Politik

Mencermati Terbelahnya Netizen di Media Sosial

NUSANTARANEWS.CO – Kekuatan politik koalisi Gerakan Amanat Sejahtera (Gerindra, PAN dan PKS) di ruang media sosial, menurut Pengamat Politik Media, Iswandi Syahputra menarik untuk dicermati. Iswandi melihat bahwa netizen di media sosial menjelma menjadi 2 lingkaran besar yang merepresentasikan kekuatan pengkritik kekuasaan (yang biasanya mewakili narasi kepentingan koalisi nasionlis religius) dan kekuatan penikmat kekuasaan (yang biasanya mewakili narasi kepentingan koalisi kekuasaan).

“Penampakkan lingkaran besar tersebut selalu muncul pada dua wacana besar, yaitu pertama, wacana yang memojokkan Islam seperti kasus deportasi UAS dari Hongkong atau kasus roti coklat Chocolicious. Kedua, wacana yang terkait bagaimana praktek kekuasaan diselenggarakan atau bagaimana pencitraan elite dimainkan seperti kasus sendal jepit, dll,” ungkap Iswandi dikutip dari ulasan tulisanya.

Menariknya di media sosial, lanjut dia, kendati secara politik koalisi Gerindra, PAN dan PKS pada beberapa hal berbeda dengan PD dan partai jenis oportunis, namun pada dua wacana tersebut keduanya bisa bersatu.

Baca Juga:  Kemiskinan Turun, Emak-Emak di Kediri Kompak Akan Coblos Khofifah-Emil di Pilgub Jatim

Situasi itu, menurut mantan Komisioner KPI, menunjukkan bahwa politik netizen di media sosial tidak selalu segaris sama lurus dengan kebijakan partai yang mereka dukung. “Ini menunjukkan pula bahwa ada 2 simptum dalam tubuh netizen yang bila disentuh, secara otomatis akan membangkitkan gairah beraktivitas dan bersolidaritas di media sosial,” sambungnya.

Dirinya mencontohkan, dalam konteks ini, kasus yang menimpa ZA, wartawan tabloid olahraga yang menuding UAS sebagai ustadz teroris yang beringas dapat dikemukakan sebagai contohnya. “Bagi saya, fenomena dinamika di media sosial ini sebenarnya cukup menggambarkan aktivitas politik virtual. Aktivitas tersebut jelas menegaskan kuat dan solidnya satu kelompok virtual tanpa bentuk dalam mengendalikan wacana di media sosial,” ujar Iswandi.

Ia juga menyebut bahwa kondisi tersebut mirip tahun 2012 saat jelang Pilkada DKI atau tahun 2014 saat jelang Pilpres yang menunjukkan dengan jelas kuat dan solidnya satu kelompok virtual. Bedanya, lanjut Iswandi, pada tahun 2012 dan 2014 kelompok virtual tersebut jelas dan terbuka mendeklarasikan diri sebagai volunteer (relawan). Sedangkan kelompok virtual yang kuat saat ini tidak jelas dan terbuka.

Baca Juga:  Skenario Terbaik yang Bisa Diharapkan Indonesia dari Presiden Prabowo

“Mereka hanya dikenal sebagai Cyber Army. Pasukan siber yang hanya bergerak jika 2 simptum tadi disentuh,” tandasnya.

Editor: Romandhon

Related Posts

1 of 3