HukumPolitik

Membenturkan Kebijakan Tjahjo Kumolo dengan UU Kepolisian dan Permendagri

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Menjelang dihelatnya Pilkada Serentak 2018, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo melakukan langkah kuda dengan mengusulkan Perwira Tinggi Polri yang masih aktif untuk menjadi Plt Gubernur Jawa Barat dan Plt Gubernur Sumatera Utara. Keputusan Mendagri yang merupakan politisi PDIP ini dinilai sarat dengan muatan politis dan melenceng jauh dari UU Kepolisian, dan Permendagri yang ditandatanganinya sendiri pada tahun 2016 silam.

Patut diduga, Tjahjo Kumolo berusaha menggiring Polri tidak netral dalam Pilkada Serentak 2018 mendatang. Pasalnya, PDIP sendiri di Jabar dan Sumut memasang jagoannya untuk merebut kursi gubernur.

Nama Asops Kapolri, Irjen M. Iriawan dan Kadiv Propam Polri Irjen Martuani Sormin yang diajukan Tjahjo Kumolo. Iriawan sebagai Plt Gubernur Jabar dan Martuani sebagai Plt Gubernur Sumut. Pada Juni, masa jabatan gubernur berakhir.

Baca: Tunjuk Pati Polri Jadi Plt Gubernur, Mendagri Langgar Aturan

Menempatkan Mendagri dari kalangan politisi memang berisiko. Dan risiko tersebut kali ini sedang digulirkan Tjahjo Kumolo, bahkan dengan menabrak dan mengangkangi aturan sekalipun dilakukannya dengan berbagai dalih. Salah satunya, Mendagri menganggap Iriawan dan Martuani jabatannya setara eselon I. Padahal, pada Maret 2017 lalu ia menunjuk pejabat eselon I Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri Sumarsono sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur DKI Jakarta menggantikan Basuki (Ahok) Tjahaja Purnama yang cuti kampanye untuk Pilkada DKI Jakarta 2017 putaran kedua.

Baca Juga:  Dukung Di Munas Golkar 2024, Satkar Ulama Jawa Timur Beber Dukungan Untuk Airlangga

Dengan kata lain, masih ada pejabat eselon I di Kemendagri yang bisa ditunjuk sebagai Plt Gubernur Jabar dan Sumut ketimbang memilih Pati Polri yang masih aktif dan sangat dibutuhkan perannya untuk turut serta menyukseskan agenda kepolisian.

Penunjukkan dua Pati Polri aktif yang dilakukan Tjahjo Kumolo jelas melanggar aturan.

Pertama, TAP MPR No. VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri dan TAP MPR No. VII/MPR/2000 tentang peran, fungsi dan kedudukan TNI dan Polri. Kedudukan Polri langsung di bawah presiden, sebagaimana tecantum dalam pasal 8 UU No 2 Tahun 2002.

Ayat (1) menyebutkan, Kepolisian Negara Republik Indonesia berada di bawah Presiden.

Pasal (2) berbunyi, Kepolisian Negara Republik Indonesia dipimpin oleh Kapolri yang dalam pelaksanaan tugasnya bertanggung jawab kepada Presiden sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Dengan kata lain, status dan posisi Polri bukan di bawah Kemendagri melainkan berdiri sendiri dan di bawah presiden langsung. Dan bertanggung jawab kepada Presiden, bukan Mendagri.

Baca Juga:  Marthin Billa Kembali Lolos Sebagai Anggota DPD RI di Pemilu 2024

Kedua, UU tentang Kepolisian berlanjut ke Pasal 28 ayat (1) menyebutkan Kepolisian Negara Republik Indonesia bersikap netral dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis.

Ayat (2) berbunyi Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia tidak menggunakan hak memilih dan dipilih.

Dan ayat (3) mengatakan Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.

Berdasarkan ketentuan hukum tersebut, terutama ayat (3), seorang anggota kepolisian hanya dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah dirinya dinas kepolisian. Atau, jika ditafsirkan secara a contrario ketentuan tersebut berarti seorang anggota kepolisian yang masih aktif dilarang menduduki jabatan di luar kepolisian.

Dan yang dimaksud dengan jabatan di luar kepolisian adalah jabatan yang tidak mempunyai sangkut paut dengan kepolisian atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri.

Ketiga, Permendagri Nomor: 74 Tahun 2016 tentang Cuti di Luar Tanggungan Negara Bagi Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota.

Baca Juga:  Dukung Duet Gus Fawait-Anang Hermansyah, Partai Gelora Gelar Deklarasi

Pasal 4 ayat (2 dan 3) menyebutkan bahwa pelaksana Tugas Gubernur sebagaimana dimaksud berasal dari pejabat pimpinan tinggi madya Kementerian Dalam Negeri atau Pemerintah Daerah Provinsi. Pelaksana Tugas Bupati/Walikota sebagaimana dimaksud berasal dari pejabat pimpinan tinggi pratama Pemerintah Daerah Provinsi atau Kementerian Dalam Negeri.

Permendagri ini diteken sendiri Tjahjo Kumolo pada 22 September 2016 silam atas pertimbangan untuk menjamin keberlangsungan penyelenggaraan pemerintahan di daerah berdasarkan prinsip negara kesatuan dan kedaulatan negara.

Berarti, penunjukkan Pati Polri aktif yang dilakukan oleh Tjahjo Kumolo jelas sarat dengan muatan politis. Dan patut diduga, keputusan politisi PDIP tersebut merupakan sebuah skenario Mendagri untuk memenangkan calon gubernur tertentu. Sebab, posisi gubernur (Plt) sangat strategis untuk meraup suara rakyat. (red)

Editor: Eriec Dieda

Related Posts

1 of 28