Khazanah

Menanti Lahirnya Revolusi Musik Melayu

NUSANTASANEWS.CO – Kata Gustav Mahler, menghormati  tradisi bukanlah dengan merawat abunya, tapi menghidupkan apinya. Yang mana abu, yang mana api dari musik melayu?

Semalam (19 Agustus 2017), saya bersama ratusan pengunjung menikmati aneka tingkah lagu melayu dalam Jakarta Melayu Festival 2017. Lokasinya  di pantai dan langit terbuka Ancol.

Ketika mendengar aneka lagu yang dimainkan, saya mendadak teringat Shakira, penyanyi dunia. Menyambut piala dunia sepak bola ia menyanyikan  Waka Waka (2010). Akankah suatu ketika lagu Melayu juga mendunia?

Waka Waka yang dinyanyikan Shakira mengambil banyak elemen dan ritme musik tradisional Columbia Afrika. Musik lokal itu diramu sedemikian rupa, digabung dengan musik dan instrumen kontemporer, jadilah ia sebuah lagu yang kaya.

Ketika lagu ini dibuatkan videonya, terjadilah keajaiban seni. Unsur tradisi dan modern, berpadu sedemikian rupa. Ditambah pula, muncul banyak selebriti sepak bola dunia dalam video itu.

Pada lagu Waka Waka, ritme musik tradisi Afrika sangat terasa. Ditambah pula lirik bahasa lokal setempat yang diselipkan. Ditampilkan pula penari, instumen musik dan tarian Afrika sendiri.

Namun style musik modern tetap menjadi utama. Apalagi muncul bintang sepakbola modern, wajah dan permainan Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo. Tak kurang penampilan Shakira sendiri yang hot.

Lagu Waka Waka (This Time for Africa) pun meledak. Sangat jarang lagu resmi sebuah iven olahraga menjadi rangking 1 dibanyak negara untuk top chart musik,  memecahkan rekor. Di Austria misalnya, lagu itu bertahan 4 minggu di rangking 1 dan tetap  di top 40 selama 63 minggu. Ia tercatat sebagai album musik individual terlama yang bertahan di puncak.

Hal yang sama terjadi di negara lain. Dalam waktu cepat lagu Waka Waka terjual 10 juta kopi. Oleh banyak majalah musik terkemuka dunia seperti Billboard, lagu Waka-Waka dianggap lagu FIFA terbaik sepanjang sejarah.

Tanpa Tradisi, Seni Bagai Pohon Tak Berakar

Waka-Waka contoh sukses karena melakukan apa yang disebut oleh Winston Churchil, Perdana Menteri Inggris, penerima Nobel Sastra. Ujar Churchil, “Tanpa merujuk pada tradisi, seni akan tumbuh menjadi pohon besar yang tak berakar. Tapi tanpa inovasi, tradisi oleh kemajuan zaman segera menjadi bangkai.”

Waka Waka contoh sukses seni meramu musik tradisional, sekaligus menginovasinya, menggabungkan dengan kebutuhan industri musik masa kini. Dengan spirit itu, musik melayu sangat berharga untuk dikelola dengan pola yang sama.

Malam itu, ketika hadir di acara Jakarta Melayu Festival 2017, saya merasa tak hanya menghadiri acara kesenian. Tak sekedar hadir dalam acara yang disindir oleh Sutan Takdir Alisyahbana sebagai upaya “mengelap-ngelap” tradisi agar nampak mengkilat padahal tidak.

Tapi saya merasa menghadiri, sekaligus berharap, sebuah peristiwa budaya. Ialah sebuah ikhtiar yang tak hanya menghidupkan kembali musik melayu. Tapi ia memberinya nafas baru, dan inovasi. Sehingga pada waktunya, musik melayu dinikmati generasi baru, karena sesuai dengan telinga zamannya.

Saya sungguh menikmati kolaborasi saxophone Amerika Serikat: Denny Larman dengan musisi Indonesia, memainkan lagu melayu Lancang Kuning. Cengkok musik Melayu tetap terasa. Tapi nuansa modern sebuah musik, plus kecakapan memainkan alat musik juga kental. Dari tempat duduk, tak henti saya tepuk tangan sepanjang lagu

Darurat Revolusi Musik Melayu

Sekitar 5-6 tahun lalu, Andi Sinulingga menemui saya. Ujarnya, “bang, bisa kita pakai Pisa Kafe Menteng untuk acara konferensi pers? Dalam rencana kita akan membuat Jakarta Festival Melayu.”

Itu adalah pertama kali rencana akan diselenggarakan Festival Musik Melayu. Saya hanya bertanya sederhana. Siapa “the man behind the gun,” yang akan menggerakkannya. Andi menyebut beberapa nama, antara lain Geisz Chalifah dan Anies Baswedan.

Saya mengenal keduanya, baik Geisz dan Anies sejak tahun 80-an. Mereka para aktivis yang serius. Anies sangat kuat soal konsep. Geisz juga tangguh sebagai eksekutor dengan instink yang tajam. Pisa Kafe kemudian menjadi tempat pertama konferensi pers Jakarta Festival Melayu. Kini festival itu memasuki yang ketujuh.

Akan diarahkan kemana musik melayu ini selanjutnya? Kita bisa mulai dengan melihat sejarah.

Musik melayu memiliki akar yang sangat panjang di bumi Nusantara. Saat itu kata “Indonesia” belum ditemukan. Akar dari musik Melayu adalah Qasidah. Musik itu datang ke wilayah Melayu bersama dengan penyebaran agama Islam.

Awalnya adalah puisi yang berbentuk gurindam. Ia berisi nasehat soal hidup yang baik. Agar pesannya mudah menyebar dan diulang-ulang, syair itu dilagukan. Bahkan diperkaya pula oleh tarian. Inilah ibu kandung dari musik melayu masa kini.

Musik ini kemudian berevolusi. Lahirnya instrumen musik yang baru di abad 18 memperkaya musik melayu. Dengan dibukanya terusan Suez, banyak warga Timur Tengah masuk ke Hindia Belanda membawa alat musik gambus. Musik dengan gambus sempat lama menjadi evolusi musik melayu.

Di tahun 1940an, dihidupkan pula instrumen musik tradisional seperti gong dan serunai. Bentuk tarian lokal dan pakaian lokal juga sudah banyak berubah. Sekitar tahun 1940, musik melayu itu sampai pada melayu Deli. Bentuknya sudah banyak berubah dibanding aslinya.

Sejak awal musik melayu sudah berubah dan berevolusi. Dengan sendirinya, ia pun terus terbuka untuk evolusi selanjutnya.

Kini musik dunia dipenuhi pop, rock, blues, hip hop, reggae. Aneka instrumen baru juga ditemukan seperti Seaboard Grand Stage: Next Generation Synthesizer.

Menengok kebelakang, begitu banyak kuburan seni. Aneka seni yang dulu menonjol di eranya, kini terkubur. Yang bisa terus hadir adalah yang terus melakukan inovasi.

Kita berharap musik melayu ini tak hanya survive. Tapi pada waktunya, ia mendunia karena keunikannya. Mereka yang memang terpanggil, perlu terus mendalami apa “api” dari musik melayu itu?

Dengan sentuhan inovasi terus menerus, plus marketing, musik melayu kita harap berevolusi menemukan puncak kembali.

*Denny JA, Penikmat Musik dan Penggila Si Kulit Bundar.
Editor: Romandhon

Related Posts