Budaya / SeniCerpen

Mencintai Bunga-Bunga

Cerpen: Afry Adi Chandra

Tak perlu banyak waktu bagi Ontong untuk mendapatkan harum bunga beserta pelangi bahagia yang mengelilinginya. Ia begitu mudah mendapatkan elok bunga bermekaran. Kelopak yang melambai-lambai pandangan. Teduh taman yang menggelar beledu-beledu kecantikan. Menghamparkan segenap tenang yang membahagiakan. Semua teras tak kurang bagi Ontong. Enam tahun yang benar-benar menyenangkan. Enam tahun yang membawanya menerobos putik-putik bermekaran. Di antara pikiran dua tiang penyangga kebahagiaan serta kekhawatiran yang menghimpit nasib di altar masa depan.

Bulan-bulan bahagia sebenarnya begitu membayang di dua pelupuk induk Ontong. Seiring tumbuh kembang yang membanggakan. Ontong makin tumbuh dengan otot dewasa di tiap penjuru kelenjar kulit. Menegaskan kemunduran sisa usia yang menjadi tolak ukur sebuah legitimasi bernama kedewasaan. Reseptif juga makin menerima segala perubahan zaman yang menggembara ke arah mode instan. Masa dimana pergerakan zaman menjadi makin cepat. Melebihi tumbuh kembang sang pengguna. Sejauh ini, perkembangan selalu diterima dengan kelapangan dada amat purnama. Segala bentuk ikhlas tumbuh riang di dalam isi segenap kepala. Sulur-sulurnya merayap, menapaki tiap jengkal batin kepala. Merambat senang pun subur pada tanah berlapis humus keikhlasan. Makin tak disadari, gelagat akar dalam menunjam ke dasar mantel pikiran. Ukuran bilangan kedewasaan masihlah menjadi norma yang melekat di sekujur tubuh manusia.

Ontong makinlah mendewasa, menurut sebagian yang merasa jiwanya telah usang berkarat. Gejala alam makin ditunjukkan. Ia makin lihai mengekalkan norma kedewasaan yang terdoktrin kuat di alam pikiran tiap umat. Ontong makinlah cerdas membedakan ragam kebendaan. Apapun benda yang tersebut, lema di pikiran Ontong sudah terbendahara. Ontong benar-benar makinlah paham. Ontong selalu bisa mencari jawab atas tanya yang terus dicecar ke daun telinga. Bukan sebuah masalah besar bagi seorang Ontong dengan kemunduran sisa usia yang makin ganjil bilangannya. Mari kita simak terus kisah Ontong.

***

“Ontong, pilih ini atau itu?,” pertanyaan yang menggiring Ontong menjadi enam tahun yang mulai wajib belajar memilih.

Sebagaimana wajarnya, pertanyaan tersebut butuh jarum waktu untuk lekas dijawab. Semua harus menyiapkan kantong saku masing-masing. Bilamana keadaan semacam ini singgah, semua telah siap memasukkan dengan rapi dan tanpa belepotan.

Baca Juga:  Dihadiri PPWI dan Perwakilan Kedubes, Peletakan Bunga di Monumen Gagarin Berlangsung Hikmad

“Bunga, bunga, ini bunga.”

Tak cuma membayang, bahagia itu benar-benar merekah. Menciptakan gurat senyum tak terjual di selasar pasar. Kelopak yang merekah begitu membahagiakan. Melahirkan buah ranum yang sungguh sedap untuk dipetik. Dikupas, lantas dinikmati pada siang yang terlentang. Apalagi semilir angin begitu segar bersimbiosis. Semua akan kembali pada beberapa tangkai bunga yang sedang diobrolkan dengan sedikit terbata oleh Ontong.

“Bunga. Bunga.”

Apa yang salah dengan menyukai bunga-bunga? Bukankah ini lambang bahagia yang di bawa para dewi dari langit kahyangan. Mewarnai udara yang mewangi dengan seikat bunga- nan sedap di mata. Bukankah ini juga menjadi cara dewa untuk merayu sang widadari turun dari serambi, sehingga hinggap pada kuncup-kuncup menggairahkan. Bukankah pula ini menjadi alat pengkekal sengsara yang begitu legam di dada. Ataukah karena pencintanya seorang enam tahun dari golongan Adam?

Bahagia memang sedang berada pada puncak menggairahkan. Kemanapun arah, Ontong tak lepas dari dari semai bunga cinta. Pernah pada suatu cerita yang diberikan Tuhan dengan segenap keikhlasan, Ontong menghampiri seorang Ibu renta yang tengah sibuk membendung air mata bahagia. Kehadiran cucu pertama yang begitu agung serta gempita. Kebahagiaan begitu tak terbendung memang. Setelah sekian penantian di halte ketabahan yang tak tentu berbuah. Kini, Ibu tersebut begitu bahagia dengan kebahagiaan yang hinggap di ruang tamu rumahnya. Ontong menghampiri. Merenggut tangan si Ibu. Menebar salam dengan takzim. Perempuan paruh baya itu kini tersenyum. Sebuah tanda kebahagiaan baru saja disemat oleh Ontong.

“Terima kasih, Ontong, Ibu akan menikmati bunga kelopak merah ini dengan tekun.”

Ontong berlari menghampiri sang induk. Melampiaskan sepucuk malu pun bahagia pada indungnya. Bahwa baru saja ia menebar bunga-bunga. Ontong meringkuk di tubuh sang induk. Merayakan bunga-bunga yang ia cintai.

Di suatu siang yang jantan, matahari begitu getol mengamati umat. Seraya memimpin doa demi sekujur selamat. Tak lupa, sepanjang garis langit turut mengamini doa yang sama. Ontong bercerita, ia begitu ingin memetik bunga-bunga. Tak ayal, sang induk mengarah pada sebuah taman di samping kolam ikan. Ontong diaraklah kesana. Menyaksikan pertunjukan kecipuk air yang hanyut dalam insang-insang ikan. Menimbulkan gelombang yang begitu hangat  merayap dalam. Semilir angin turut mengibaskan permukaan kolam. Ikan-ikan tak saling bicara. Hanya gelagat tenang yang muncul dari sisik berkilauan. Suatu siang yang tak cuma jantan, pula berkesan.

Baca Juga:  G-Production X Kece Entertainment Mengajak Anda ke Dunia "Curhat Bernada: Kenangan Abadi"

“Bunga…bunga.”

Ia biarkan sang Ontong bermain dengan kecipuk ikan. Barangkali dengan begitu, tak perlu banyak keringat yang sang induk peras demi siang yang damai berkesan kali ini. Sang induk berfikir, bahwa siang ini terasa seperti pertemuan pertama dengan induk jantan si Ontong. Bagaimana siang berlabuh pada dermaga cinta akan menimbulkan gelak riuh angin pembawa kabar bahagia. Dan itu terjadi lagi hari ini. Induk Ontong berdamai dengan keadaan, begitulah yang dirasakan.

“Bunga…bunga.”

“Itu ‘kan bunga, Sayang,” sang induk menunjuk-nunjuk ke arah kebun bunga. Seolah kebahagiaan tersedia disana.

Namun, apa yang terjadi?

“Bunga…bunga..bung…bunga,” Ontong makinlah menjadi-jadi. Ia seperti sedang mabuk bunga. Semacam telah hanyut pada sungai imaji dengan deras bunga-bunga.

“Bunga…bunga.”

Sang induk merasa keheranan dengan Ontong yang merusak siang. Sang induk sedikit kesal. Ia gendong saja si Ontong menjauh dari taman yang bersolek dengan kesegaran sepasang kolam ikan.

“Dia minta bunga, tapi tak jelas,” serah terima masalah pun dimulai.

Kini, Ontong bersama Bapaknya. Sejauh ini, Bapak Ontong pengepul sifat sabar. Ia rela membeli kebahagiaan apapun demi anak semata wayang. Sejumlah uang tak sungkan ia gelontorkan. Ke pasar, toko mainan, gerai makanan, ataupun kedai minuman  ia habiskan. Demi mendapat bahagia di gurat senyum Ontong yang enam tahun.

“Kamu minta apa? Bunga?”

“Bunga…bunga,” Ontong masih saja dengan raut keinginan.

Dibawanya sang anak menjauh dari rumah kecil mereka. Sang bapak mengarahkan kendaraan menuju taman-taman bunga yang konon begitu indah mencuri pupil mata. Ia arahkan melewati keramaian jalan. Menerobos sesaknya kemajuan zaman yang kadang asing bagi sebagian besar orang. Kendaraan melaju pelan, si Bapak barangkali sudah paham. Beginilah cara mudah menemukan kebahagiaan yang belum pulih. Ontong masih saja melamun diam. Sambil ia lantunkan pujian untuk bunga-bunga. Nyanyian yang menambah mekar kuncup muda bunga. Memancarkan terik cerah dari tiap bias warna yang mekar di tiap sepasang mata.

Baca Juga:  G-Production X Kece Entertainment Mengajak Anda ke Dunia "Curhat Bernada: Kenangan Abadi"

“Bunga…bunga.”

Pujian tak henti dilafalkan sepanjang jalan. Kendaraan merayap pada keramaian jalan, sehingga makin menimbulkan lubang-lubang keresahaan di permukaan jalan. Namun, Ontong tak berhenti dengan pujian terhadap bunga-bunga.

Kendaraan semakin lambat. Keramaian seakan menyerbu kelapangan jalan yang ada. Terasa begitu sesak. Sayangnya, momen tersebut berpengaruh terhadap Ontong. Suara pujian-pujian tadi mulai sirna diterkam hembusan udara. Keadaan makinlah melambat. Saat itu juga, Ontong juga makin melambat dalam memuji pun membesarkan nama bunga-bunga.

“Bunga…bunga.”

Ontong justru makin menggebu menyebut nama bunga, tetapi bukan untuk memuji pun membesarkan namanya. Ia hanya menyebut nama bunga.

“Bunga…bunga…bunga,” suara itu makin sering dengan tempo yang makin cepatlah pula.

Tepat ketika di depan kerumunan, Ontong hampiri wajah sang Bapak. Ia begitu dekat di pelupuk mata si Bapak. Apa yang akan diperbuat Ontong? Seolah-olah ia akan melompat dari jendela kendaaraan.

“Bunga…bunga…bunga,” kalimat itu makinlah menjadi-jadi.

Tiba-tiba dengan cepatnya ia memetik beberapa tangkai bunga. Tampak begitu masih segar. Cepat-cepat ia ikat bunga-bunga tadi. Ia genggam erat agar tak lepas. Ia duduk pada kendaraan dengan lebih tenang, tak seperti tadi. Lalu, darimanakah bunga-bunga tadi dipetik oleh Ontong?

“Ia dengan tanggap memetiknya dari kedua mataku yang sayu. Ia begitu cepat melakukan semua itu. Aku tak sanggup untuk melarang. Ontong memang mencintai bunga-bunga,” ucap sang Bapak sambil memperhatikan Ontong memberikan seikat bunga pada para demonstran yang tengah duduk bersila sambil menggelar wajah mereka di tanah beraroma pekat aspal.

Blitar-Jakarta, Desember 2017

__________________________________

Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi (berdonasi*) karya baik berupa puisi, cerpen, esai, resensi buku/film, maupun catatan kebudayaan serta profil komunitas dapat dikirim langsung ke email: [email protected] atau [email protected]

Related Posts

1 of 39