Tidak dapat dpungkiri, TNI memainkan peranan vital nan strategis dalam menegakkan NKRI. Peringatan HUT TNI yang ke-72 tahun ini menunjukkan bahwa eksistensi TNI membentang sepanjang usia NKRI sebagai sebuah entitas politik dan sosial. Dalam dinamikanya, eksistensi dan fungsionalitas organisasi militer ini kerap mengalami pasang surut. Menjadi “anak emas” pada era orde baru dengan selalu dilibatkan dalam aktivitas politik dan bisnis penguasa, dihujat dan dicaci-maki pada masa awal reformasi akibat berbagai penggunaan instrumen kekerasan fisik kepada para aktivis pro-demokrasi, merebut lagi kepercayaan rakyat berkat komitmennya untuk tunduk pada supremasi sipil pada beberapa rezim pasca Soeharto, hingga muncul lagi keraguan pada institusi ini di penghujung tahun 2017 akibat gaduh politik yang ditimbulkan oleh Jenderal Gatot Nurmantyo.
Tugas pokok dan fungsi TNI tentu saja berada pada ranah pertahanan negara. Ini artinya posesivitas instrumen senjata serta penggunaan tindakan kekerasan (coercive action) yang dilekatkan pada TNI semata-mata ditujukan untuk melindungi serta mempertahankan keutuhan wilayah dan kedaulatan nasional Indonesia. Dalam pelaksanaan tugas ini, TNI dipastikan tidak boleh terlibat dalam politik, apalagi bisnis seperti pada masa lampau. Keterlibatan TNI dalam dua aspek tersebut bukan saja menjadikan TNI tidak profesional, tapi juga cermin adanya rumpang nilai (value gap) antara khitah organisasional serta implementasi di lapangan.
Adanya reformasi di tubuh militer pasca tumbangnya rezim militeristik Soeharto, terlepas apakah reformasi tersebut bersifat otonom dari kesadaran militer sendiri ataukah heteronom karena desakan publik yang sangat kuat, menjadi titik awal untuk menjadikan organisasi bersenjata ini sebagai aktor yang profesional dalam kehidupan bernegara. Fraksi ABRI di DPR dibubarkan, jabatan publik di instansi pemerintah serta posisi direksi dan komisaris di BUMN/BUMD dibersihkan dari anasir militer, kedudukan Panglima TNI diletakkan di bawah Kementerian Pertahanan yang dijabat oleh pejabat sipil, Polri dipisahkan dari ABRI di mana fungsi keamanan dimanatkan pada Polri, rotasi jabatan Panglima yang tadinya menjadi privilese Angkatan Darat (AD), akhirnya bisa dirasakan oleh semua matra, hingga pada pengarusutamaan kekuatan maritim dan bukan kontinental di era pasca reformasi, di mana ini adalah hal yang mustahil terjadi pada masa orde baru.
Ada banyak tantangan dan hambatan bagi TNI ke depan dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya, baik yang sifatnya internal, maupun eksternal. Pertama, hal-hal yang bersifat internal. TNI perlu berkhidmat untuk tunduk dan patuh pada supremasi sipil. Secara teoretis, hal ini terlihat mudah, tapi hakikinya sulit diimplementasikan. Adanya regulasi (UU) yang berkekuatan hukum tetap menjadi “pagar legal” agar TNI tidak salah kaprah. Begitu juga pengawasan ketat dari masyarakat sipil. Banjir hujatan kepada Jenderal Gatot Nurmantyo akhir-akhir ini, apabila dimaknai secara positif oleh TNI, merupakan bentuk kontrol dari masyarakat sipil yang menyayangi TNI.
TNI dituntut untuk persisten dan menahan diri agar tidak terjebak pada posisi off-side dalam menyikapi berbagai realitas politik yang kadangkali bersifat simulakrum dan menjerumuskan TNI sendiri, termasuk ketika melihat adanya sisi lemah dari pemerintahan sipil yang sedang berkuasa. Indonesia sedang belajar untuk menjadi demokratis secara substansial. Kelemahan kepemimpinan sipil jangan pernah dijadikan sebagai alasan untuk melangkah terlalu jauh atau bertindak pragmatis dan ditunggangi elit demi membangkitkan privilese seperti pada masa lampau. Ada barisan masyarakat sipil yang bisa memainkan peran check and balances kepada penguasa. Bahkan rakyat sendiri juga bisa menunjukkan daulatnya apabila cita-cita nasional melenceng dari jalurnya.
Permasalahan lainnya dalam tubuh TNI adalah mewujudkan harmonisasi dengan Polri sebagai aparatus negara. Pernyataan bahwa TNI gajian sebulan sekali, sedangkan Polri gajian setiap hari merupakan suatu hal yang sesat pikir dan bisa memecah-belah. Secara filosofis dan akademis, pendikhotomian antara pertahanan dengan keamanan merupakan suatu hal yang tidak tepat dan debatable, karena sejatinya pertahanan merupakan unsur penyusun dalam konsepsi keamanan itu sendiri. Namun demikian, kerancuan tersebut tidak seyogianya menjadi polemik, apalagi polemik yang ditarik ke ranah politis.
Desakan agar Polri diletakkan pada posisi subordinasi Kemendagri RI atau kementerian lain seperti halnya TNI di bawah Kemenhan RI, Kapolri tidak lagi di bawah Presiden tapi di bawah menteri tertentu, apabila motifnya didorong oleh kecemburuan yang bersifat institusional, tentu merupakan hal yang sangat disayangkan. Biarlah proses tersebut dijalankan oleh lembaga sipil yang berwenang. Negara ini tidak dalam situasi dan kondisi loss control. Jika lembaga sipil tersebut absen menjalankan tugasnya, masih ada massa sipil kritis yang bertindak sebagai pressure producer, balancer dan controller. Reformasi sektor pertahanan dan keamanan merupakan suatu hal yang sifatnya, dalam bahasa orang Jepang disebut Kaizen, terus-menerus dan belum final. Berbagai kekurangan dalam penataan organisasional hendaknya ditempuh secara legal formal dan sifatnya kontinyu, tanpa perlu adanya diskriminasi antar lembaga bahkan saling serang secara terbuka di depan publik.
Permasalahan internal lainnya yang menjadi pekerjaan rumah TNI adalah mewujudkan TNI yang bersih dan tidak koruptif. Cita-cita ini tidaklah mudah diwujudkan apabila tidak ada inisiatif dari para elit serta keterbukaan di tubuh TNI sendiri. Privilese TNI yang memiliki sistem peradilan sendiri menjadi tembok tebal bagi lembaga anti korupsi untuk memasukinya. Bahkan ujaran-ujaran dari pegiat anti korupsi, “ngeri-ngeri sedap” jika hendak mengulik korupsi di tubuh militer. Petinggi TNI yang reformis perlu menggagas suatu pola kerja sama yang cerdas dengan KPK dan pegiat anti korupsi agar pengelolaan anggaran di tubuh TNI benar-benar bersih. Kasus korupsi AW 101 serta korupsi pengadaan di Bakamla bisa saja merupakan fenomena gunung es. Sungguh disayangkan apabila ke depan ditemukan korupsi-korupsi lainnya.
Tantangan yang sifatnya eksternal semakin hari semakin kompleks. Pergeseran geopolitik global dari heartland ke Asia Pasifik menjadikan derajat ancaman terhadap Indonesia semakin meningkat. Harus diakui bahwa pecahnya Perang Dunia Ketiga adalah suatu hal yang utopis, namun diramalkan konflik-konflik kecil namun intens akan menjadi wajah keamanan global saat ini. Menyikapi hal ini, TNI perlu memiliki kewaspadaan nasional yang tinggi. Sekecil apapun ancaman pertahanan harus bisa diidentifikasi dan dimitigasi agar tidak berdampak pada ketahanan nasional Indonesia. Untuk mendukung tugas dan fungsinya, TNI harus melakukan penguatan secara berkesinambungan, baik dalam hal kapasitas organisasi, pengorganisasian personel, kemampuan tempur, peremajaan dan enahancing kualitas dan kuantitas alutsista, serta relasi dan koordinasi yang solid dengan berbagai institusi intelijen dalam dan luar negeri dalam memetakan ancaman.
Peringatan HUT TNI ke-72 tahun ini seyogianya dimaknai sebagai titik tolak penguatan komitmen TNI sebagai tameng dan pelindung NKRI, manunggal bersama rakyat, serta mendukung penuh supremasi sipil. Dengan berpegang pada komitmen tersebut, TNI sebagai alat pertahanan negara akan terus menjadi profesional, dicintai rakyat, serta tidak terjerumus pada praktik di luar tugas pokok dan fungsinya. Sentimen negatif terhadap Panglima TNI dan institusional TNI akhir-akhir akan menjadi nada sumbang apabila TNI persisten dan jujur meneguhkan komitmennya pada cita-cita reformasi nasional. Semoga
Penulis: Boy Anugerah, Alumnus Magister Ketahanan Nasional Universitas Indonesia