Hankam

Meminta Penjelasan Konsep Keamanan Integratif yang Amputasi Fungsi Keamanan Insani di Kepolisian

Meminta Penjelasan Konsep Keamanan Integratif yang Amputasi Fungsi Keamanan Insani di Kepolisian

Oleh: Natalius Pigai, penulis adalah Kritikus, Aktivis Kemanusiaan dan Ketua Tim Aparat Penegak Hukum, Komnas HAM RI 2012-2017

“Reformasi ditandai juga dengan pemisahan Kepolisian dari ABRI, karena Negara Gugusan Kepulauan 17 ribu, 714 suku, 1000 bahasa dan berbagai problem hukum membutuhkan tertib sosial melalui institusi yang kuat, mandiri dan independen”

Beberapa minggu terakhir ini berbagai pernyataan Ryamizar Ryacudu, Menteri Pertahanan Republik Indonesia terkait situasi politik nasional termasuk membela sesama purnawirawan TNI adalah suatu sikap yang tentu bisa dipahami. Namun satu hal yang kurang elok adalah menyerang sesama institusi Negara secara vulgar. ”kepolisian dibubarkan, dibawah Kementerian dan lain sebagainya. Sebagaimana dimuat di berbagai media. Lantas publik bertanya mengapa? bukankah pemerintah satu satu kesatuan? Apakah ada keretakan hubungan antar anggota kabinet? apakah karena Mislead sebagai penyebab sumbangan komunikasi sehingga harus berteriak ke publik? Mungkin Menhan yang tahu.

Seluruh anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia harus pahami bahwa Pemerintahan Ini yang justru memperlemah dan mengamputasi kewenangan polisi, bahkan menabrak konstitusi dengan mengeluarkan kebijakan melalui Perpres Nomor 2 Tahun 2015: Keamanan Integratif yaitu memutus sebagian kewenangan Kepolisian misalnya bidang Keamanan Laut, Penanganan Narkotika, termasuk hal-hal yang bersifat keamanan insani (inhuman security) lainnya. Oleh karena itu pada tahun 2015 saya memanggil Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu untuk meminta penjelasan. Beliau mengutus 4 Dirjen bertemu saya menyampaikan penjelasan soal ini. Sedari dulu, saya sudah pahami kalau orientasi Kementrian Pertahanan hanya untuk mengambil alih beberapa tugas keamanan seperti Bakamla, Narkotika, Terorisme, bahkan soal Keamanan insani (inhuman security) dan lain sebagainya.

Akibatnya reformasi di kepolisian tidak bisa berjalan dengan baik. Anggaran mengalami penyusutan. Kepolisian belum bisa melakukan revitalisasi instrumental, peningkatan profesionalisme dan perbaikan kesejateraan.

Dampaknya tugas pelayaan belum cukup memberi kepuasan dan keadilaan.

Hari ini menyebabkan 1.400 Kombes tidak bisa naik pangkat ke bintang, 230 perwira bintang satu yang masih antri untuk bintang dua, 66 perwira bintang dua yang antri untuk bintang tiga.

Baca Juga:  Tim Gabungan TNI dan KUPP Tahuna Gagalkan Penyelundupan Kosmetik Ilegal dari Filipina

Perwira tinggi polisi putra Papua tidak bisa dapat jabatan, sedangkan hari ini ada dua orang putra Papua bintang dua di TNI menjadi Panglima Kodam (Pangdam). Mengapa? karena keterbatasan ruang nomeklatur dan anggaran di kepolisian negara akibat amputasi kewenangan.

Prabowo Subianto sudah sangat memahami bahwa negara kuat karena institusi negara kuat.

Semua institusi negara sangat penting karena instrumen-instrumen yang menjalankan esensi dasar adanya negara yaitu Adil dan Makmur.

Karena itu memahami pentingnya kepolisian yang kuat, mandiri, modern, profesional disertai kesejahteraan yang layak sehingga akan tercipta institusi polisi yang Berwibawa, Bermartabat dan Terpercaya!

Pentingnya negara yang kuat, negara kuat jika institusi atau lembaga negara kuat, demikian pula ditunjang dengan pengelola Negara yang professional, bersih dan berwibawa.

Keamanan Dalam Negeri terpelihara jika institusi Kepolisian Negara yang kuat. Rakyat mendapat keadilan dihadapan hukum, jika institusi kepolisian terpercaya, bekerja secara independen, profesional, modern, sejahtera. Aparat penegak hukum (polisi, jaksa, hakim) harus kenyang, sehat dan pintar supaya bekerja profesional, objektif dan imparsial dalam menegakan hukum.

Entah siapapun yang menjadi pemimpin yang harus dilakukan adalah tentu mempertimbangkan “kepentingan inti negara Indonesia” (core of national interest) yaitu “sesungguhnya negara yang maju dan berkembang berada pada penguatan hukum untuk mengatur ketertiban, keamanan dan rasa keadilan bagi rakyat.”

Kepolisian, kejaksaan dan kehakiman sebagai lembaga penegak hukum yang berada di beranda depan dalam sistem peradilan pidana (criminal justice system) menjadi pilar terpenting bagi negara ini.

Jika membaca pandangan oposisi saat ini, sebenarnya secara tersirat menyatakan kegaulauan atas kegagalan pemerintah saat ini yang membawa bangsa Indonesia tersandera dalam ancaman dan negara makin tidak berwibawa karena perilaku amoralitas penguasa; kebocoran keuangan negara, korupsi merajalela, memperdagangkan pengaruh, jual beli jabatan, perilaku mesum yang justru dilakukan oleh orang-orang yang melingkari istana, pusat kekuasaan negara.

Baca Juga:  Hut Ke 78, TNI AU Gelar Baksos dan Donor Darah

Pemerintah juga menyandera pilar-pilar demokrasi, hak asasi manusia, perdamain dan keadilan melalui instrumen demokrasi yaitu partai politik, media massa, lembaga penegak hukum.

Bangsa ini sedang mengalami distorsi arah dan gradasi nilai-nilai konstitusi dan landasan idil.

Aparat kepolisian bertugas untuk mewujudkan salah satu inti kepentingan nasional (core of national interest) dengan memastikan kebutuhan warga negara terpenting yaitu: hak atas rasa aman dan hak untuk mendapat keadilan dihadapan hukum.

Indonesia saat ini sedang menghadapi berbagai persoalan yang kompleks.

Ancaman bisnis trans-nasional, kejatahan dunia maya (cyber crime), terorisme, penyelundupan dan perdagangan narkotika, kejahatan perdagangan manusia (human trafficking), pencucian uang (money loundering), korupsi dan perdagangan jabatan, perilaku amoralitas pejabat negara, ancaman konflik horizontal dan konflik vertikal antara negara dan rakyat dan lain sebagainya.

Semua permasalahan di atas tidak sekedar mengancam instabilitas sosial dan integritas nasional, namun juga mengganggu nilai-nilai fundamental seperti kebhinekaan dan Pancasila sebagai fondasi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Kalau disimpulkan ada dua ancaman yang dihadapi saat ini yaitu; 1) ancaman kejahatan konvensional yang membutuhkan penegakan hukum dalam sistem peradilan pidana. 2) menguatnya kelompok eksklusivme suku, agam, ras dan antar golongan serta penetrasi kapital dan hegemoni negara idikasi adanya komprador antara negara dan swasta.

Selain gangguan keamanan dan ketertiban dalam negeri (internal disorder) juga ancaman eksternal (externar threat) berupa ancaman negara lain, pengaruh perang proxy dan lain sebagainya.

Pada saat ini kepolisian negara sedang menghadapi tugas berat untuk menuntaskan berbagai persoalan keamanan dan penegakan hukum.

Sebagai lembaga yang berada di beranda depan dalam sistem peradilan pidana (criminal justice system), harapan publik tertuju kepada lembaga kepolisian. Namun yang menjadi pertanyaannya adalah seberapa jauh kesiapan lembaga kepolisian untuk mampu merespons berbegai persoalan yang membelit negeri ini.

Baca Juga:  Satgas Catur BAIS TNI dan Tim Gabungan Sukses Gagalkan Pemyelundupan Ribuan Kaleng Miras Dari Malaysia

Di satu sisi kepolisian menerima begitu banyak pengaduan berbagai kasus. Namun di sisi lain kepolisian juga dianggap sebagai lembaga yang lebih banyak diadukan sebagai lembaga yang belum dapat memenuhi rasa keadilan ke lembaga pengawas internal (Inspektorat, Propam dan Kompolnas) serta lembaga eksternal kepolisian seperti Komnas HAM, Ombudsman.

Demikian pula, institusi kepolisian mendapat sorotan publik semakin memburuk citranya sebagai penegak keadilan ketika terjadi konflik dengan mitra penegak hukum lainnya seperti KPK dan Komnas HAM.

Tuntutan dan harapan publik agar institusi kepolisian melakukan reformasi substansial semakin besar, itulah yang harus didorong melakukan kebijakan progresif untuk penguatan institusi yang independen dan mandiri, modernisasi instrumental, profesionalisme dan peningkatan kualitas hidup melalui perbaikan kesejahteran upa dan gaji.

Pemerintah sudah harus mendeteksi persoalan untuk mempermuda melakukan reformasi substansial.

Meskipun di bawah kepemimpinan Jenderal Tito Karnavian Indonesia termasuk negara yang mengalami surplus keamanan, namun harus diakui bahwa kepolisian tidak bisa melepaskan diri dari tarikan dunia politik dan kepentingan penguasa.

Rakyat cenderung apatis terhadap jawaban-jawaban retorika yang cenderung merespons reaksi publik dan itu tidak berarti rakyat membenci kepolisian, justru karena menjadi tumpuan harapan dan terminal akhir pencarian keadilan.

Rakyat lebih menyukai kinerja yaitu perbaikan institusi kepolisian melalui perbaikan internal dan penegakan hukum yang berkeadilan. Itu semua karena kegagalan pemimpin tertinggi negeri ini yang tidak mampu komit untuk menerjemahkan kebijakan berdasarkan landasan konstitusi dan landasan idiil.

Oleh karena itu Pak Menhan, sedari dulu 2015 sudah terlihat keinginan untuk mengamputasi tugas keamanan di kepolisian, suatu keinginan yang kontra produktif dengan konstitusi, fungsi, geostratgi dan konsepsi keamanan. kurikulum tentara adalah “lawan, lumpukan, matikan musuh”, sedangkan semua polisi itu penyidik, mematikan orang adalah sebuah adalah kegagalan”.

Menhan yang terhormat jangan menyerang institusi lain, sarankan saja ke Presiden dan DPR biarlah keputusan Politik yang menentukan. Dan kami civil Society akan lawan!

Related Posts

1 of 3,051