Artikel

Membaca Skenario Di Balik Blokade Qatar

NUSANTARANEWS.CO – Dewasa ini seiring dengan melemahnya Pax Americana, pamor Arab Saudi sebagai aktor utama di kawasan pun kian meredup. Diplomasi perdamaian di Suriah dan perang terhadap kelompok ISIS di Irak akhir-akhir ini, perlahan tapi pasti mulai mengikis peran besar Arab Saudi. Kini Iran dan Turki mulai tampil sebagai aktor-aktor yang memainkan peran utama di kawasan. Padahal, performance Arab Saudi sebagai aktor utama di kawasan Timur Tengah, bahkan dunia Islam selama ini sudah tidak diragukan lagi. Arab Saudi pasti terlibat sebagai aktor utama dalam memainkan isu-isu regional dan dunia Islam.

Mimpi Arab Saudi untuk menjadi pemimpin dunia Islam, sudah dirintis sejak era 1970-an, terutama berkat kekayaan “petro dollarnya”. Belum lagi dengan menguasai Mekah dan Madinah yang merupakan dua kota suci umat Islam. Sebagai pelayan dua kota suci dan dukungan modal ekonomi yang besar, aroma Arab Saudi di dunia Islam memang terasa sangat kental di era 1980-an. Apalagi setelah Arab Saudi berhasil menggalang negara-negara di dunia Islam bergabung dalam Organisasi Kerja Sama Islam (OKI).

Namun, hantaman “Arab Springs” telah memutarbalikkan semua itu. Arab Saudi menjadi asing dengan lingkungan baru yang benar-benar belum pernah dihadapinya. Sehingga negara monarki itu terjebak dalam perang di mana-mana. Bukan itu saja, Rezim Arab Saudi kini harus “berperang” pula menghadapi dinamika perubahan mindset rakyatnya. Terutama menghadapi kalangan terdidik yang kritis dan melek Internet. Mereka mulai menjadi ancaman nyata bagi rezim karena jauh lebih kuat dibanding rakyat biasa.

Pengaruh “Arab Spring” yang melanda Tunisia, Mesir, Yaman, dan Libya, terasa begitu signifikan terhadap kalangan akademisi yang kritis tersebut. Kendati tekanan rezim monarki sangat represif namun gerakan rakyat di negara-negara itu mulai kuat. Kesadaran demokratisasi telah tumbuh dan menjalar melalui media sosial yang tidak bisa dianggap remeh lagi, terutama dengan propaganda terus-menerus oleh kelompok oposisi dipengasingan.

Seperti diketahui, Pengaruh Iran di kawasan saat ini semakin kuat. Selepas perjanjian nuklir tahun lalu, posisi Iran dalam pergaulan internasional kian kokoh. Pihak-pihak yang didukung Iran di Timur Tengah kini memperoleh kemenangan signifikan. Di Suriah, perkembangan semakin menunjukkan kemenangan Presiden Bashar al-Assad dan para pendukungnya. Di Yaman, Arab Saudi sudah habis-habisan untuk merebut kembali Sana’a tetapi gagal. Kelompok Houti masih bertahan di ibu kota Yaman dan sejumlah wilayah lain. Di Libanon, pengaruh Hizbullah tak terbendung. Di Irak apalagi.

Sementara itu, peran Saudi semakin mengecil di kawasan. Arab Saudi tidak lagi diajak berbicara dalam penyelesaian isu Suriah. Mungkin dengan melemahnya Pax Americana, Arab Saudi kehilangan dukungan strategis di kawasan yang menopangnya selama ini. AS dan Mesir, kini memiliki agenda sendiri. Arab Saudi juga tidak mudah mendekat ke Rusia, karena musuh-musuh tradisional Saudi sudah lama bersama Rusia. Saudi kini menghadapi tantangan besar menghadapi abad 21.

Dalam situasi terdesak, akhirnya pemerintah Arab Saudi meminta bantuan Perdana Menteri Irak Haider al-Abadi untuk memperbaiki hubungan bilateral antara Riyadh dan Teheran. Seperti diketahui, mediasi Saudi untuk berdamai dengan Iran ini digagas Putra Mahkota Mohammed bin Salman (MBS) sebagaimana dilaporkan stasiun televisi Irak, Alghadeer. Hal itu pun dipertegas oleh Menteri Dalam Negeri Irak Qasim al-Araji,  ”Setelah kemenangan yang diraih Irak atas kelompok ISIS, Arab Saudi mulai melirik Irak dengan kapasitas peran utama yang sebenarnya,” seperti dilansir Al Jazeera, Senin (14/8).

Menarik untuk dicermati bahwa upaya diplomasi perdamaian Riyadh terhadap Teheran terjadi di tengah perpecahan Dewan Kerjasama Teluk (GCC) dan kemenangan Irak atas ISIS. Seperti telah diberitakan, pada bulan Juni lalu, Yaman dan Maladewa mengikuti jejak Arab Saudi, Mesir, Bahrain, Libya, dan Uni Emirat Arab memutuskan hubungan diplomatik dengan Qatar, yang dituding mengganggu keamanan kawasan Teluk sehingga menimbulkan Krisis Teluk dengan dimensi yang berbeda. Krisis semakin berkembang dengan terlibatnya Turki dan Iran yang mendukung Qatar.

Di balik pemutusan hubungan diplomatik terhadap Qatar, Arab Saudi sebagai Aktor utama sebenarnya sedang menghadapi gejolak politik di dalam negerinya terkait dengan pergantian Putra Mahkota. Boleh jadi peristiwa pemutusan hubungan diplomatik dengan Qatar lebih merupakan upaya konsolidasi kekuasaan MBS sebagai Putra Mahkota yang baru menggantikan Mohamad bin Nayef (MBN). Boleh jadi juga MBS memainkan beberapa skenario dan isu bagi kepentingan politik dirinya dan Arab Saudi umumnya.

Misalnya dengan mengembangkan isu solusi ekstrem untuk melakukan perubahan rezim, di mana Emir Qatar, Sheikh Tamim bin Hamad Al-Thani, akan digantikan oleh anggota keluarga Al-Thani yang lebih patuh. Kedua dengan skenario yang lebih mungkin, di mana Qatar berhenti memberikan perlindungan bagi anggota Ikhwan dan Hamas, dan berjanji untuk mengendalikan jaringan televisi Al Jazeera. Dan skenario terakhir, diplomat Kuwait dan Oman, yang mencoba menengahi perselisihan, akan menahan diri sebagai juru damai, dan MBS kemudian tampil sebagai negarawan.

Perselisihan Saudi-Qatar boleh jadi juga merupakan “perangkap Thucydides”, di mana Saudi yang merasa lebih besar dan berkuasa berusaha menekan saingannya yang kekuatannya mulai tumbuh. Bisa pula sebagai akibat keyakinan semi-paranoid di kalangan pemimpin Arab Sunni Arab Saudi bahwa Iran – dan non-Arab berusaha menjadi superpower di kawasan regional Timur Tengah. Dan orang-orang Saudi yakin bahwa Qatar mendukung Iran, meski para pemimpin Qatar berpaham sama dengan Saudi. Padahal dalam perang sipil di Suriah, Saudi dan Qatar telah mendukung beberapa kelompok Islam yang berbeda untuk menggulingkan rezim Presiden Suriah Bashar al-Assad.

Arab Saudi memang memiliki beberapa alasan untuk mencurigai Iran, terutama setelah Revolusi Iran pada tahun 1979,  di mana Ayatollah Ruhollah Khomeini menganjurkan revolusi di seluruh dunia Muslim. Terbukti sebuah generasi kemudian muncul, Iran memiliki pijakan di Irak, Lebanon, Suriah, dan Yaman yang mendukung pemberontak Houthi.

Campur tangan Iran di dunia Arab, jelas sangat mengganggu Arab Saudi. Apalagi setelah dukungan terhadap Houthi, Iran kembali mendukung Qatar yang di blokade oleh Arab Saudi dan sekutunya.

Sejalan dengan itu, MBS juga menghadapi pekerjaan rumah yang lebih besar di rumahnya. Sebagai negara par excellence di dunia, Arab Saudi telah lama memanjakan penduduknya dengan pengeluaran kesejahteraan. Termasuk mempertahankan kesetiaan ulama Wahhabi dengan melakukan perubahan sosial seminimal mungkin. Tapi dengan turunnya harga minyak dunia, kerajaan tidak bisa lagi mengandalkan kebijakan tradisional untuk membeli teman dan membeli lawan.

Sebagai generasi muda, MBS menyadari bahwa segala sesuatunya harus berubah. Cadangan devisa Arab Saudi semakin berkurang, sementara generasi muda Saudi – yang jumlahnya empat kali lipat dalam 30 tahun terakhir – menginginkan lebih banyak kebebasan, dan membutuhkan pekerjaan di luar sektor minyak.

Untuk mengatasi masalah ini, MBS kemudian mengemukakan “Vision 2030,” rencana besar bagi masa depan Arab Saudi, yakni diversifikasi ekonomi, memprivatisasi bagian dari perusahaan minyak nasional Aramco, dan memperluas sektor swasta. Selain itu, MBS juga memiliki rencana membuat resor wisata hedonis untuk menyaingi Dubai.

Masalah internal dan eksternal kini menekan MBS untuk segera diselesaikan. Dalam konteks politik luar negeri, MBS kemudian mencoba membuat skenario yang tidak merugikan posisi Arab Saudi. MBS patut segera membuktikan bahwa dirinya memiliki kemampuan dan pengalaman untuk memimpin. Di sini, MBS membuat langkah terobosan yang cukup mengejutkan dengan mengundang Muqtada al-Sadr, pemimpin milisi Syiah Irak yang paling kuat dan terkemuka, untuk mengunjungi Arab Saudi – setelah Perdana Menteri Irak Haider al-Abadi melakukan kunjungan ke Arab Saudi, dan menteri luar negeri Saudi melakukan perjalanan ke Baghdad.

Peristiwa kunjungan Muqtada al-Sadr ke Riyadh, tampaknya akan menjadi babak baru dalam hubungan bilateral yang saling menguntungkan diantara kedua belah pihak. Irak dengan menjalin hubungan lebih dekat dengan Arab Saudi – membuat para pemimpin Irak dapat memainkan kartu Arab Saudi untuk menjaga hubungan bilateral dengan Iran.

Sementara Irak dapat memanfaatkan pengaruh Arab Saudi atas kalangan Sunni Irak, dan mendapatkan investasi Saudi untuk membangun kembali Mosul setelah dibebaskan dari Negara Islam (ISIS). Bila skenario ini berjalan, dunia Arab dapat berdiri gagah dengan keberhasilan Irak mengalahkan ISIS, musuh bebuyutan Saudi Arabia. Bukan itu saja, Saudi juga mendapat bantuan besar dalam menenangkan kaum Syiah di provinsi timurnya yang kaya minyak. Pada saat yang sama, MBS dapat menggambarkan bahwa dirinya adalah seorang pemikir strategis yang mampu menjembatani perbedaan orang tua Arab, dan membatasi pengaruh Iran di wilayah ini. Apakah ini akan terjadi?

Masih banyak pertanyaan. Tidak jelas kapan perang di Yaman akan berakhir, atau apakah Iran dan Turki akan terus merusak blokade di Qatar. Dan masih harus dilihat apakah Qatar akan mengajukan tuntutan ke Arab Saudi dan tuntutan negara-negara Teluk lainnya – terutama seruan agar Al Jazeera dimatikan. Bagaimanapun, belum satu pun dari perkembangan ini yang terjadi. (Agus Setiawan/dari berbagai sumber)

Related Posts

1 of 37