Opini

Menakar Penggunaan Kaidah Fiqih dalam Diskursus RUU KPK

Revisi UU KPK. (Foto Ilustrasi NUSANTARANEWS).
Revisi UU KPK. (Foto Ilustrasi NUSANTARANEWS).

Menakar Penggunaan Kaidah Fiqih dalam Diskursus RUU KPK. Masih hangat menjadi bahan diskursus mengenai RUU KPK. Sebagian ada yang kontra hingga mendesak untuk diterbitkannya Perppu KPK. Ada pula yang pro dengan RUU KPK. Fraksi PDIP menolak presiden menerbitkan Perppu KPK. Begitu pula koalisi pendukung presiden bersikap negatif atas wacana Perppu.

Di tengah kegamangan presiden dalam diskursus ini, seorang pengamat politik hukum, Bambang Saputra menyatakan bahwa presiden harus tetap maju guna mengesahkan RUU KPK. Saat memutuskan presiden sudah yakin bahwa RUU ini bisa menyelesaikan persoalan korupsi. Akhirnya Bambang mengutip sebuah kaidah fiqih yang menyatakan bahwa sesuatu yang yakin itu tidak dapat hilang hanya dengan keraguan. Menurutnya, desakan–desakan untuk menerbitkan Perppu itu adalah sebuah keraguan.

Pernyataan Bambang cukup menarik. Dalam diskursus terkait Perppu Revisi UU KPK, sampai-sampai dirinya mengutip sebuah kaidah fiqh yang menunjukkan betapa penting pembahasan perkara tersebut. Namun, alangkah indahnya bila para pemangku negeri tatkala merumuskan regulasi undang–undang mendasarkan pada hukum–hukum fiqih Islam, tidak hanya sebatas pada kaidah fiqih semata.

Mengenai kaidah fiqih yang dikutip dalam konteks diskursus KPK ini, ada beberapa catatan yang harus menjadi perhatian.

Dari aspek paradigmatik. Sebuah kaidah fiqih itu bukanlah sebuah dalil hukum. Keberadaan kaidah fiqih merupakan bagian dari hukum Islam yang disimpulkan dari dalil. Sedangkan yang disebut dalil hukum itu adalah ayat Al–Qur’an, Hadits Nabi, Ijmak Shohabat dan Qiyas Syar’i. Jadi, kaidah fiqih itu adalah sebuah produk hukum. Oleh karena itu, penggunaan kaidah fiqih sebagai landasan dalil sebuah argumentasi tentunya merupakan kesalahan paradigmatik.

Sebagai contoh, ada sebuah kaidah tentang hukum benda, yang menyatakan bahwa al ashlu fil asy-ya’ al ibahah maa lam yaruddu dalil at-tahrim. Artinya, hukum asal benda itu adalah boleh, selama tidak ada dalil yang mengharamkannya.

Baca Juga:  Prabowo-Gibran Menangi Pilpres Satu Putaran

Jika kaidah ini dijadikan dalil, tentu akan terjebak dalam polemik intelektual dengan beberapa pertanyaan di antaranya apakah semua benda hukumnya boleh? Dalilnya mana? Benda ini-itu hukumnya apa, boleh atau haram?

Yang dikhawatirkan adalah dengan hanya mendasarkan pada kaidah ini, lantas diambil kesimpulan bahwa semua benda itu hukumnya boleh, dengan alasan tidak ditemukannya dalil yang mengharamkan benda–benda tertentu. Walhasil kaidah fiqih itu fungsinya sebagai sebuah kerangka berpikir untuk bisa digunakan dalam menggali hukum yakni wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram dari dalil–dalilnya secara terperinci.

Dari aspek metodologi. Mengenai tindak pidana korupsi, pasti hukumnya haram. Dalam sebuah hadits Nabi SAW yang artinya bahwa barangsiapa yang kami pekerjakan untuk suatu hal dan kami sudah memberikan gaji kepadanya, maka apa saja yang diambilnya selain gaji tersebut, itu adalah harta khianat (hadits ini dikeluarkan oleh Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah, dan al Bazar; statusnya hasan).

Ketika sudah maklum diketahui bahwa perbuatan korupsi itu haram, maka untuk mewujudkan kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang bersih dari korupsi, di dalam Islam ada kemaslahatan takmiliyyah. Suatu kemaslahatan penyempurna yang menutup celah dilakukannya sebuah pelanggaran. Hal demikian didasarkan kepada hadits Nabi SAW yang menyatakan bahwa ad-dinu an-nashihah. Liman ya Rasulalllah? Lillah wa lisarulihi wa liummatil mu’minin wa ‘aamatihim. Artinya, agama itu adalah nasehat. Bagi siapa ya Rasulullah? Rasul SAW menjawab untuk Alloh, RasulNya, para pemimpin dan bagi keseluruhan kaum mukmin (HR Muslim).

Baca Juga:  Kepemimpinan Indonesia dan Tantangan Pembangunan Berkelanjutan

Berdasarkan hadits tersebut, bahwa memberikan nasehat dan koreksi kepada para pemimpin merupakan kewajiban agama. Adapun yang merupakan aktifitas memberi nasehat kepada penguasa adalah dengan membantu mereka dalam kebenaran, mentaatinya dalam kebenaran, dan mengingatkan dengan kebenaran (Kitab Jamiul Ulum Wal Hikam halaman 97, cetakan ke-2 Dar Kutub Ilmiyyah, Beirut).

Menilik diskursus RUU KPK, apakah adanya RUU KPK ini bisa memperkuat KPK dan fungsinya sebagai lembaga anti rasuah ataukah justru melemahkannya? Di sinilah perlu adanya pengkajian. Kalau memang di dalamnya RUU KPK itu ditemukan potensi–potensi pelemahan KPK, maka tentunya wajib dilakukan aktivitas untuk mengingatkan dan mengoreksi penguasa. Dan dalam konteks ini sudah banyak kajian tentang potensi pelemahan KPK melalui RUU KPK, misalnya dari ICW yang menurunkan hasil kajiannya bahwa ada 10 konsekuensi buruk bila disahkannya RUU KPK tersebut.

Dari aspek penggunaan kaidah fiqih. Sebuah kaidah fiqih menyatakan bahwa al yaqiinu la yuzalu bisy-syak. Artinya, sesuatu yang yakin itu tidak bisa hilang karena keraguan.

Dalil yang mendasari kaidah tersebut adalah hadits Nabi SAW yang artinya apabila kamu menemukan sesuatu di perutmu sesuatu hal, maka tunggulah hingga keluar darinya, jangan keluar dari masjid hingga kamu mendengar bunyi atau bau. (HR Bukhori dan Tirmidzi).

Konteks dari kaidah tersebut adalah persengketaan dalam sebuah masalah hingga persoalannya menjadi jelas di dalam proses pembuktian perkara, dan atau terkait dengan keraguan untuk menentukan hukumnya dalam suatu perkara.

Sebagai contoh penerapan kaidah tersebut, misalnya ada seseorang yang akan mendengar cumbu rayu antar muda mudi dari balik dinding, atau ia melihat mereka berdua berada di dalam sebuah kamar. Maka tidaklah bisa dengan persaksian seperti itu lantas ditetapkan pada pelaku dengan sanksi zina. Dalam hal ini harus ada bukti akan perzinahan mereka, yakni disaksikannya masuknya zakar kepada vagina si wanita layaknya timba yang masuk ke dalam sumur, dan atau melalui pengakuan dari pelakunya. Ada sebuah kaidah yang bisa diterapkan dalam hal ini yakni adz-dzohir al ghalib wa huwa maa yaghlibu ala al-dzonn. Artinya, yang tampak secara dhohir itu adalah apa apa yang mengalahkan atas yang meragukan.

Baca Juga:  Keluarnya Zaluzhny dari Jabatannya Bisa Menjadi Ancaman Bagi Zelensky

Mari sekarang kita melihat realitas yang terindera, sebelum ada RUU KPK, secara masif KPK telah berhasil melakukan ott terhadap para pejabat yang melakukan korupsi. Baru–baru ini praktek jual beli jabatan di lingkungan Kemenag yang melibatkan Rommy, begitu pula Menag, juga tersangkut. Menpora Imam Nahrawi juga terjerat kasus korupsi dan terkena OTT KPK. Lantas, muncul revisi terhadap UU KPK, yang selanjutnya melahirkan gelombang protes yang meluas.

Dikatakan bahwa RUU KPK itu adalah sesuatu yang yakin akan memperbaiki kinerja pemberantasan korupsi. Akan tetapi secara dhohir yang nampak di dalam RUU KPK tersebut ada upaya pelemahan KPK. Buktinya KPK dalam melakukan penyadapan wajib ijin kepada dewan pengawas, dan status KPK menjadi bagian eksekutif, petugas KPK statusnya sebagai ASN. Ini bentuk pengekangan terhadap independensi KPK. Kesimpulannya yang dhohir itu harus dikuatkan.

Penulis: Ainul Mizan, Guru tinggal di Malang

 

 

Catatan Redaksi: Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis seperti tertera dan tidak mewakili redaksi nusnataranews.co

Related Posts

1 of 3,049