OpiniPeristiwaRubrika

Memperingati Damai Aceh “Tidak Ada Dusta Diantara Kita”

Memperingati Damai Aceh "Tidak Ada Dusta Diantara Kita"
Memperingati Damai Aceh “Tidak Ada Dusta Diantara Kita”/Foto: Ist.

Memperingati Damai Aceh “Tidak Ada Dusta Diantara Kita”

Masyarakat Aceh ketika memasuki bulan Agustus mulai fokus membicarakan dua agenda besar yang harus diperingati, pertama memperingati hari “Perdamaian Aceh” pada 15 Agustus dan “Proklamasi Kemerdekaan” pada 17 Agustus yang selalu meriah setiap tahunnya.
Oleh: Maimun Rajapante, M.Si

 

Provinsi Aceh terasa unik dan berbeda dibandingkan provinsi lainnya, karena adanya kedua momentum besar dan bersejarah bagi rakyat Aceh dan Indonesia. di bulan Agustus setiap tahunnya.

Tahun ini agak sedikit berbeda gezah momentum peringatan Hari Damai Aceh karena genap berusia 15 tahun sejak Penandatanganan MoU  pada 15 Agustus  2005.

Penandatanganan Perdamaian Aceh antara RI-GAM adalah momentum lahirnya MoU Helsinki, hasil kesepakatan kedua belah pihak sebagai produk hukum yang mengikat dalam bentuk MoU dan disaksikan oleh komunitas internasional dengan Mediator perundingan Marti Artisaari dari Finlandia.

Lahirnya MoU Helsinki Pasca Tsunami disambut dengan penuh rasa syukur dan rasa suka cita seluruh elemen masyarakat Aceh. Sehingga tidak mengherankan bila seluruh rakyat Aceh sangat menaruh harapan akan realisasi nyata di lapangan terhadap pelaksanaan MoU tersebut.

Baca Juga:  PMP DIY Gelar Tasyakuran Atas Kemenangan Prabowo-Gibran Satu Putaran

MoU Helsinki juga melahirkan produk hukum turunannya, seperti lahirlnya Undang-Undang Pemerintah Aceh Tahun 2006 (UUPA Tahun 2006). Dengan lahirnya Undang-Undang ini semakin menambah kepercayaan rakyat Aceh terhadap Pemerintah Pusat Jakarta.

Seperti kata orang bijak yang sering kita dengar: “Jika kepercayaan yang besar maka kekecewaan juga akan besar”. Kata-kata bijak tersebut seperti menjadi kenyataan di kemudian hari dalam kehidupan rakyat Aceh dalam pelaksanaan dan implementasi butir-butir MoU Helsinki.

Setiap tahun MoU dan UUPA sedikit demi sedikit semakin terdegradasi makna dan ruh serta dalam pelaksanaannya. Sudut Pandang antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Aceh serta DPR Aceh semakin terlihat adanya perbedaan pandangan mengenai penjabaran makna isi dalam butir-butir MoU dan UUPA, khususnya yang sangat alot mengenai lambang dan bendera Aceh yang sampai sekarang belum selesai di implementasikan serta disetujui oleh kedua belah pihak Aceh dan Jakarta.

Beberapa Perbedaan pandangan antara Pemerintah Pusat dan pemerintah Aceh, berimbas juga pada perbedaan sudut pandang dan hubungan antara Pemerintah Aceh dengan DPR Aceh serta kalangan elit Aceh beberapa tahun terakhir ini.

Baca Juga:  Dewan Kehormatan yang Nir Kehormatan

Sehingga Implementasi butir-butir MoU dan UUPA akhirnya sedikit demi sedikit menjadi bola liar yang akhirnya menggelinding bak bola salju bergeser menjadi isu politik dan sosial sehingga sedikit banyaknya mengganggu pikiran dan kehidupan masyarakat Aceh.

Bahkan sebagian besar masyarakat Aceh mensyinyalir isu MoU dan UUPA selalu digoreng oleh beberapa oknum dan pihak tertentu sebagai komoditas bergaining politik untuk kepentingan kelompoknya di waktu tertentu. Sehingga masyarakat menjadi antipati dan muak dengan perilaku elit dari waktu ke waktu mengenai isu MoU.

Masyarakat Aceh sekarang ini seperti kehilangan harapan dan kepercayaan kepada pemimpin dan Stake Holder terkait implementasinya. Rakyat Aceh kini dihadapkan pada harapan dan kenyataan dan “merasa dikhianati kepercayaannya” sejak Indonesia merdeka.

Harapan masyarakat Aceh kepada Pemerintahan Pusat dan pemerintah Aceh serta DPRA adalah bersama Forbes DPR-RI asal Aceh untuk segera menyelesaikan perbedaan sudut pandang mengenai implementasi dan pelaksanaan butir-butir MoU.[]

Penulis: Maimun Rajapante, S.P,  M.Si (Generasi Muda  Aceh ).

 

Related Posts

1 of 3,049