NUSANTARANEWS.CO – Menangkal Paham Radikalisme di Sekolah. Pengurus Yayasan Tikar Seni Bidaya Nusantara Bandung, Hairus Salim HS beranggapan bahwa banyak riset telah menunjukkan bagaimana sekolah umum kini telah menjadi wahana persebaran ekstremisme. Melalui kegiatan-kegiatan yang terbuka –bahkan didukung sekolah—maupun klandestin.
Para siswa, kata Direktur Eksekutif Yayasan LKiS ini telah menjadi subjek sekaligus objek penyebaran ekstremisme ini. Angka mereka yang terpapar paham ekstremisme ini bisa diperdebatkan, dan dalam banyak hal sulit dideteksi karena sifatnya yang dinamis dan fluktuatif, tapi diyakini jumlahnya sudah pada level yang mengkhawatirkan.
Untuk itu, dengan tetap menghormati ikhtiar teman-teman di bidang keagamaan, kini kata dia, saatnya perlu memikirkan alternatif lain guna menangkal paham ektremisme di sekolah. Pertama, ujar Hairus Salim adalah menggalakkan pelajaran ilmu sosial.
“Sudah tak perlu saya kemukakan lagi betapa pendidikan kita selama ini mengidap ‘bias eksak’ yang akut. Hal ini terlihat misal dari tidak diperhitungkan sebiji pun ilmu sosial dalam mata pelajaran yang diujikan, prinsip linearitas dalam menentukan kepegawaian dosen, dan lain-lain,” ungkap dia dalam sebuah ulasannya.
Dirinya tak menampik bahwa sudah cukup sering kita dengar bagaimana siswa cerdas dibujuk oleh guru untuk masuk jurusan eksak, dan ketika sang anak memilih ilmu sosial, sang guru bilang; “eman-eman ya pinter milihnya ilmu sosial.” Sementara si orang tua yang terpengaruh guru itu sedih.
Ilmu sosial, lanjut dia, terutama ilmu sosial kritis, penting untuk menganalisis dan memahami fenomena yang terjadi di tengah masyarakat. Masyarakat dengan segala dimensi di dalamnya, bukan mesin, yang hukum-hukum perkembangannya bisa dipahami secara mekanistis dan otomatis. Para ilmuwan menyebut ini sebagai positivisme. Mungkin karena kuatnya pengaruh positivime ini, maka agama pun dipandang dan diperlakukan secara eksak dan seperti ilmu pasti.
“Kenyataannya, masyarakat itu ‘complicated’, tidak sederhana, tak beraturan dan tidak selalu tertib, perkembangannya beragam, tidak tunggal, dan lain-lain. Dengan kemampuan analisis sosial, fenomena masyarakat bisa dipahami. Ilmu sosial di sini bukan saja jadi ‘alat analisis,’ tapi ‘perspektif’ dalam memahami dunia dan kompleksitasnya ini,” sambungnya.
Kedua, mengenalkan filsafat, terutama dalam hal ini cabangnya, yaitu logika. Hairus Salim mengungkapkan logika penting untuk memahami kesesuaian yang masuk akal dan logis antara suatu sebab dan akibat, jawaban dan pertanyaan, yang khusus dan umum. “Logika adalah akal sehat. Jika ada pernyataan bahwa kita sekarang ini banyak kehilangan akal sehat, maka itu artinya makin kurang dan bahkan tidak ada tempatnya lagi apa yang namanya logika,” ujar dia.
Hoax yang biasanya memuat di dalamnya prasangka, kebencian, dan teori konspirasi menggelinding dan diterima dengan mudah di antaranya karena tidak terbiasanya pemahaman terhadap kompleksitas masalah sosial dan miskinnya kemampuan logika.
Ketiga, menggalakkan pembacaan sastra. Sastra penting karena dia mengajukan permasalahan hidup yang tidak hitam-putih dan salah-benar. Dunia sastra menampilkan suatu perspektif bahwa hidup itu tidak selalu berjalan linear. Yang baik tidak selalu memang, sementara yang jahat tidak senantiasa kalah. Di dalam dunia sastra, seorang tokoh yang disebut sebagai protagonis pun tak seluruhnya baik, sementara mereka yang disebut antagonis tak seluruhnya jahat.
“Dilema-dilema dan pergumulan-pergumulan hidup di dalam dunia sastra meninggalkan perenungan yang mendalam, yang membuat orang tidak mudah dan tidak tergesa untuk menghukumi keadaan. Sudah barang tentu juga sastra membuat imajinasi semakin kaya dan luas, dan memperhalus perasaan,” terangnya.
Editor: Romandhon