Opini

Membaiknya Perlindungan Anak di Indonesia

Oleh: Khairil Akbar*

Anak merupakan anugerah yang Tuhan karuniakan kepada keluarga, lingkungan masyarakatnya, bahkan negara. Kelahiran seorang anak menjadi syarat dari keberlangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara. Merekalah generasi yang akan menggantikan kita di suatu saat nanti. Itu sebabnya anak selalu mendapat porsi lebih dari segala sudut pandang. Hukum yang membedakan perlakuannya terhadap anak adalah contoh betapa anak memang sosok yang unik dan tidak dapat didekati dengan cara yang biasa. Penerapan prinsip equality secara kaku (misalnya), tentu akan menjadi ancaman serius terhadap tumbuh kembang anak. Sebab ia akan berefek pada dimungkinkannya anak yang berkonflik dengan hukum dipidana penjara, bahkan dipidana mati sebagaimana orang dewasa. Pandangan yang justru lebih diterima adalah “tidak menyamakan anak dengan orang dewasa” sekalipun di hadapan hukum. Harus ada hal-hal yang istimewa demi terjaminnya hak-hak anak dalam berbagai kondisi.

Melindungi anak dari berbagai ancaman adalah tugas bersama. Ia merupakan tanggung jawab semua pihak. Secara konstitusional mungkin menjadi tugas negara, tapi secara moral ia merupakan kewajiban siapa saja. Sebenarnya masih banyak Pekerjaan Rumah (PR) yang harus kita selesaikan di negeri ini dalam upaya melindungi anak. Anak masih rentan dalam sistem kita yang masih sangat perlu untuk terus dibenahi. Terkadang kita malah mendapati di mana perlakuan orang lain, katakanlah orang tuanya, berimbas pada terampasnya hak-hak anak. Anak acapkali menanggung akibat buruk dari perbuatan orang tua, masyarakat di sekitarnya, bahkan dari kebijakan negara. Di Blitar misalnya, ada penolakan dari sekolah terhadap anak-anak yang ingin sekolah hanya karena orang tua mereka menolak kebijakan pemerintah setempat dalam pembangunan Rusunawa (Tempo, 4/7/12).

Baca Juga:  Rezim Kiev Terus Mempromosikan Teror Nuklir

Di lain kasus, dulu anak tidak bisa memperoleh haknya dari bapak biologis―sekalipun sah menurut agama perkwainan orangtuanya―hanya karena tidak tercatat oleh Negara. Padahal, andaipun ia terlahir karena zina, tidaklah patut anak yang menerima konsekuensi dosa orang tuanya. Prinsip “tiada warisan dosa/pahala” menegaskan kepada kita bahwa anak bukanlah objek yang layak dilabeli dengan stigma yang buruk.  Tidak patut istilah “anak zina” disematkan kepada mereka. Sebab anak seluruhnya terlahir suci. Yang salah adalah orang tua mereka. Syukurnya, persoalan ini telah diubah oleh MK lewat putusannya dalam kasus Judicial Review (JR) yang diajukan oleh Machicha Mochtar beberapa tahun lalu.

Melindungi anak sejatinya adalah salah satu tujuan dari agama. Beberapa ayat atau hadits mengenai pentingnya melindungi anak dengan mudah kita dapatkan. Sebut saja ayat tentang perintah menjaga keluarga (di antaranya anak-anak) dari azab neraka. Agama juga meminta kita untuk khawatir sekiranya meninggalkan generasi penerus (anak-anak) dalam keadaan lemah. Atau mengenai anak yang tidak terkena hukum hingga ia dewasa. Bahkan pesan tentang terlahirnya anak dalam keadaan suci pun sebenarnya merupakan isyarat betapa anak adalah sosok yang special.

Tidak dapat dipungkiri bahwa melindungi anak sewajarnya sudah diagendakan sejak lama. Meski tergolong lambat, pesan itu kiranya kini semakin terang implementasinya. Perubahan terhadap UU Pengadilan Anak (misalnya) memberi angin segar bagi kelangsungan hidup dan perkembangan anak. Dalam UU tersebut, yakni UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA), telah terjadi perubahan paradigma yang amat mendasar. UU a quo tidak lagi menempatkan anak sebagai pelaku, melainkan menganggap anak sebagai korban. Ya, cara pandang ini adalah kesadaran yang patut diapresiasi.

Baca Juga:  Apakah Orban Benar tentang Kegagalan UE yang Tiada Henti?

Ada beberapa perubahan yang mengarah kepada pembaruan dan perbaikan dalam sistem khususnya hukum Indonesia. Perubahan itu antara lain adalah usia anak dibawah umur yang dapat diproses kini menjadi 12 tahun minimal dan belum berumur 18 tahun. Dulu anak dibawah 12 tahun hingga 8 tahun dapat diproses. Sekalipun usia 12 tahun tergolong masih rendah, setidaknya usia demikian sudah lebih baik dan dipandang lebih layak menurut hukum Indonesia.  Dalam UU ini Anak juga dibedakan menjadi Anak yang melakukan tindak pidana (anak), anak sebagai saksi (anak saksi), dan anak sebagai korban (anak korban) (Pasal 1 ayat 3, 4, 5 UU SPPA). Selain itu, perumusan sanksi kian lebih baik. Pidana pokok dalam UU itu bahkan menempatkan penjara di urutan terakhir dengan maksud penjara sebisa mungkin dihindari. Jika tidak dapat dihindari, UU tersebut mengantisipasinya dengan Lembaga Pemasyarakatan Khusus Anak (LPKA) dan pemisahan blok untuk anak-anak dari orang dewasa.

Tidak kalah penting adalah pengaturan diversi bila suatu tindak pidana diancam dengan pidana penjara di bawah 7 tahun. Hal ini tak lain demi terwujudnya restorative justice (keadilan restorasi). Diversi adalah pengalihan proses dari peradilan ke luar sistem peradilan. Dengan diversi, anak akan semakin terjamin dari perampasan kemerdekaan, stigma negatif, bahkan akan mendorong rasa tanggung jawab masyarakat. Artinya, ketika anak melakukan suatu tindak pidana, di sana tentu ada pembiaran atau sekurangnya kelalaian orang dewasa dari pengawasan dan perannya dalam mendidik. Anak dalam hal demikian sewajarnya tidak dibalas karena kejahatannya. Ia adalah korban yang harus kita kembalikan ke jalan yang semestinya. Diversi akan mengembalikan tanggung jawab yang pernah terabaikan itu.

Baca Juga:  Seret Terduga Pelaku Penggelapan Uang UKW PWI ke Ranah Hukum

Belakangan Pemerintah juga mengeluarkan Perppu (1/2016) yang tujuannya untuk melindungi anak dari maraknya kejahatan pedofilia. Sekalipun terdapat hal yang patut dikritisi, namun semangat untuk melindungi anak inilah yang harus kita sambut positif. Intinya, terhadap tumbuh kembang anak yang dijamin oleh UUD kita, Negara kian menunjukkan keseriusannya. Tapi apakah aksi-aksi itu sudah cukup? Tentu belum. Keadilan di masyarakat di mana anaknya dibunuh oleh “anak-anak” yang tidak bisa dihukum berat menjadi tanda tanya hingga sekarang. Masih sulit bagi keluarga korban untuk menerima kematian anaknya jika pendekatan UU SPPA yang dipakai. Ada ketidakadilan yang mereka rasakan.

Fakta-fakta di atas menunjukkan betapa semakin terlindunginya anak dari berbagai ancaman. Tapi beberapa contoh di atas kiranya masih sebatas formalitas yang diberikan oleh UU (legal substance) yang dalam teori legal sistemnya Lawrence M. Friedmen tentu masih butuh dua sokongan sub-sistem lagi, yaitu profesionalitas aparatur hukum  (legal structure) dan kematangan peradaban masyarakat (legal culture). Dalam konteks yang lebih besar, elemen lain dari sistem kehidupan (politik, pendidikan, sosial, dll) juga perlu diperhatikan. Pendidikan yang masih menerapkan pola sanksi terhadap anak dalam rangka mendisiplinkan kiranya harus berubah ke arah positif disiplin. Desa, kota, dan bahkan pembangunan negeri ini harus berorientasi untuk tidak sekadar melindungi, tapi menunjang tumbuh kembang anak. Anak harus merasa terlindungi sejak dini agar rasa yang sama akan ia berikan ketika ia dewasa nanti.

*Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana pada Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia dan Alumni Pengajar Muda angkatan IX, Kabupaten Majene.

Related Posts

1 of 2