Opini

Membudayakan Budaya Membaca

NUSANTARANEWS.CO – Peringatan Hari Buku Nasional 2017 adalah peringatan tahunan yang selalu dinanti nanti para penikmat buku. Kalau saya cermati, Peringatan itu tidak pernah seramai pentas musik dangdut atau pasar malam di alun – alun. Meskipun di belakangnya ada embel–embel Nasional. Dan sering kali kegiatan peringatan hari buku lebih banyak dilakukan dalam kesenyapan seperti sarasehan, seminar, pameran buku, perpustakaan keliling yang kadang – kadang miskin publikasi.

Dampak dari peringatan itu pun tidak pernah nampak karena setelah kegiatan berakhir, kondisinya kembali senyap. Padahal, jika dapat memahami hakikat hari buku nasional merupakan hari pengangkatan harkat dan martabat manusia melalui penyandaraan bangsa agar meraka memiliki budaya baca. Namun, event seperti itu tidak pernah menarik untuk dijadikan kegiatan besar apa lagi dalam bentuk kegiatan masif secara nasional agar masyarakat mencintai buku dan mau membaca.

Kita masih menutup mata terhadap kondisi budaya membaca bangsa Indonesia. kemampuan membaca permulaan, seperti membaca pada taraf “melek huruf” dan minat baca ternyata masih sangat rendah. Hasil penelitian Human Development Index (HDI) yang dirilis UNDP pada tahun 2002 menyebutkan bahwa data “melek huruf” orang Indonesia berada di posisi 110 dari 173 negara. Posisi tersebut turun satu tingkat menjadi 111 di tahun 2009. Dapat dibayangkan, jika data “melek huruf” saja masih serendah itu, mmembutuhkan beberapa tahun agar masyarakat Indonesia memiliki budaya baca sehingga mampu mengauasai IPTEK.

Baca Juga:  Amerika Memancing Iran untuk Melakukan Perang Nuklir 'Terbatas'?

Pada tahun 2009 hasil penelitian Organisasi Pengembangan Kerja Sama Ekonomi (OECD) mengungkap bila budaya baca masyarakat Indonesia menempati posisi terendah dari 52 negara di kawasan Asia Timur. Yang lebih memrihatinkan lagi, indeks minat baca masyarakat Indonesia berdasarkan data dari UNESCO tahun 2012 hanya 0,001.  Artinya, setiap 1.000 orang Indonesia hanya ada 1 orang yang memiliki minat baca baik.

Dengan kondisi seperti itu, bagaimana mungkin bangsa kita memiliki budaya baca secara baik. Budaya baca pasti dimiliki oleh orang yang sudah mahir membaca. Apa lagi jika yang dimaksud adalah membaca untuk menyerap informasi dan memberi tanggapan kritis terhadap berbagai jenis informasi dalam bacaan, kondisi bangsa Indonesia pasti akan jauh lebih rendah lagi.

Jika dilihat data sejak tahun 2002, 2009, dan 2012 ternyata kondisi baca masyarakat Indonesia tidak ada perubahan, berarti ada sesuatu yang salah pendidikan di negeri ini. Dengan data seperti itu, dapat dimaknai bahwa daya saing dan daya tawar Bangsa Indonesia sangat rendah terhadap bangsa lain. Jika tidak segera diambil langkah konkret untuk mengatasi masalah seperti itu, tidak ada lagi yang dapat diharapkan oleh Bangsa Indonesia untuk dapat ke luar dari kebodohan dan kemiskinan.

Baca Juga:  Keingingan Zelensky Meperoleh Rudal Patriot Sebagai Pengubah Permainan Berikutnya?

Membudayakan Membaca

Bangsa Indonesia membutuhkan kemampuan membaca tingkat tinggi, yaitu membaca pemahaman dan membaca kritis untuk menguasai Iptek. Jika yang dimiliki hanyalah kemampuan membaca pada taraf “melek huruf” dan “minat baca” yang rendah, apa yang harus dilakukan oleh bangsa ini untuk membangun budaya baca masyarakat Indonesia? Bangsa Indonesia harus mampu membangun budaya baca. Namun, jika modal dasar yang dimiliki hanya seperti data di atas, berarti tantangan yang kita hadapi sangat berat.

Alternatif yang mungkin harus segera dilakukan adalah mengembangkan budaya baca masyarakat pada level perguruan tinggi yang akan bekerja menjadi calon guru maupun mahasiswa yang tidak menjadi seorang guru. Para sarjana yang lulus dari Perguruan tinggi akan menjadi sosok yang akan diteladani dimasyarakat, dan bagi Mahasiswa calon guru akan berhadapan langsung dengan anak-anak di sekolah. Namun, hal ini pun juga bukan persoalan mudah. Para mahasiswa yang berada pada jalur profesi guru dan non profesi guru pendidik juga masih banyak yang budaya bacanya masih rendah. Mereka hanya mau membaca ketika menjelang ujian. Sementara itu, pada hari-hari biasa mereka hanya membaca bacaan ringan.

Baca Juga:  Apakah Orban Benar tentang Kegagalan UE yang Tiada Henti?

Jalan yang paling mungkin adalah menerapkan “hukum tangan besi”. Bagi mereka pada level perguruan tinggi yaitu, mahasiswa yang menjadi generasi penerus bangsa harus di wajibkan membaca, meringkas, dan memaparkan hasil membacanya untuk dipresentasikan di ruang kuliah atau dalam kelompok diskusi. Sehingga, mahasiswa mampu merefleksikan dengan prespektif pribadinya sendiri. Dan setiap mahasiswa wajib membaca minimal 3 judul buku wajib, pada setiap mata kuliah dalam satu semester. Hanya dengan cara seperti itu, budaya baca masyarakat akan dapat dibangun.

*Arief Azizy, Penulis Mahasiswa Psikologi Uin Suka Yogyakarta, Serta Pegiat Literasi Pramoedya Ananta Toer Blora.

Related Posts

1 of 2