mengamankan kepentingan rakyat, tetapi malah menjual negara kepada pemodal besar, bahkan bangsa asing. Banyak pemimpin bukan taat kepada UUD, kepentingan bangsa, tetapi kepada uang. Ini semua karena demokrasi kita laksanakan, demokrasi liberal yang membutuhkan biaya sangat besar.
Kedua, Ketua DPP PKS Pipin Sopian (detikNews, 2/11/2017) menegaskan, IDI saat ini menurun, secara berkala dari tahun 2014, 2015, dan 2016. Ia memprediksi tahun ini juga akan menurun. IDI ditentukan oleh tiga aspek: (1) kebebasan sipil, hak politik masyarakat, dan efektifnya lembaga demokrasi. Kebebasan sipil saat ini mulai terkekang. Penegakan hukum seakan ada proses pembiaran. (2) ketiadaan equality before the law. (3) menurunnya partisipasi Parpol karena ada intervensi terlalu kuat terhadap Parpol. Ada proses ‘pemaksaan’ untuk mendukung pemerintahan Jokowi-JK. PKS melihat IDI sekarang mengalami penurunan.
Ketiga, Rilis Hasil Survei Nasional CSIS: 2 Tahun Jokowi (Agustus 2016) menunjukkan persepsi publik tentang perkembangan demokrasi dalam 10 tahun terakhir yakni 61,1% responden menilai demokrasi telah berkembang. Sebanyak 25,7% menyebut tidak ada perubahan khusus. 7,3% menilai demokrasi mengalami kemunduran dan 5,9% tidak jawab.
Sedangkan tingkat dukungan publik terhadap demokrasi, yakni sebanyak 55,1% menilai demokrasi adalah sistem politik lebih baik. Sedang 21,3% menilai dalam kondisi tertentu sistem non demokrasai diperlukan. Sisanya 16,9% menilai sistem politik yang ada tidak berpengerauh apapun dan 6,7 % tidak jawab.
Atas pertanyaan figur pemimpin dianggap penting bagi Indonesia, yakni sebanyak 65% menilai mempunyai kepemimpinan tegas, tapi harus tetap dalam sistem demokratis. Sementara 22,9% menilai kepemiminan yang kuat dengan sikap kurang demokratis, tidak apa-apa selama membangun ekonomi dan masyarakat. Sisanya, 7,9% kepemimpinan kuat/tegas penting, dan tidak masalah jika demokratis atau tidak serta 3,8% tidak jawab. Jumlah sample dalam survei ini 1.000 orang, tersebar secara proporsional di 34 Propinsi di Indonesia. Pengumpulan data dilakukan pada 8-15 Agustus 2016 melalui wawancara tatap muka menggunakan kuesioner terstruktur.
Keempat, Hasil survei BPS (2016) tentang Indeks Demokrasi Indonesia (IDI). IDI 2016 mengalami penurunan dibanding 2015. IDI 2016 sebesar 70,09, masih dalam kategori sedang. Meskipun ada penurunan dibandingkan 2015. IDI tahun 2016 mencapai 70,09 dalam skala indeks 0-100.
Angka ini turun dibanding IDI 2015, mencapai 72,82. Penurunan IDI 2016 dipengaruhi 3 aspek demokrasi. (1) kebebasan sipil, turun 3,85 poin dari 80,30 menjadi 76,45. (2) hak-hak politik, turun 0,52 poin, dari 70,63 menjadi 70,11. (3) lembaga-lembaga demokrasi, turun 4,82 poin, dari 66,87 menjadi 62,05.
Selanjunya, Indeks Kebebasan Sipil adalah 76,45, hak-hak sipil 70,11, lembaga demokrasi 62,05. Ketiga aspek IDI ini mengalami penurunan dibanding tahun sebelumnya. Penurunan terbesar terjadi pada aspek lembaga demokrasi. Indeks kebebasan sipil 2016 menurun 3,85 poin dibanding 2015, Indeks hak-hak politik menurun 0,52 poin, juga indeks lembaga demokrasi turun 4,82 poin.
Kelima, Komisi Informasi Pusat (KIP) menilai pemerintah terkesan masih setengah hati dalam mendukung keterbukaan informasi publik karena belum satu kata dari seluruh kalangan eksekutif dalam menjalankan keterbukaan informasi publik (27/2/2017). Banyak Badan dan Lembaga, khususnya instansi Pemerintah enggan dalam memberikan informasi publik.
Mirisnya lagi, masih ada berberapa Provinsi belum memiliki Komisi Informasi, antara lain; Kalimantan Utara, NTT, Sulawesi Tenggara, Maluku Utara dan Papua. Pada 2016 Komisi Informasi sudah terbentuk di 29 Provinsi, 3 Kabupaten dan 1 Kota.(27/10/2016).
Di lain pihak, ada penilaian, hingga saat ini proses mendapatkan informasi publik terbilang sulit. Harus melalui jalur hukum panjang dan menghabiskan banyak waktu. Ketika putusan Komisi Informasi menyatakan sebuah informasi sebagai informasi terbuka bagi publik, biasanya badan publik selaku termohon melakukan banding, dan bisa jadi informasi gagal terbuka lewat keputusan di Pengadilan Tata Usaha Negara atau di Mahkamah Agung (MA). Bahkan ketika MA sudah memutuskan sebuah informasi terbuka, putusan tersebut tidak dilaksanakan oleh badan publik.
Uraian di atas dapat digunakan untuk menilai keberhasilan Jokowi mencapai sasaran terutama parameter IDI dan informasi publik. IDI diharapkan tercapai 71 pd 2019. Pd 2016 sudah tercapai 70,09 (sedang), menurun dibandingkan IDI 2015 (72,82). Karena itu, belum berhasil mencapai target IDI 71. Diperkirakan untuk tahun-tahun ke depan, akan terjadi penurunan IDI sehingga menjadi jauh dari keberhasilan.
Parameter kinerja Jokowi selanjutnya, kebebasan sipil 87, dan hak-hak politik 68 pada 2019. 2016 Indeks kebebasan sipil 76,45; hak-hak politik sipil 70,11; lembaga demokrasi 62,05. Ketiga aspek IDI mengalami penurunan dibanding tahun sebelumnya. Penurunan terbesar terjadi pada aspek lembaga demokrasi. Indeks aspek kebebasan sipil 2016 menurun 3,85 poin dibanding 2015, Indeks hak-hak politik menurun 0,52 poin, juga indeks lembaga demokrasi turun 4,82 poin.
*Muchtar Effendi Harahap, Ketua Tim Studi Network for South East Asian Studies (NSEAS)