Budaya / SeniEsaiPolitik

Membincangkan Posisi Muslim di Tahun Politik Bersama Eickelman

Panggung politik.
Panggung politik. (Foto: Ilustrasi/Internet)

Tulisan ini didedikasikan dalam rangka memperingati Hari Puisi Nasional 28 April 2018

NUSANTARANEWS.CO – Kontestasi perpolitikan negeri – Indonesia – kembali menemui masanya. Wacana mengenai pesta demokrasi atau juga tahun politik mulai memenuhi linimasa media sosial. Satu hal yang menjadi sorotan adalah kemunculan beberapa berita mengenai ‘penggorengan’ isu agama, baik itu melalui sastra, budaya, sampai pada kitab sucinya.

Alih-alih ingin mengajak masyarakat untuk bersikap kritis di era sekarang yang tanpa batas dalam komunikasi, namun justru melahirkan paradoks tersendiri. Kenapa demikian? Lihat saja berita yang masih lumayan hangat untuk disajikan, tentang ‘Kitab Suci adalah Fiksi’ yang keluar dari seorang Rocky Gerung, kemudian puisi ‘Ibu Indonesia’ Sukmawati yang kontroversi, sampai puisi Gus Mus ‘Kau Ini Bagaimana’ yang dibacakan Ganjar Pranowo, dan juga pertemuan antara Presiden dengan Alumni 212. Ada apa, dan kenapa perlu dibahas? Karena, semuanya disinyalir mengandung unsur politik – menjelang pilkada serentak 2018 dan Pilpres 2019, yang mungkin bisa merusak kesucian politik – negative campaign. Rasanya muak bagi kita sebagai manusia terpelajar ketika disuguhkan hal-hal yang poinnya nyaris sama, karena ujung-unjungnya hanya menguntungkan satu pihak tertentu.

Baca Juga:  Pemkab Nunukan Gelar Doa Bersama Untuk Pilkada 2024

Pertama-pertama kita harus menyadari bahwa kita hidup pada zaman di mana ruang publik menjadi sangat terbuka bagi siapapun. Ini bukan hal baru. Habermas telah memberitahu kita bahwa wacana publik akan menjadi privat saat dibicarakan dalam ruang privat, pun sebaliknya, wacana privat akan menjadi un-privat ketika berbicara mengenai negara (state) dan dibicarakan di ruang publik.

Bagi penulis, berbicara politik di negeri yang mayoritas beragama Islam, Eickelman adalah teman yang pas untuk diajak berbicara. Dalam bukunya ‘Muslim Politics’ menyatakan bahwa para pemegang tradisi masyarakat Muslim terus mencoba menggali modernisme dengan tanpa menghilangkan tradisi. Namun, sebenarnya apa yang dijelaskan Eickelman adalah objektif, karena tradisi yang dimaksud adalah tradisi Nabi ketika junjunngan itu masih hidup.

Kemudian Islam menjadi sebuah isu yang menarik setelah Nabi wafat, lalu ada unsur politik dalam pemilihan tampuk kepemimpinan setelahnya. Terlebih, melihat sejarah, dari keempat Khulafaur Rasyidin hanya Abu Bakar yang wafat dengan wajar. Kemudian, bagaimana kerajaan Usmani yang berhasil dihapus oleh Republik Turki, namun ujungnya sama, yaitu khilafah. Bahasa yang digunakan adalah ‘Islam Reformis’. Ini menunjukkan betapa para pemegang kepentingan negara khilafah yang disinyalir masih ‘bermain’ politik di dalam negeri akan muncul dengan menggandeng para modernis elit negeri, dengan tujuan agar Indonesia paling tidak bisa menjadi negeri syar’i.

Eickelman juga berkata bahwa di era modern, para reformis Islam menggunakan dakwah sebagai propaganda kepentingan, tidak lagi murni pada ajakan terhadap ajaran Islam. Lagi-lagi dengan syahdu, Eickleman mengutip Muhamad Abduh, bahwa kepatuhan terhadap pemerintah (tanpa kritik) bisa menyebabkan kemandegan penegakan hukum, keadilan sosial, dan kebingungan intelektual. Hubungannya apa? Kita tengok UU MD3 DPR dan pasal mengenai penghinaan presiden dalam RKUHP. Baiklah, mungkin jika menghina memang dilarang, bahkan meskipun bukan pada presiden, tapi – coba pikirkan sendiri.

Baca Juga:  Anggota DPRD Nunukan Ini Berjanji Akan Perjuangkan Penguatan Insfratruktrur

Singkatnya, bahwa di zaman yang arus informasinya serba cepat, bisa menimbulkan gejolak perpolitikan yang multi interpretasi, karena setiap individu berhak berbicara tentang negara, meskipun dibicarakan dalam ruang privat. Jadi, ada banyak kesimpulan dari hasil obrolan bersama Eickelman, bahwa perpolitikan semakin hari makin meruntuhkan identitas sebagai Muslim yang sebenarnya.

Dakwah bukan lagi tentang ketuhanan, namun kebutuhan. Bersastra bukan lagi tentang keindahan, namun pelintiran makna. Dan beragama bukan lagi kewajiban, namun kepentingan. Dan yang paling penting bagi Muslim dalam perpolitikan adalah tetap menekankan kebaikan universal tradisi Islam pada zaman yang serba modernis agar tidak tersesat di partai setan, dan bisa berpolitik di partai Allah. Tegas Eickelman. Sekian.

Penulis: Robiatul Adawiyah, mahasiswi Manajemen Pendidikan di STAI Az-Ziyadah Jakarta. Juga sebagai aktivis pergerakan menjabat sebagai Ketua 1 Bidang Kaderisasi PMII Jakarta Timur.

Related Posts

1 of 3,065