Berita UtamaOpiniPolitikTerbaru

Membangun Politik yang Sehat

Membangun Politik yang Sehat (Prabowo Subianto dalam gambar). Ilustrasi: NusantaraNews.co
Membangun politik yang sehat/Ilustrasi: Prabowo Subianto.

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Penyimpangan yang terjadi di era reformasi ternyata memang lebih dahsyat dari ORBA, karena bukan saja penyimpangan ekonomi, tetapi juga PENYIMPANGAN IDEOLOGI dan PENGKERDILAN NKRI dengan PELEMAHAN PERAN TNI – sehingga negara tetangga berani menghina Indonesia. Bukan itu saja, kebutuhan dasar (basic need) bagi roda kehidupan sebuah negara sudah dihancurkan dengan menyulap UUD 1945 melalui amandeman. Hasilnya UUD 1945 kita sekarang telah menjadi neolib – bertentangan dengan Dasar Negara Pancasila. Akibatnya, lihat saja dengan tingginya tingkat ketergantungan pangan dan energi kita dari impor.

Hal tersebut bisa terjadi karena para pemimpin kita tidak paham akan arti KEPENTINGAN NASIONAL sesuai dengan rumusan pembukaan UUD 1945. Pangan dan energi adalah bagian utama dari kepentingan nasional setiap negara. Bayangkan apa yang terjadi bila sekarang ini kita diembargo satu minggu saja pasokan pangan dan energi oleh negara-negara eksportir –ekonomi kita langsung lumpuh, alutsista TNI tidak bisa jalan karena tidak ada bahan bakar dan rakyat kelaparan karena pemerintah tidak punya cadangan jangka panjang. Pemerintah di era reformasi memang tidak pernah memikirkan ketahanan pangan dan energi sebagai kepentingan nasional NKRI.

Baca Juga:  Politisi Asal Sumenep, MH. Said Abdullah, Ungguli Kekayaan Presiden Jokowi: Analisis LHKPN 2022 dan Prestasi Politik Terkini

Kondisi ini membuat Indonesia dengan mudah ditakar murah oleh kekuatan asing – sehingga rakyat Indonesia tidak dapat menikmati hasil produksi sumber kekayaan alam sesuai dengan amanat Pasal 33, UUD 1945. Bahkan Indonesia dipaksa impor 29 komoditas pangan pokok termasuk garam dan ikan asin – padahal Indonesia adalah sebuah negara kepulauan terbesar di dunia, negara agraris yang subur yang selalu disinari matahari sepanjang tahun. Ironisnya, kebanyakan para pengusaha kita secara sadar maupun tidak, telah menjadi budak asing di negeri sendiri. Menjadi komprador tulen yang memakan darah daging sendiri.

Meskipun telah ditakar dengan murah, Indonesia kini telah menjelma menjadi sebuah negara kaya dalam G20. Bila PDB kita tidak bocor maka akan menembus angka Rp 30.000 trilyun dengan GDP per Capita US$ 12.000 atau setara Rp 10 Juta per bulan pada era Presiden Jokowi.

Sadarkah rakyat Indonesia bahwa sesungguhnya di era reformasi ini mereka telah menjadi bangsa yang “sejahtera”. Telah terlepas dari belenggu kemiskinan. Tapi pada kenyataan, justru ketimpangan semakin dalam. Angka kemiskinan semakin besar seiring dengan keberhasilan pembangunan. Disinilah keadilan ekonomi wajib ditegakkan, sehingga pemerataan hasil pembangunan benar-benar dapat dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia dalam waktu singkat.

Baca Juga:  Safari Ramadhan, Pj Bupati Pamekasan Shalat Tarawih Bersama Masyarakat di Kecamatan Tlanakan

Oleh karena itu, marilah kita membangun paradigma baru, membangun mindset baru yang lebih produktif. Membuat blueprint pembangunan bangsa lima tahun ke depan yang matang – yang mampu membuka lapangan kerja, mengatasi dengan singkat kebutuhan pangan, energi dan teknologi kita secara mandiri.

Saat ini, “demonstrasi” spektakuler seperti zaman Orde Lama bukanlah jalan keluar yang tepat dalam mengatasi problem bangsa ke depan. Yang kita perlukan sekarang adalah kesamaan visi, dan kebersamaan bersama berbagai elemen bangsa terutama kaum muda dan kalangan kampus untuk menjadikan Indonesia benar-benar mandiri di segala bidang kehidupan. Dimana dalam perjuangan ini kesabaran dan mawas diri menjadi modal yang sangat penting, agar kita tidak gampang terpancing oleh isu-isu yang memang sengaja dihembuskan guna memperkeruh suasana. Mengadu domba diantara kita ala politik divide at impera.

Sekarang adalah momentum yang tepat untuk bertindak guna menjawab dan mengatasi problem bangsa bersama-sama elemen bangsa yang lain yang masih komit terhadap ideologi Pancasila, UUD 1945 dan NKRI.

Baca Juga:  Tugu Rupiah Berdaulat Diresmikan di Sebatik

Nah, membangun politik yang sehat adalah dengan melakukan mekanisme kontrol yang terus menerus terhadap penyelenggara negara. Kita sebagai warga negara yang baik akan mendukung kebijakan-kebijakan dan program-program pemerintah yang baik. Tapi sebaliknya, harus berani mengkritisi dengan keras kebijakan-kebijakan dan program-program pemerintah yang menyimpang dari konstitusi secara konstruktif, solutif dan inovatif. Karena tujuan kita bernegara adalah menjaga agar jalannya pemerintahan sesuai dengan amanat konstitusi dan cita-cita founding fathers kita.

Ya, dunia semakin sempit. Teknologi satelit telah mengubah dunia menjadi kampung kecil. Terpaan informasi telah menyihir umat manusia hidup dalam dunia fantasi. Realitas telah menjadi reality show. Kebenaran telah usang. Kebaikan telah menjadi formalitas basa-basi kehidupan. Agama telah menjelma menjadi obat instan guna mengatasi penyakit sosial masyarakat.

Ketika orang baik diam, maka kejahatan akan merajalela. Ketika orang baik hanya bicara saja maka negara akan hancur. Orang yang mendiamkan kejahatan lebih jahat dari pada pelaku kejahatan itu sendiri. Orang yang membiarkan negaranya hancur adalah orang yang paling tidak bermoral – karena korbannya adalah 250 juta rakyat Indonesia.(Agus Setiawan)

Related Posts

1 of 17