KolomOpini

Menakar Polemik Gagasan Khilafah

NUSANTARANEWS.CO – Gagasan khilafah mengundang polemik. Meski ormas HTI telah dibubarkan oleh pemerintah secara otoriteristik sepekan pasca penerbitan Perppu No 2 tahun 2017, namun ternyata tidak menghentikan laju diskursus tentang gagasan khilafah. Sebab khilafah sejatinya bukan milik HTI, namun milik umat Islam sedunia karena bersumber dari Al Qur’an dan Al Hadist serta Ijma’ ulama. Konsep khilafah jelas memiliki rujukan normatif, historis dan empirik. Karena itu meski HTI pra pembubaran selalu menyuarakan penegakan khilafah, namun sebenarnya khilafah adalah ajaran Islam yang terdapat pada literatur-literatur Islam sebagaimana telah disebutkan. Pembubaran HTI membuktikan bahwa gagasan khilafah bukan sekedar utopis apalagi sekedar mimpi. Sebab jika mimpi tak perlu dibubarkan.

Dengan itu, maka tidak bisa dipungkiri bahwa gagasan khilafah kian deras diperbincangkan oleh banyak kalangan khususnya di negeri ini. Mulai dari kalangan akademisi bergelar profesor, para politisi hingga masyarakat awam di kedai-kedai kopi.  Bahkan akhir-akhir ini non muslim pun ikut memperbincangkan gagasan khilafah, meskipun sayang masih berdasarkan ketidakpahaman dan kebencian. Berbagai media cetak, visual maupun on line tidak ketinggalan mengupas pro kontra gagasan khilafah ini. Kini, gagasan khilafah tak mungkin dibendung lagi. Terlepas dari polemik yang muncul, faktanya kata khilafah telah merasuk ke pikiran seluruh manusia di muka bumi ini.

Berdasarkan polemik intelektual yang semakin menajam, mungkin ide khilafah inilah yang paling menarik untuk disimak. Sebab secara substantif ide khilafah adalah antithesis terhadap hegemoni ideologi kapitalisme sekuler dan komunisme atheis. Bukan antithesis Pancasila, sekali lagi khilafah bukan antitesis Pancasila. Namun ajaran Islam ini ironisnya justru sering dibenturkan dengan pancasila yang merupakan set of philosophy. Sementara Islam itu sendiri adalah ajaran yang tidak bertentangan dengan Pancasila.  Membenturkan ide khilafah dengan pancasila, selain tidak relevan juga merupakan apologi yang ahistoris, jika tidak ingin disebut sebagai kecacatan intelektual. Memang menyuarakan gagasan khilafah ini butuh intelektualitas, kejujuran dan keberanian.

Secara historis, polemik gagasan khilafah telah terjadi, sebab istilah khilafah adalah istilah Islam yang dikenal sejak zaman Nabi, bahkan dalam al Qur`an kata khalifah (QS 2 : 30) telah tercamtum dengan gamblang. Ditambah lagi dengan hadist Rasulullah yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad tentang akan kembalinya khilafah `ala minhajin Nubuwah setelah melewati empat fase peradaban sebelumnya.

Baca Juga:  Keingingan Zelensky Meperoleh Rudal Patriot Sebagai Pengubah Permainan Berikutnya?

Adalah Ali Abdur Raziq, seorang cendekiawan Universitas al Azhar yang konon dicopot kecendikiawanannya oleh kampus itu karena mempersoalkan dan menolak khilafah sebagai sistem ketatanegaraan Islam. Ide-ide Abdul Raziq inilah yang di kemudian hari dijadikan rujukan oleh para penentang ide khilafah. Polemik intelektual seputar ide khilafah yang kini tengah terjadi patut mendapat apresiasi, selama diikuti oleh argumen-argumen jernih, ilmiah dan sarat dengan kejujuran. Namun sayang, diskursus ide khilafah ini agak tersendat akibat penerbitan perppu ormas, meski tidak menghentikannya. Sebab pemikiran tidak mungkin bisa dihambat, dia akan terus mencari jalannya sendiri.

Dahulu Soekarno dan Mohammad Natsir melakukan perdebatan intelektual ideologis  seputar pilihan bentuk negara berbasis sekulerisme atau berbasis hukum Islam. Presiden pertama RI ini merujuk kepada pola penyelenggaraan negara model Kemal At Taturk yang sekuler. Sekulerisasi ala Turki berujung kepada lenyapnya Islam di negara itu.  Kemalisme sekuler telah mengubah secara fundamental pilar-pilar negara Turki dari nilai-nilai Islam menjadi negara berdasarkan nilai Barat yang tak beragama. Akibatnya Turki menjadi negara yang ala sekuler yang tidak beradab dan anti Islam.

Sementara Natsir meyakini penyelenggaraan negara yang baik jika didasarkan oleh nilai-nilai agama Islam yang akan memberikan rahmat bagi seluruh manusia dan alam semesta. Islam adalah suatu pengertian, suatu paham, suatu begrip sendiri, jang mempujai  sipat-sipat sendiri pula. Islam tak usah ‘demokratis’ 100%, bukan pada otokrasi 100%, Islam itu……jah, Islam”. (M. Natsir, Kapita Selecta : 453). Ungkapan penggagas partai Masyumi ini adalah salah satu pemikiran dan keyakinannya saat menanggapi pujian Soekarno kepada Kemal At Taturk yang mengubah ideologi Islam di Turki menjadi negara demokrasi  sekuler ala Barat.

Turki modern yang berasas demokrasi dalam pandangan Natsir merupakan outlook Barat yang justru akan menjadikan ideologi Islam tersingkir dari peradaban Turki. Buktinya di tangan besi Attaturk, saat itu Turki benar-benar menjadi negara sekuler dibawah hegemoni dan kendali Barat. Akibatnya, Turki tak lagi menjadi negara adidaya, bahkan Islam dihapus dari agama resmi negara.

HAMKA dalam kata sambutan buku kapita selekta M Natsir menulis, ” M Natsir berpendapat, Islam bukanlah semata-mata suatu agama, adalah suatu pandangan-hidup jang meliputi soal-soal politik, ekonomi, sosial dan kebudajaan. Baginja Islam itu adalah sumber dari segala perdjuangan atau revolusi itu sendiri, sumber dari penentangan setiap matjam pendjadjahan : eksploitasi manusia atas manusia ; pemberantasan kebodohan, kedjahilan, pendewaan dan djuga sumber pembantrasan kemelaratan dan kemiskinan. Nasionalisme hanyalah langkah menuju persatuan manusia dibawah lindungan dan keridhaan ilahi. Islam tidak memisahkan antara keagamaan dan kenegaraan. Sebab itu, Islam itu adalah primair”.

Baca Juga:  Amerika Memancing Iran untuk Melakukan Perang Nuklir 'Terbatas'?

Penting dicatat, bahwa akan menjadi soal jika polemik intelektual seputar gagasan khilafah ini telah dikotori oleh tekanan-tekanan politik pragmatis dan materialis  seperti perppu ormas. Semestinya, biarlah kaum intelektual menikmati jalannya sendiri sebagai bentuk pembelajaran dan perenungan seluruh anak bangsa ini. Lebih baik jika tekanan politik pragmatis tidak ikut campur, agar diskursus intelektual kaum cendekiawan ini mampu memberikan energi  positif bagi upaya mencerdaskan kehidupan bangsa.

Lebih ironi lagi jika mengaku dirinya kaum intelektual, namun mendukung perppu otoriteristik. Semestinya kaum cendekiawan berada pada posisi yang obyektif dalam melihat perkembangan sosial politik masyarakat. Sebab apalah arti intelektualitas jika lumpuh dibawah ketiak rezim yang kontra intelektualisme. Kaum intelektual yang memuja rezim akan mengalami kecacatan intelektual.

Tidak dikenal istilah harga mati dalam diskursus intelektual, apalah lagi dalam ajaran Islam yang sangat menghargai usaha-usaha ijtihad para ulamanya. Perbedaan ijtihad Empat Imam mazhab adalah contoh paling relevan untuk dijadikan rujukan etika dan intelektual dalam rangka memajukan dan mengharmoniskan Islam dengan kehidupan pada zamannya.

Sepanjang yang penulis ikuti, perjalanan diskursus seputar gagasan khilafah ini bermuara kepada tiga tipologi, baik yang pro dan kontra, tanpa mencantumkan orang atau lembaga yang sedang `menikmati perseteruan intelektual` ini.

Pertama adalah polemik normatif yang mempersoalkan apakah benar Khilafah sebagai bentuk baku negara Islam tercantum jelas dalam sumber-sumber primer Islam seperti Al Qur`an dan Al Hadist. Meski diakui secara normatif bahwa khilafah banyak terdapat dalam sumber hukum lain seperti ijma sahabat dan ijtihad para ulama terdahulu seperti al Ghazali maupun ulama kontemporer seperti Sheikh Wahbah al Zuhaili, namun pihak yang kontra menganggap lemah, karena gagasan khilafah adalah ide ijtihadi yang tidak terdapat dalam al Qur’an. Jika mau jujur, maka polemik ini mudah sekali diselesaikan. Sebab konsep khilafah memang ajaran Islam. Sementara demokrasi yang jelas dari Barat, oleh kaum intelektual muslim sekuler kadang justru dibela mati-matian melebihi al Qur’an.

Baca Juga:  Apakah Orban Benar tentang Kegagalan UE yang Tiada Henti?

Kedua adalah polemik historis yang mempersoalkan adanya cacat implementasi khilafah pada beberapa dinasti yang lalu, meskipun banyak juga yang berhasil dengan gemilang. Polemik historis biasanya karena menganggap bahwa sejarah adalah fakta hukum atau fakta yang harus dihukumi. Padahal dalam Islam, sejarah bukanlah sumber hukum, melainkan fakta obyek hukum yang harus diambil pelajarannya. Islam dan muslim adalah dua hal yang berbeda, sama halnya dengan khilafah dan khalifah. Islam pasti benar, sementara muslim bisa melakukan kesalahan.

Mendasarkan penilaian gagasan melalui fakta sejarah tidaklah tepat, sebab semestinya merujuk kepada sumber epistemologisnya. Orang-orang liberal melakukan kesalahan mendasar saat meletakkan fakta sejarah sebagai hukum dalam kontek khilafah, dan ini tidak dilakukan untuk sistem demokrasi. Ini bentuk inkonsistensi intelektual. Sejauh pengamatan penulis, kaum liberal selalu inkonsisten dalam berpendapat, semacam memiliki cacat bawaan. Pemikiran liberal berasal dari tradisi epistemologi yahudi.

Ketiga adalah polemik empirik yang mempersoalkan apakah sistem khilafah masih relevan diterapkan pada zaman sekarang. Polemik inilah yang paling rumit ditemukan sintesisnya, sebab seringkali perdebatan tidak dimulai dari sudut pandang yang sama. Lebih rumit lagi jika polemik tipologi ketiga ini telah diwarnai oleh kepentingan politik pragmatis dan fitnah oleh ideologi lain, maka polemik kadang justru berakhir pada pola represif yang diskriminatif dan bahkan kriminalisasi. Kondisi ini tentu tidak sehat untuk membangun budaya intelektual dalam rangka membangun bangsa ini. Penerbitan perppu ormas dan pembubaran ormas HTI membuktikan hal tersebut.

Penting disadari bahwa negara-negara di dunia terus berubah dan Indonesia harus terbebas dari segala jerat kolonialisme. Sebab segala bentuk penjajahan di dunia ini harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.  Sampai kapan Islam dengan ide khilafahnya mampu keluar dari kemelut polemik intelektual kaumnya sendiri hingga menjadi mercusuar peradaban dunia menggantikan peradaban kapitalisme dan komunisme yang terbukti destruktif ?

Memperbincangkan gagasan Khilafah, sekali lagi membutuhkan intelektualitas tingkat tinggi, kejujuran, keberanian dan kemerdekaan diri dari jerat ideologi lain. Jika ditanya, kapan polemik ini akan berakhir, biarlah waktu yang akan menjawabnya. []

Oleh:Dr Ahmad Sastra, Penulis adalah Ketua Divisi Riset dan Literasi, Forum Doktor Islam Indonesia

Related Posts