Esai

Menemukan Wajah Tiranik Kita

Lelaki Seribu Wajah dan Puisi Y.E. Pertiwi lainnya. (Ilustrasi/NUSANTARANEWS.CO)
Lelaki Seribu Wajah dan Puisi Y.E. Pertiwi lainnya. (Ilustrasi/NUSANTARANEWS.CO)

Menemukan Wajah Tiranik Kita

Bila kita membaca karya sastra berjudul Tree Without Roots (Pohon Tanpa Akar) karya Syed Waliullah (Bangladesh), secara lugas menggambarkan intrik dan dusta dari oknum yang menamakan diri “tokoh agama”, tetapi pintar mencari untung dengan menjual kharisma dan kewibawaan. Segala simbol dan ajaran agama cenderung dipolitisasi, didramatisasi, dan disakralkan. Masyarakat awam yang tak berpendidikan seakan menjadi aset utama bagi Ustad Majid, tokoh utama dalam novel tersebut.

Entah siapa yang mengawali penyebutan ‘Ustad’ atau ‘Syekh’ bagi seorang Majid yang mengembara dan singgah di perkampungan subur dan makmur itu. Tiba-tiba ia mengultuskan diri selaku “orang pintar” setelah membangun gundukan tanah di samping tempat tinggalnya. Ia berdakwah di tengah masyarakat bahwa kuburan itu adalah makam seorang wali yang sakti, dan karenanya lokasi sekitar makam harus dikeramatkan.

Lambat laun dakwah-dakwahnya berhasil. Masyarakat mengira bahwa kesaktian yang dimiliki Ustad Majid adalah karomah. Padahal, ia melakukan tipu-muslihat dengan kepintaran dan kelicikannya yang membuat kenaikan derajatnya terus meningkat. Inilah yang disebut “istidraj”, berasal dari kata “daraja” (bahasa Arab), yakni kenaikan derajat yang bersifat semu dan fatamorgana. Di dunia keilmuwan dikenal istilah “juggernaut” – yang menurut Anthony Giddens – sebagai penemuan teknologi raksasa yang pada awalnya dapat diarahkan, tapi kemudian bergerak tanpa kendali, lepas kontrol (unstoppable), sampai pada waktunya menabrak, menggilas dan menghancurkan dirinya sendiri.

Sebagaimana yang dikisahkan dalam Tree Without Roots, Ustad Majid yang pandai berceramah itu, berkoar-koar menciptakan opini publik, membangun pembenaran tentang adanya makam wali tersebut. Perlahan tapi pasti, sambil mengemas mantra-mantra sakti melalui bacaan-bacaan Alquran, ia pun menampilkan diri selaku juru selamat dan memberikan ajian-ajian untuk mengobati orang sakit. Beda dengan karomah yang bersifat menolong tanpa pamrih, tapi istidraj yang dibangun Majid justru bersifat “minteri” alias memolitisasi orang bodoh sebagai aset-aset berharga.

Seni dan Reifikasi Indonesia

“Enggak tahu kenapa, saya terus memproduksi cerita itu, dan saya terjebak dan mengembangkan cerita itu. Saya enggak pernah membayangkan kenapa bisa terjebak dalam kebodohan seperti ini. ”Pernyataan tersebut disampaikan oleh aktivis dan pekerja seni Ratna Sarumpaet dalam jumpa pers di kediamannya, Kampung Melayu, Jakarta Timur (3 Oktober 2018).

Pada awalnya, cerita yang dibikin-bikin Ratna mengenai lebam di wajah dan pemukulan atas dirinya, hanya guyonan di lingkungan keluarganya. Tapi kemudian menyebar sedemikian rupa, hingga si pembuat cerita itu membenarkannya seakan-akan kenyataan yang pernah terjadi. Ratna berkesimpulan bahwa cara-caranya itu adalah bodoh dan tak patut dicontoh oleh siapapun.

Baca Juga:  Malam Penentuan

Cerita fiktif yang diciptakan hingga kemudian berkembang menjadi kenyataan sejarah yang dipercaya publik – dalam terminologi sastra Indonesia – dikenal sebagai “reifikasi”. Istilah itu diperkenalkan pertama kali dalam novel Pikiran Orang Indonesia, mengenai catatan harian seorang presiden yang membongkar reifikasi Indonesia. Dalam kasus Ratna, meskipun diakui oleh pelakunya sebagai tindakan bodoh yang tak patut dicontoh, namun sebagai pekerja seni seakan-akan ia sedang menampilkan diri di panggung teater. Bila dihubungkan dengan novel Pikiran Orang Indonesia yang pernah diuraikan KH Eeng Nurhaeni di harian Media Indonesia dalam artikel berjudul Skizofrenia dan Hasrat Berkuasa (24 April 2019), sungguh sangat relevan dengan kondisi kekinian dan keindonesiaan kita.

Pada kata pengantar penerbitnya (Fikra Publishing, Jakarta), novel tersebut dengan lugas menggugat peran dan andil penguasa dan angkatan perang (militerisme) yang selalu memanfaatkan permainan bahasa dalam sengketa teori-teori politik, sampai-sampai mereka sendiri lupa dan tidak menyadari adanya “reifikasi” yang sebenarnya pernah mereka ciptakan sendiri. Coba bayangkan, reifikasi yang dibangun Orde Baru dengan menghembuskan isu wanita-wanita Gerwani yang seakan menari-nari telanjang di antara tumpukan mayat-mayat para jenderal. “Badan saya merinding, bukan karena cerita tentang peristiwa yang dibikin-bikin oleh mereka, tapi karena saya tak pernah menduga ada orang Indonesia yang berambisi untuk berkuasa, sampai-sampai tega menciptakan kebohongan yang begitu kejinya,” demikian penegasan Pramoedya Ananta Toer kepada novelis muda Hafis Azhari, saat diwawancarai untuk program historical memories Indonesia.

Fitnah Kolektif dan Wajah Kita

Apakah ada wanita telanjang yang menari-nari di antara tumpukan mayat-mayat korban G30S? Dalam penampilan film Pengkhianatan G30S/PKI, digambarkan seolah-olah ada. Dari judulnya saja, nampak kepentingan politis dari penguasa yang menunggangi dunia kesenian Indonesia, sehingga karya-karya seni berkutat dalam logika keras tanpa hati nurani. Hanya mementingkan ego berkesenian atau kebebasan ekspresi yang bersandar pada pernyataan politik dan bukan pernyataan ilmiah. Karenanya, bobot religiusitas dan universalitas dalam film tersebut, tak pernah mengenai sasaran untuk mencerdaskan rakyat Indonesia.

Baca Juga:  Malam Penentuan

Secara pribadi, saya merasakan betul pikiran dan perasaan yang dialami Ratna Sarumpaet selaku warganegara Indonesia. Betapapun nyinyir dan jengkelnya sebagian masyarakat kita, Ratna bukanlah seniman yang mudah hanyut dalam arus logika kepentingan politik tertentu. Ia tergolong pekerja seni yang banyak makan asam garam, bergelimang ekspresi seni dengan segala kekuatan imajinasi di dalamnya. Saya berbaik sangka saja kepadanya, bahwa dalam konteks saat ini, ia tidak mau lagi terperosok dalam karya absurditas yang – dalam ideologi neoliberalisme – masih selalu dikunyah-kunyah para seniman kita hingga hari ini. Padahal, dalam pengamatan intelektual Yuval Noah Harari, ideologi tersebut sama-sama sedang mengalami masa-masa disrupsi.

Di era milenial ini, ketika segala hal mengalami disrupsi – tak terkecuali ideologi – maka, manusia seakan dituntut oleh dirinya sendiri agar beramal baik dan mulia. Kebaikan itu niscaya akan kembali kepada dirinya sendiri, begitu pun dengan keburukan dan kejahatan. Dunia seni, khususnya dalam perfilman, semakin dirasakan memiliki fungsi sebagai alat diplomasi bangsa. Kita bisa lihat bagaimana karakter militerisme Indonesia dibongkar secara terang-terangan dalam film The Look of Silence (Joshua Oppenheimer), yang merupakan ciri khas dari tren seni post-modern, agar kebudayaan suatu bangsa sanggup membaca-diri, sadar diri, melangkah menuju metamorfosis untuk suatu jaman baru yang mencerahkan (aufklaerung).

Film garapan Joshua – yang juga pernah sukses di ajang nominasi Oscar dalam film The Act of Killing – menantang para pekerja seni (tak terkecuali Ratna) agar bertanya dan menggugat dirinya sendiri, seberapa besar kemanfaatan seorang seniman dalam menginspirasi pembangunan peradaban bangsa.

Persepsi sebagian penguasa dan politisi yang menganggap sejarah adalah milik penguasa, yang dengan entengnya mempropagandakan dusta sebagai seni berpolitik, harus dibongkar oleh para seniman dan budayawan kita. Di sinilah tugas dan fungsi budayawan yang mewartakan kebaikan dan kebenaran seperti halnya jurnalis, ustad atau mubalig – apakah mereka konsisten menanamkan ajaran kebaikan dan nilai-nilai universalitas, ataukah justru menyusupkan memori negatif berupa propaganda dusta yang menyesatkan, sebagaimana terungkap dalam artikel KH Chudori Sukra Tantangan Universalitas dalam Sastra Indonesia (Padang Ekspres, 25 Februari 2019).

Solusi bagi Bangsa

Mulai saat ini, jangan sampai bangsa ini terkecoh oleh permainan semantik yang masih terus dihembus-hembuskan sebagian penguasa kita perihal komunis-liberalis, kiri-kanan, sunni-syiah, jabariyah-qadariyah, eksistensialisme-idealisme, asyariyah-mutazilah dan seterusnya. Jika Anda terjebak dalam term-term semacam itu, maka Anda akan masuk ke dalam salah satu “kotak” bikinan mereka, terperangkap dalam ketidaksadaran, serta diperalat oleh suatu kekuasaan yang mendikte cita-rasa dan martabat hidup manusia. Sebab, pada hakikatnya sejarah hanya akan mencatat amal perbuatan manusia, kebaikan maupun kejahatannya. Bukan apakah seseorang itu berpartai ini atau itu, beraliran ini atau itu, bermazhab ini atau itu dan seterusnya.

Baca Juga:  Malam Penentuan

Film The Look of Silence membuka mata-hati dunia agar berpaling pada kenyataan sejarah yang dialami republik ini. Ia berhasil mengungkap realitas keindonesiaan, seakan-akan menanamkan elektroda kecerdasan ke dalam memori kolektif anak bangsa agar rakyat kita semakin melek politik, melek sejarah dan budaya bangsa. Dengan demikian, rakyat tidak terus-menerus dikecoh dan diperdaya oleh penguasa yang menghendaki pendangkalan pemikiran, agar mereka berpikir sepotong-sepotong, kehilangan akal sehat, ahistori, serba tunduk dan taat pada kepatuhan buta yang tak dipahami ujung-pangkalnya.

Dalam soal ini, seniman memang pantas menjadi lawan tanding dari kecerdasan para politisi dan penguasa dalam membangun konstruksi imajinasi bangsa. Para agamawan yang mengandalkan kesalehan kadang luput dari kemampuan dan kekuatan imajinasi yang dibangun oleh mereka. Kodrat karya seni yang merupakan rekaan, tak lain merupakan refleksi dari penulis prosa dan puisi untuk menampilkan kenyataan yang mewakilinya.

Sehebat apapun kemampuan Pramoedya dalam wawasan sejarah bangsa, karya-karya sastranya tak lepas dari kemahiran dalam membangun konstruksi bahasa yang di dalamnya terhampar niat pengarang untuk melibatkan aktualisasi kognitifnya pada masalah-masalah sosial. Karena itu, karya-karya Pram tak ubahnya sebagai pewartaan kreatif yang dikemas dan diciptakan, meskipun ia bukan representasi dari kenyataan sepenuhnya yang ada di lapangan.

Dalam penulisan Pikiran Orang Indonesia, pun diakui oleh pengarangnya, tak lepas dari standar pribadi dan pembangunan logika yang dibentuk pengarangnya. Ia telah didominasi oleh imajinasi dan fantasi fiksi, hingga nyaris mendekati realitas keindonesiaan yang membuka tabir pada wajah-wajah kita semua. Karena itu, tepat apa yang dinyatakan John H. McGlynn (editor Lontar Foundation), dalam wawancaranya dengan The Jakarta Post (2017), bahwa para penerbit asing tidak mencari-cari Anda, tetapi mereka hanya mencari wajah Indonesia yang sebenarnya!

 

Penulis: Indah Noviariesta, alumni jurusan Biologi, Untirta Banten, pegiat organisasi Gerakan Membangun Nurani Bangsa.

Related Posts

1 of 3,050