Artikel

Mencabut Paspor WNI Karena Masuk ISIS Bentuk Pengkhinatan Negara

Kementerian Hukum dan HAM mendorong revisi Undang-undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Dalam salah satu poinnya, akan dibahas mengenai cara menindak warga negara Indonesia yang terlibat Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Direktur Jenderal Imigrasi Kemenkumham Ronny Sompie mengatakan, pemerintah mempertimbangkan adanya pencabutan kewarganegaraan untuk WNI yang bergabung ISIS. “Sementara ini Menkumham akan bicarakan untuk revisi undang-undang berkaitan bagaimana cara kita mencabut kewarganegaraan untuk WNI yang terlibat ISIS,” ujar Ronny di Gedung Kemenkumham, Jakarta, Selasa (26/1).

Menkopolhukam semasa dipimpin Luhut Binsar Panjaitan mengatakan bahwa pencabutan kewarganegaraan merupakan langkah preventif agar para pengikut ISIS tidak bisa menyebarkan paham radikalisme saat kembali ke Indonesia. “Jadi, kalau dia joint foreign fighter (bergabung dengan tentara asing seperti ISIS -red), dia harus melepas kewarganegaraannya,” ujarnya pada Januari 2016.

Pada Mei tahun 2015 silam Tony Abbott mengumumkan Pemerintah Koalisi akan mengubah UU Kewarganegaraan sehingga jika ada warga yang memiliki kewarganegaraan ganda dapat dilucuti statusnya sebagai warga negara Australia jika mereka terbukti mempromosikan, mendukung atau ambil bagian dalam kegiatan terorisme.

Salah satu sumber mengatakan bahwa tujuan ISIS adalah untuk mengislamkan bumi melalui perangnya dengan Barat. Paham anutannya adalah satu di antara ayat suci Al-Qur’an yang berbunyi “aljihadu fiisabilillah” (maaf jika ejaannya tak tepat) yang berarti “berjuang di jalan Allah”. Siapa yang tak kenal Islamic State of Iraq and Syiria (ISIS)? ISIS dikenal sebagai kelompok militan yang berbasis di Suriah dan Irak. Kelompok ini juga dianggap sebagai organisasi teroris terkaya di dunia. Intelijen Amerika Serikat menyebut kelompok radikalistis ISIS menjadi kelompok radikal yang paling kaya di Dunia. Diperkirakan ISIS mempunyai harta yang mencapai ratusan juta dolar atau sekitar puluhan triliun rupiah.

Sementara itu, seorang pejabat AS menyebutkan saat ini biaya besar ISIS adalah pembayaran gaji para militannya dari berbagai negara. Uang gaji itu diperkirakan berasal dari rampokan bank sentral Irak sebesar USD 400 juta.

Menurut Prof Maswadi Rauf dan Chusnul Mar’yah, sebagaimana dikutip saat memberikan materi kuliah di Ilmu Politik Universitas Indonesia tahun 2006 silam menyebutkan bahwa di dalam teori kenegaraan, maka yang secara tradisional dikemukakan sebagai unsur-unsur nagara adalah: unsur wilayah—unsur bangsa/rakyat—unsur pemerintahan —dukungan internasional. Catatan: tiga unsur pertama yakni wilayah, rakyat, dan pemerintahan masuk katagori aspek hukum dan unsur terakhir yakni dukungan internasional masuk katagori aspek politik.

Menilik hasil temuan dan teori di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa ISIS adalah kelompok pemberontak bukan negara. Realitas sosial politik menunjukkan bahwa menurut internasional Irak dan Surya dewasa ini masih tetap menjadi dua negara sah di Timur Tengah (Timteng). Sedangkan ISIS adalah kelompok pemberontak bersenjata yang mengatas namakan dua negara Timteng Irak dan Suryah. Buktinya ISIS diperangi oleh Irak dan Surya serta internasional yakni Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya.

Dengan perkataan lain, tidak satu negara pun di dunia yang memberikan pengakuan adanya negara baru di Timteng bernama ISIS. Sekalipun “tentara” pemberontak ISIS direkrut dari berbagai negara di dunia yang di antaranya adalah warga negara Indonesia, termasuk warga Irak dan Surya sendiri.

Hal itu seperti yang dikatakan oleh intelijen Amerika Serikat pada bagian temuan di atas bahwa “ISIS adalah kelompok pemberontak.” Dengan demikian maka keberadaan ISIS sebagai negara masih terbantahkan oleh teori unsur-unsur negara yakni pengakuan internasional, menurut perspektif politik seperti yang diajarkan oleh para pakar ilmu politik di antaranya oleh Prof Maswadi Rauf dan Chusnul Mar’yah. Itu pula sebabnya, ISIS bukan sebagai negara baru karena tidak memiliki unsur-unsur negara di atas dan seperti digariskan oleh teori unsur-unsur negara yakni ada wilayah negara, ada rakyat dalam negara, dan ada pemerintahan yang sah. Malahan menurut fakta sosial politiknya dimusuhi dan dibenci internasional, karena ISIS hanya berstatus sebagai kelompok ideologik Islam pemberontak bersenjata atas negara Irak dan Surya. Namun, ISIS mendeklarasikan dirinya sebagai negara Islam Irak dan Surya bahkan menurut internasional ISIS adalah kelompok teroris paling sadis di muka bumi dewasa ini yang beroperasi di “sudut bumi” Timur Tengah.

Kedua, pengkhianatan negara terhadap warga negara. Pencabutan kewarganegaraan Indonesia atas Warga Negara Indonesia (WNI) yang bergabung dengan ISIS meskipun terlibat dalam “joint foreign fighter” dalam istilah yang diberikan Menkopolhukam Luhut Binsar Panjaitan terhadap mereka, masih merupakan bukti pengkhianatan negara terhadap warga negaranya. Pengkhianatan itu dilakukan atas dasar latar belakang “sikap emosional” yang tidak sehat sama sekali oleh aparatus keamanan nasional (Kamnas) terhadap semua aksi-aksi teroris di Indonesia selama ini. Aparatus Kamnas dimaksud khususnya Kemenkopolhukam melalui Menkopolhukam, Kemenkumham melalui Menkumham, Polri melalui Kapolri, BNPT melalui Ka BNPT, dan Imigrasi melalui Dirjen Imigrasi, tampaknya frustrasi mengahadapi aksi-aksi dan mengantisipasi aksi-aksi terorisme di Indonesia.

Sesungguhnya, para pejabat itu kurang cerdas dan kurang cerdik menghadapi musuhnya yang berupa aksi-aksi terorisme politik seperti yang dikatakan oleh Paul Wilkinson seorang peneliti aksi teroris bahwa terorisme politik memiliki pandangan khas yaitu “aksi, bunuh satu orang untuk menakutkan seluruh rakyat suatu negara, dan publikasi”. Dengan begitu dapat dipastikan bahwa Menkopolhukam, Menkumham, Kapolri, Ka BNPT, dan Dirjen Imigrasi sangat lemah dalam melakukan kontra politik terorisme kepada teroris.

Kelemahan kecerdasan dan kelemahan kecerdikan para pejabat seperti itu, kemudian dibebankan kepada para pelaku aksi-aksi teroris dan kepada WNI yang tercatat menjadi anggota “tentara” ISIS untuk mencabut status kewarganegaraan mereka. Itu tidak adil, tidak valid menurut ilmu politik, dan melanggar HAM, bahkan itu bentuk nyata pengkhianatan para pejabat itu kepada warga negara Indonesia, yang sesungguhnya mereka sedang menyalurkan nyali dan keahlian mereka sebagai “orang Indonesia” menjadi petarung yang handal di tataran internasional, meskipun baru berbentuk teroris.

Begitulah pandangan sosiologis terhadap makna sikap “orang Indonesia” yang bergabung dengan ISIS di Timur Tengah. Sikap Australia saja tidak seperti sikap yang akan diambil oleh para pejabat Kamnas Indonesia itu.

Menurut Tony Abbott, Perdana Menteri Australia bahwa akan mencabut kewarganegaraan ganda, khususnya kepada mereka yang terbukti melakukan tindak pidana terorisme, jadi bukan mencabut kewarganegaraan Australia. Namun para pejabat itu akan mencabut kewarganegaraan Indonesia terhadap mereka yang terbukti terlibat ISIS. Sasaran teroris itu pasti Barat, kepentingan Barat, dan pengaruh Barat, bukan negara-negara di mana mereka melakukan aksi-aksi teroris.

Jadi, dari mana alasan objektif untuk mencabut status kewarganegaraan WNI? Sikap para pejabat itu, membawa makna politis bahwa sesungguhnya para pejabat itu mendukung misi Barat dengan mengorbankan warga negaranya. Padahal jalan yang tepat adalah “jalan tengah” yaitu memoderasi keduanya agar dari keduanya didapatkan keuntungan atau manfaat ketangguhan warga negara.

Bagi WNI, setidaknya ada lima alasan mereka bekerja menjadi “tentara” ISIS. Pertama, karena jihad membawa misi untuk mengislamkan Bumi melawan Barat; kedua, karena alasan militansi Islamiyah; ketiga, karena alasan eksistensi diri; keempat, karena alasan kalau mati dijamin pasti masuk surga dan mendapatkan istri bidadari di surga; dan kelima, karena alasan ekonomi. Alasan terakhir ini merupakan insentif pemerintah terhadap warga negaranya yang gabung dengan ISIS.

Dorongan ekonomi itu sangat beralasan, karena peluang dalam negeri mungkin tidak tersedia buat mereka; mungkin kosongnya keseimbangan antara tenaga dan pikiran yang dikeluarkan dengan hasil yang mereka peroleh berhubung semua pengusaha besar adalah warga kelompok Etnis Cina Indonesia (ECI) yang selalu berusaha mematikan pembangunan ekonomi pribumi; kemudian harga barang-barang sembako terlalu tinggi yang membuat hasil mereka setiap bulan selalu minus. Meskipun gaji mereka telah dinaikkan tetapi selalu diikuti naiknya harga sembako ketika gaji mereka naik. Hal itu dipahami karena penjual sembako juga didominasi oleh warga kelompok ECI.

Dengan demikian maka pilihan psikologis menjadi “tentara” ISIS mendapatkan gaji lebih besar, membawa misi mengislamkan Bumi, mati dijadimin pasti masuk surga, tentu bagi mereka lebih mulia dari pada bekerja di perusahaan warga ECI yang mereka sebut kafir.

Ketiga, WNI eks ISIS laboratorium Kamnas. Berhubung ISIS bukanlah negara melainkan sebagai kelompok radikal pemberontak bersenjata di atas negara Irak dan Suriah Timur Tengah, sebagaimana pernyataan intelijen Amerika Serikat di atas serta tertolak oleh teori unsur-unsur negara dari Kansil, maka ISIS masih akan eksis hinga 25 tahun ke depan. Oleh karena itu maka Kapolri, Ka BNPT, Menkopolhukam, dan Dirjen Imigrasi bertindak cerdas, cerdik, dan arif jika WNI eks ISIS dijadikan laboratorium untuk peningkatan kualitas aparatus Kamnas dalam menangangi stabilitas politik dan Kamnas khususnya bagi Polri dan BNPT. Adapun metodenya dapat direncanakan sebagai berikut ini.

Pendataan WNI keluar dan masuk ISIS. Aparatus Kamnas mendata secara akurat WNI yang masuk dan keluar ISIS. Variabelnya terdiri dari kelompok etnis, jenis kelamin, alamat, agama, umur, daerah, etnis, istri, anak-anak, ibu dan bapaknya, pendidikan, sumber pencaharian sebelumnya, masa hukuman, lembaga pemasyarakatan, keahlian, masa bekerja dengan ISIS, travel, pengalaman berperang, posisi dalam pasukan “tentara” ISIS, hasil yang dicapai secara individu dan kelompok, jenis senjata yang dipakai, daerah tugas, riwayat kesehatan fisik dan jiwa.

Mengeksploitasi pengetahuan eks anggota ISIS. WNI eks anggota ISIS yang sudah tertangkap oleh aparatus Kamnas dalam hal ini pihak kepolisian negara, sangat baik melakukan eksploitasi pengetahuan selama dia bekerja sebagai pasukan “tentara” ISIS. Pengetahuan itu di antaranya meliputi organisasi, manajemen, kepemimpinan, pengawasan, sistem pendanaan, teknik pengambilan keputusan, strategi perang dan tempur, makna hidup di dunia sebagai seorang muslim, pandangannya terhadap bangsa Barat, perasaanya setelah berhasil melakukan aksi teroris dengan jumlah korban jiwa dan kerusakan, tujuan perjuanganya sebagai teroris, pandangannya terhadap umat manusia dan agama lain, dan pikiranya terhadap pembangunan ekonomi nasional dan global.

Memproses eks anggota ISIS secara hukum. Eks anggota ISIS diproses secara hukum. Jika mereka terbukti melanggar hukum pidana terorisme, dikenakan sanksi hukum seberat-beratnya saja. Mulai dari hukuman fisik hingga hukuman seumur hidup bahkan hingga hukuman mati.

Mengendalikan eks anggota ISIS. Semua eks anggota ISIS agar dikendalikan baik yang berada di dalam penjara maupun yang telah bebas dan bermasyarakat seperti sedia kala. Metode kendalinya antara lain adalah monitoring aktifitasnya, relasi sosialnya, sikap ideologi politiknya, kesetianya terhadap pemerintah, dan tingkat ekonominya.

Memanfaatkan sks anggota ISIS sebagai predator dan senjata sosial. Eks anggota ISIS sesungguhnya dapat dimanfaatkan oleh aparatus Kamnas untuk menjadi predator atas kegiatan intelijen bangsa lain di Indonesia dan di luar negeri. Misalnya ada kegiatan intelijen asing di Indonesia yang sedang melakukan rencana subversive terhadap pemerintah, misalnya kepada Presiden RI, Ketus DPR RI, Ketua DPD RI, atau kepada Ketua MA, namun belum bisa ditindak karena kuatnya latar belakang organisasinya dan belum cukup bukti untuk dipidanakan. Sementara kalau tidak ditindak sewaktu-waktu bisa melakukan subversive kepada pemerintah dan negara dengan sasaran Presiden RI. Sebagai tindakan preventif aparatus kamnas dapat menggunakan eks anggota ISIS untuk membunuh anggota intelijen asing itu melalui “cara pembunuhan tradisional”. Dengan begitu maka eks anggota ISIS bisa menjadi sebagai senjata sistem sosial juga.

Menginsyafkan eks anggota ISIS. Membina eks anggota ISIS agar bisa insyaf dan tidak mau lagi untuk melakukan kegiatan terorisme baik di Indonesia maupun di luar negeri sebagai “joint foreign fighter”.

Pencabutan paspor WNI tidak akan mengurangi WNI masuk ISIS. Pencabutan paspor WNI dapat dipastikan tidak akan mengurangi atau menghapus minat dan niat WNI untuk masuk menjadi anggota ISIS. Sebagaimana telah diketahui bahwa ISIS membawa misi untuk “mengislamkan Bumi melalui perang melawan kezoliman Barat”. Metode perjuangan mereka adalah “aljihadu fiisabilillah”. Itu telah lama menjadi ideologi perjuangan kaum muslimin dahulu dalam berperang melawan musuh-musuh Islam.

Hasilnya, kaum muslimin senantiasa menang. Dalam Al-Qur’an dipahamkan bahwa orang-orang yang berjuang di jalan Allah bila gugur, maka surga baginya. Dalam pemahaman mereka tidak ada yang lebih membahagiakan hidup di dunia kecuali berjuang di jalan Allah dan mati di jalan Allah, karena itu adalah jaminan Allah.

Dengan mengetahui persis psikologi massa WNI pengikut ISIS itu, maka adalah rencana kebijakan Kemenkopolhukan, Polri, BNPT, serta Dirjen Imigrasi yang sangat emosional dan sia-sia, jika tetap melakukan revisi Undang-Undang Anti Terorisme dengan memasukkan klausul pencabutan paspor atau kewarganegaraan WNI yang terbukti masuk ISIS. Kecuali menambah lama waktu hukuman kepada mereka yang terbukti masuk ISIS. Ini adalah kebijakan tepat, cerdas, cerdik, valid menurut ilmu politik, dan sesuai paham HAM.

Terlepas dari itu, ternyata diketahui bahwa sanksi mencabut status WNI yang terbukti melakukan “joint foreign fighter” bersama ISIS, mengandung dua kelemahan mendasar yakni pertama, ISIS bukan negara melainkan kelompok ideologik Islam pemberontak bersenjata; kedua, tidak akan menghentikan minat WNI untuk bergabung dengan ISIS, berhubung tujuan ISIS mau mengislamkan bumi. Itu dipahami sebagai visi surga bagi WNI itu, dan jalan itu dianggap “jalan kenikmatan” yakni “sabilillah” atau jalan Allah, suatu jalan terindah dari semua jalan yang tersedia bagi umat manusia kelak ia mati.

Dengan demikian maka niat mencabut status kewarganegaraan WNI hanya bermuatan pengkhianatan negara terhadap WNI dan menyesatkan Presiden RI; oleh beberapa pejabat yang emosional karena kekurang mampuannya memelihara keamanan negara dari aksi terorisme.

Oleh: M. Dahrin Dahrin La Ode, Direktur Eksekutif CISS

Related Posts

1 of 17