NUSANTARANEWS.CO – Operasi militer Irak membebaskan Mosul dan Raqqa dari pendudukan ISIS yang berlangsung lebih dari delapan bulan itu telah memaksa 900.000 penduduk mengungsi, sekitar setengah dari jumlah penduduk keseluruhan sebelum kota itu dilanda perang. Pertempuran juga telah menewaskan ribuan warga sipil. Puncak pertempuran dua hari terakhir di Mosul dan Raqqa akhirnya berhasil mengusir kekuatan ISIS dari pendudukkannya sejak 2014.
Sejumlah serangan yang dilancarkan untuk merebut kembali Mosul dari kelompok ISIS telah merusak sedikitnya 5.500 bangunan, belum lagi bangunan bersejarah yang dihancurkan oleh ISIS selama menduduki Kota Tua itu. Menurut laporan PBB, kehancurannya jauh lebih besar dari yang diperkirakan dan kemungkinan menghabiskan biaya miliaran dolar untuk memperbaikinya.
Dampak dari kekalahan itu, ISIS kemudian menggeser strateginya dengan mengilhami serangan teroris di Timur Tengah, Eropa, dan Asia Tenggara. Bahkan langkah ISIS selanjutnya adalah menggoyahkan rezim Arab dari dalam – sebuah strategi yang lebih sukar untuk diimbangi oleh koalisi internasional yang sekarang mendekati Raqqa. Jadi meski ISIS telah terusir dari pusat perjuangannya, namun perang sipil di Irak dan Suriah telah menjadi konflik yang paling akut di Timur Tengah dan bahkan meluas menyeberang ke kawasan lain, seperti konflik Marawi di Filipina. Bukan tidak mungkin wilayah-wilayah masyarakat muslim lain yang miskin dan tertindas akan dengan mudah ditunggangi oleh ISIS.
Di Timur Tengah sendiri Kekhalifahan yang diproklamirkan oleh ISIS telah menelan kekalahan di Irak, bukan berarti menyerah atau hancur – dengan kata lain pertempuran Mosul dan Raqqa bukanlah akhir dari ISIS. Masih banyak wilayah yang bisa dikuasai oleh ISIS seperti Libya dan Semenanjung Sinai di Mesir, termasuk daerah-daerah yang tidak dikontrol secara ketat sehingga mudah ditembus
Tidak dapat dipungkiri bahwa menguatnya ISIS adalah akibat dari Pergeseran politik luar negeri AS di bawah kepemimpinan Presiden Obama yang lebih fokus ke Asia Timur, sehingga kawasan Timur Tengah seakan terlantar. Baru setelah Donald Trump terpilih menjadi presiden hubungan Arab-AS mulai terlihat normal kembali. Itupun perlu di uji, sampai sejauh mana kepentingan AS di Timur Tengah dewasa ini.
Benarkah AS kembali fokus ke Timur Tengah, padahal AS sudah tidak memiliki ketertergantungan minyak dengan kawasan tersebut. Bahkan menurut laporan Pentagon, Justru Cina yang sekarang menguasai 51% saham minyak di kawasan Timur Tengah. Lalu benarkah AS ingin mendorong Arab Saudi dan sekutunya menjadi kekuatan regional – baik untuk menghadapi ISIS maupun pengaruh Iran di kawasan. Seperti diketahui Iran telah memperkuat pengaruhnya di Suriah Selatan di sepanjang perbatasan dengan Yordania, membentang membentuk kawasan bulan sabit dari Iran melalui Irak ke Suriah dan Lebanon.
Yang pasti Israel, diam-diam bersama aliansi Arab yang disponsori AS, tidak duduk diam saja menyaksikan strategi Iran tersebut. Israel sendiri telah menegaskan bahwa kehadiran Iran di sepanjang perbatasan Dataran Tinggi Golan akan meningkatkan risiko perang.
Amerika Serikat juga telah melakukan tindakan untuk menghalangi pengaruh Iran dalam mencapai kedekatan wilayah dari Teluk ke Laut Tengah, dengan meluncurkan serangan udara di wilayah perbatasan Irak, Yordania, dan Suriah. Pasukan Amerika juga telah menembak jatuh pesawat tempur Suriah dan dua pesawat bersenjata bersenjata Iran yang dioperasikan oleh Hizbullah.
Sementara itu, Presiden Turki Recep Tayyip Erdoğan secara eksplisit mendukung tantangan ISIS terhadap perintah Sykes-Picot 100 tahun, yang dibuat oleh Inggris dan Prancis setelah jatuhnya Kekaisaran Ottoman.
Bukan hanya Turki yang menginginkan perubahan peta Timur Tengah. Suku Kurdi pun menginginkan negara mereka sendiri, mengingat kontribusi mereka turut mengalahkan ISIS. Masoud Barzani, presiden wilayah otonomi Kurdistan Irak, telah mengumumkan bahwa referendum kemerdekaan untuk warga Kurdi Irak akan diadakan pada bulan September.
Bagi Turki, mencegah agar hasil tersebut menjadi prioritas yang lebih tinggi daripada mengalahkan ISIS atau menurunkan rezim Presiden Bashar al-Assad. Erdoğan khawatir bahwa, jika Kurdi Irak mendapatkan kemerdekaan, mereka dapat mengilhami pemberontak Kurdi Turki sendiri, Partai Pekerja Kurdistan (PKK), untuk menghidupkan kembali perjuangan kemerdekaan mereka yang telah berusia puluhan tahun. Penghormatan yang dilakukan oleh milisi Kurdi Suriah yang berafiliasi dengan PKK di medan perang, ketakutan Turki, juga dapat melegitimasi kelompok tersebut secara internasional.
Sehingga pasukan Turki yang telah ditempatkan di Suriah utara cenderung dipertahankan bahkan setelah jatuhnya Raqqa, untuk dijadikan penyangga antara orang Kurdi di sana dan di Turki. Tapi, kekhawatiran Turki tentang perlawanan Kurdi sebetulnya tidak berdasar, kemungkinan terbentuknya sebuah kenegaraan Kurdi sangatlah tipis karena terjepit di antara empat negara – Iran, Irak, Turki, dan Suriah – yang sudah pasti menentangnya.
Rusia adalah aktor kunci lainnya di Timur Tengah saat ini, meskipun Kremlin tampaknya tidak tertarik untuk ikut campur dalam pertikaian Arab-Iran – apalagi campur tangan dalam hubungan Turki-PKK. Kremlin dan Teheran saat ini, bersama sedang menjamin kelangsungan hidup rezim Presiden Suriah Bashar al-Assad.
Dalam konteks regional, kompleksitas bertambah rumit setelah Arab Saudi bersama dengan Bahrain, Mesir, dan Uni Emirat Arab – memutus hubungan diplomatik dan hubungan dagang dengan Qatar – yang dituduh mengacaukan wilayah dengan mendukung proksi Iran dan ISIS. Dari perspektif Arab Saudi dan mitranya, sekarang saatnya bagi Qatar untuk memilih di mana ia berada dalam kaitannya dengan Iran dan Islamis.
Untuk saat ini, bagaimanapun, Qatar mendapatkan sedikit bantuan dari teman yang tersisa. Baik Iran dan Turki siap untuk mengisi kekosongan perdagangan yang ditinggalkan oleh koalisi Saudi. Turki juga telah menempatkan pasukannya ke pangkalan militernya di Qatar.
Sebenarnya, Qatar bukanlah masalah nyata bagi Arab Saudi. Bukan juga Iran. Ini hanya sebuah pengalihan masalah politik dalam negeri. Menggunakan musuh eksternal untuk mengalihkan perhatian dari masalah domestik yang belum terselesaikan sebagai sebuah taktik yang paling praktis untuk melakukan konsolidasi kekuasaan guna menyingkirkan lawan. Demikian pula dengan Mesir yang perlu pengalihan politik dalam negeri guna mengurangi ketegangan sosial dan politik yang parah.
Penulis: Agus Setiawan