Opini

Mendukung Kenaikan Cukai Rokok untuk Optimalisasi Keadilan Ekonomi

Pabrik pembuatan rokok kretek/Foto istimewa
Pabrik pembuatan rokok kretek. (Istimewa)

Mendukung Kenaikan Cukai Rokok untuk Optimalisasi Keadilan Ekonomi. Terdapat berbagai istilah atau sebutan pengenaan tarif yang dilakukan oleh negara kepada masyarakat sebagai pemanfaat kegiatan ekonomi produktif selain pajak, retribusi. Sebutan yang lain itu adalah Bea dan Cukai. Bea adalah suatu tindakan pungutan dari pemerintah terhadap barang ekspor atau impor. Sedangkan Cukai merupakan pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang mempunyai sifat dan karakteristik tertentu yaitu konsumsinya perlu dikendalikan, peredarannya perlu diawasi, pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup, atau pemakaiannya perlu pembebanan pungutan.

Masalahnya adalah kenapa harus ada cukai, apa fungsi dan tujuannya mungkin banyak publik atau orang awam yang belum memahaminya. Jika kemudian ada reaksi atas perubahan (kenaikan) tarif bea dan cukai, maka akan selalu terdapat pro dan kontra pada masing-masing pihak sesuai kepentingan ekonomi (economic interest) yang melatarbelakanginya, terutama cukai atas rokok?

Dasar Kebijakan Cukai

Kelembagaan Bea Cukai sebagai pemungut tarif saat ini disebut sebagai institusi global, karena merupakan perangkat pemerintah yang sangat penting sebagaimana halnya Angkatan Bersenjata, Kejaksaan, Kehakiman, Kepolisian dan yang lainnya. Sementara sejarah Bea Cukai yang dikenakan pada publik, tak terlepas dari perjalanan kata serapan dan kebijakan yang melingkupinya, yaitu adalah kata Customs (Bahasa Inggris) atau Douane (Bahasa Perancis). Istilah-istilah ini merujuk pada kegiatan pemungutan biaya atas barang-barang yang diperdagangkan yang masuk atau pun keluar dari daratan Inggris pada zaman dulu. Disebabkan oleh ‘pungutan’ adalah sebuah kebiasaan yang rutin dilakukan, maka istilah customs -lah yang kemudian digunakan oleh publik Inggris. Sedangkan kata Douane berasal dari Bahasa Persia, yang artinya adalah register atau orang yang memegang register sebagai pedoman pemungutan.

Sementara di Indonesia, kata Bea Cukai merupakan kata serapan dari Bahasa Sansekerta dan India. Bea adalah bahasa Sansekerta yang asal katanya adalah vyaya yang berarti ongkos, sementara kata Cukai berasal dari Bahasa India.

Baca juga: Kebijakan Cukai Rokok untuk Keadilan Ekonomi

Sejarah Bea Cukai di Indonesia juga telah ada sejak zaman penjajahan Belanda. Semua bermula saat VOC datang ke tanah Batavia dan memulai perdagangan. Walau sebelum VOC datang, sistem ‘pungutan’ seperti Bea Cukai sudah ada, namun belum ditemukan bukti-bukti tertulis yang menguatkannya. Dulu petugas ‘pungutan’ dikenal dengan nama Tollenaar yang secara harfiah diterjemahkan sebagai penjaga tapal batas negara atau pantai yang bertugas memungut ‘Tol’ atau sejenis upeti terhadap barang-barang tertentu yang dibawa masuk atau keluar lewat suatu tapal batas. Selain itu, ada juga istilah lain seperti ‘Mantriboom‘ dan ‘Opasboom’ yang dikaitkan pengertiannya dengan tanda tapal batas untuk pemeriksaan barang yang masuk dan keluar dari pelabuhan. Boom juga memiliki banyak arti antara lain pohon, blok dan tiang. Pada saat masa pemerintahan Hindia Belanda ini sifat ‘pungutan’ secara resmi diterapkan oleh VOC secara nasional.

Baca Juga:  Drone AS Tidak Berguna di Ukraina

Pada masa Hindia Belanda ini juga terkenal kata douane dalam menyebut para petugas yang memungut tersebut disebabkan oleh pengaruh para pedagang dan pembeli yang berasal dari Perancis. Namun pada masa VOC, pemerintah Hindia Belanda meresmikan nama Bea Cukai adalah De Dienst der Invoer en Uitboerrechten en Accijnzen (I.U & A) yang artinya Jawatan Bea Impor dan Ekspor serta Cukai. Para petugas IU & A mempunyai tugas memungut InvoerRechten (bea impor/masuk), Uitvoererechten (bea ekspor/keluar) dan Accijnzen (excise/cukai). Tugas memungut bea, ekspor dan cukai inilah yang memunculkan istilah Bea dan Cukai di Indonesia.

Peraturan yang melandasi saat itu di antaranya Gouvernment Besluit Nomor 33 tanggal 22 Desember 1928 yang kemudian diubah dengan keputusan pemerintah tertanggal 1 Juni 1934. Pada masa pendudukan Jepang, berdasarkan Undang-undang Nomor 13 tentang Pembukaan Kantor-kantor Pemerintahan di Jawa dan Sumatera tanggal 29 April 1942, tugas pengurusan bea impor dan bea ekspor ditiadakan, Bea Cukai sementara hanya mengurusi cukai saja. Lembaga Bea Cukai setelah Indonesia merdeka, dibentuk pada tanggal 1 Oktober 1946 dengan nama Pejabatan Bea dan Cukai. Saat itu Menteri Muda Keuangan, Sjafrudin Prawiranegara, menunjuk R.A Kartadjoemena sebagai Kepala Pejabatan Bea dan Cukai yang pertama, dan ditetapkan sebagai hari terbentuknya (hari kelahiran) Direktorat Jenderal (Ditjen) Bea Cukai Indonesia secara resmi.

Lalu, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 51 tahun 1948, istilah Pejabatan Bea Cukai berubah namanya menjadi Jawatan Bea dan Cukai, yang bertahan sampai tahun 1965. Setelah tahun 1965 hingga sekarang, namanya menjadi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC).

Dasar hukum keberadaan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai.

Kompensasi dan Penerimaan Negara

Bea dan Cukai (selanjutnya kita sebut Bea Cukai) merupakan institusi global yang hampir semua negara di dunia memilikinya. Customs (Instansi Kepabeanan) di mana pun di dunia ini adalah suatu organisasi yang keberadaannya sangat pokok (essential) bagi suatu negara, tak terkecuali dengan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (Instansi Kepabeanan Indonesia) adalah suatu instansi yang memiliki peran yang cukup penting pada suatu negara.

Baca Juga:  UKW Gate Tak Tersentuh Media Nasional

Namun demikian, perlu adanya paradigma baru atas terminologi Bea dan Cukai ini berdasarkan fungsi dan kemanfaatannya secara global dan kepentingan nasional bagi suatu negara. Istilah Bea misalnya adalah merupakan beban atau sejumlah dana yang harus dikeluarkan untuk fungsi dan manfaat tertentu harus dibedakan dengan istilah cukai secara diametral. Bea merupakan sisi positif (positive side) dari beban sebuah fungsi kegiatan yang harus dikeluarkan yang bertujuan untuk meningkatkan perekonomian suatu negara. Sementara cukai harus dipandang sebagai sisi negatif (negative side) dari beban yang harus atau wajib dikeluarkan sebagai kompensasi dari dampak yang ditimbulkan barang dan jasa meskipun memiliki kontribusi pada perekonomian suatu negara.

Terkait dengan kebijakan kenaikan tarif cukai rokok yang akan ditetapkan oleh Pemerintah sebesar 23 persen pada tahun 2020 yang akan menaikkan harga jual eceran sebesar 35 persen harus dipandang sebagai kebijakan yang tepat dalam sisi negatif cukai. Artinya, pemerintah ingin melindungi seluruh tumpah darah dan rakyat Indonesia dari dampak kesehatan buruk yang ditimbulkan oleh merokok, tapi mampu menciptakan tambahan pendapatan negara yang akan menggerakkan perekonomian nasional tanpa mematikan industri rokok.

Walaupun sebagian pihak (terutama ekonom mainstream) menganggap langkah pemerintah dalam menaikkan tarif cukai rokok sebesar 23% ini terlalu tinggi dan menganggap memberikan dampak pada para petani tembakau. Lalu pertanyaan yang dapat diarahkan pada mereka adalah, apakah dengan tidak menaikkan tarif cukai rokok para petani tembakau Indonesia sudah dapat menikmati keadilan ekonomi atas industri rokok berbahan tembakau? Jawabannya tentu saja belum atau tidak, karena yang lebih banyak mendapatkan keuntungan dan manfaat dari industri rokok berbahan baku tembakau ini adalah para konglomerat. Tentu saja soal sponsor atau promosi yang menghasilkan prestasi bangsa dan negara dibidang olahraga dipandang sebagai sebuah ajang citra korporasi yang sesuai buku teks pemasaran, alih-alih sebagai kewajiban atau tanggungjawab sosial korporasi kepada masyarakat, khususnya petani tembakau. Lebih dari itu adalah, bagaimana bentuk tanggungjawab korporasi pada perokok aktif yang rutin mengkonsumsi dan perokok pasif atas dampak kesehatan yang ditimbulkannya.

Sudah saatnya konteks kebijakan negara atas bea dan cukai ini harus memperhitungkan konstitusi ekonomi dan Pembukaan UUD 1945 agar kebijakan ekonomi sektoral tak hanya memperhitungkan keuntungan ekonomi kelompok masyarakat tertentu di satu pihak dan membebankan negara serta masyarakat atas dampaknya di pihak lain. Dalam konteks perdagangan internasonal, maka kebijakan bea cukai ini harus mengarah pada paradigma baru atas beban bea atau biaya yang positif bagi produksi barang dan jasa serta cukai yang pengenaanya secara proporsional terhadap dampak negatifnya (barangkali juga berkaitan dengan kebijakan visa suatu negara).

Baca Juga:  Dewan Kehormatan yang Nir Kehormatan

Setiap menit, hampir 11 juta batang rokok diisap di dunia dan 10 orang meninggal karenanya. Di Indonesia, 76% pria dewasa merokok. Berikut adalah beberapa fakta dan angkanya.
Terdapat sekitar satu miliar perokok di dunia atau sekitar sepertujuh dari populasi global, menurut Organisasi Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO) dan studi lainnya.

Cina menempati angka tertinggi: dari penduduknya 1,3 miliar, sekitar 315 jutanya adalah perokok dan mereka menkonsumsi lebih dari sepertiga dari rokok dunia, demikian WHO menyebutkan dalam sebuah laporan tahun lalu. Namun jika dilihat dari persentase penduduk, Indonesia menempati persentase penduduk sebagai perokok terbesar di dunia: 76 persen pria berusia di atas 15 tahun tercatat sebagai perokok. Sekitar 80 persen perokok dunia hidup di negara berpenghasilan rendah dan menengah dan 226 juta di antaranya adalah kelompok masyarakat miskin.

Sebuah penelitian yang diterbitkan dalam jurnal medis The Lancet pada April 2017 mengatakan persentase orang yang menggunakan tembakau setiap hari telah menurun dalam 25 tahun. Satu dari empat pria dan satu dari 20 perempuan merokok setiap hari pada tahun 2015. Angka itu turun dari jumlah sebelumnya, satu dari tiga pria dan satu dari 12 perempuan pada tahun 1990.

Maka, dari perspektif ekonomi konstitusi rencana kenaikan tarif cukai rokok sebesar 23 persen itu belumlah memadai dan memenuhi aspek keadilan ekonomi. Penerimaan negara yang berasal dari cukai rokok pada Tahun 2018 adalah sebesar Rp 153 Triliun atau 11,7% dari penerimaan dari sumber pajak. Apabila kenaikan cukai 23%, maka penerimaan cukai akan mencapai Rp 188,19 Triliun, namun apabila lebih besar atau sampai dengan 50%, maka akan masuk kr kas negara sejumlah Rp 229,5 Triliun, dan ini akan merubah postur APBN Tahun Anggaran 2020 secara signifikan.

Seharusnya kebijakan harga rokok (termasuk produk minuman beralkohol) juga lebih tepat dikendalikan oleh negara sebagaimana halnya kebijakan yang ditetapkan pada harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dan Gas yang investasnya lebih padat modal dan beresiko tinggi. Oleh karena itu, kenaikan tarif cukai rokok oleh pemerintah ini harus didukung penuh oleh pemangku kepentingan (stakeholders) negara, terutama dalam rangka paradigma baru kebijakan bea dan cukai.

Oleh: Defiyan Cori, Ekonom Konstitusi

 

 

 

 

Catatan Redaksi: Artikel ini sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis seperti yang tertera, dan tidak menjadi bagian dari tanggung jawab serta tidak mewakili gagasan redaksi nusantaranews.co

Related Posts

1 of 3,058