MancanegaraOpini

Membaca Keputusan Presiden Trump Menarik Pasukannya Dari Suriah

Kekuatan Militer Amerika Serikat

NUSANTARANEWS.CO – Keputusan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump pada 14 Desember 2018 untuk menarik pasukannya dari Suriah yang kemudian disusul dengan pengumuman penarikan sejumlah besar tentaranya dari Afghanistan baru baru ini telah menuai banyak kecaman dari dalam maupun luar negeri, termasuk oleh media internasional. Di dalam negeri, para Senator dan politisi di parlemen mengecam bahwa keputusan itu telah merusak peran AS sebagai kekuatan global. Sementara sekutu AS seperti Inggris dan Prancis mengkritik bahwa penarikan mundur pasukan itu akan membuat kekuatan-kekuatan politik tertentu lebih mudah memberikan pengaruh di kawasan yang pada gilirannya dapat merugikan kepentingan Barat.

Lebih gila lagi adalah editorial di media masinstream Barat yang seakan-akan menggambarkan pembaca benar-benar percaya bahwa Presiden Trump mengikuti perintah Presiden Rusia Vladimir Putin. Arus media utama seperti Post, Times dan Reuter tampaknya bersatu mengutuk keberanian seorang presiden yang mungkin benar-benar mencoba untuk mengakhiri perang. Sementara dukungan terhadap Trump justru datang dari media alternatif yang menyebut sebagai langkah yang sudah lama tertunda.

Memang banyak kalangan mengatakan bahwa keputusan Presiden Trump secara geopolitik dipandang sangat menguntungkan Rusia dan Iran di kawasan. Tidak mengherankan bila Menteri Pertahanan James Mattis langsung mengundurkan diri. Jenderal Marinir tersebut tampaknya mengalami kesulitan dalam memahami kepentingan AS di satu sisi dan kepentingan sekutu di sisi yang lain, terutama Israel dan Arab Saudi yang mahir “memanipulasi” kekuasaan di Washington.

Pada kenyataannya, andil AS memang sangat kecil dalam perang melawan kelompok-kelompok teroris yang menyerang wilayah itu dibanding Rusia, Iran, atau Suriah sendiri. Dengan kata lain, Rusia, Iran dan Suriah sebetulnya berperang melawan proxy bentukan AS dan sekutunya di kawasan tersebut. Ada cukup bukti yang menunjukkan bahwa para teroris di waktu yang berbeda dan dalam situasi yang berbeda dibantu dan didukung oleh lembaga dan organisasi yang terkait dengan AS, Inggris dan Prancis dan negara-negara di kawasan seperti Israel, Arab Saudi, Qatar dan Turki. Mereka memberikan bantuan keuangan, pelatihan militer dan intelijen serta membangun jaringan regional dan global untuk menopang kegiatan para teroris

Baca Juga:  Seret Terduga Pelaku Penggelapan Uang UKW PWI ke Ranah Hukum

Lalu bagaimana menjelaskan logika penentang kebijakan Trump? Misalkan benar sel-sel teroris ISIS masih ada dengan kekuatan 20 ribu pengikut yang tersebar di bawah tanah dan kemungkinan bangkit kembali setelah penarikan pasukan AS – lalu apakah 2000 pasukan AS bersenjata lengkap dapat membendungnya?

Bila mengikuti logika Trump, jalan terbaik melawan kebangkitan teroris ISIS adalah dengan memulihkan Suriah yang memiliki lebih dari cukup sumber daya tersedia untuk membersihkan sisa-sisa terakhir kelompok teroris di wilayah kedaulatannya.

Sementara terkait dengan Iran, kita perlu kembali melacak kebijakan AS di Timur Tengah yang dirancang oleh George Kennan pada tahun 1947 guna membendung pengaruh Uni Soviet  yang agresif dengan persenjataan nuklirnya yang kuat. Iran, bila dibanding dengan Soviet hanyalah sebuah negara dengan militer dan ekonomi kecil tanpa persenjataan nuklir, dan bukan merupakan ancaman bagi AS maupun tetangganya. Tetapi sekutu AS, Israel dan Arab Saudi tidak menyukai Iran dan mendorong AS untuk mengikuti kepentingan mereka. Dengan keputusan penarikan pasukan AS dari Suriah, jelas secara tidak langsung Washington mengakui bahwa pada kenyataannya Iran bukanlah ancaman.

Lalu benarkah bahwa kepergian AS menguntungkan Rusia dan Iran? Justru sebaliknya! Rusia dan Iran akan terkuras sumberdayanya yang terbatas sehingga sukar membayangkan bagaimana Rusia dan Iran dapat mengeksploitasi kemenangan mereka di Suriah sembari meningkatkan keterlibatan mereka di bagian dunia lain. AS tampaknya dengan cerdas meninggalkan perkerjaan rumah yang rumit bagi Rusia dan Iran – dan sepertinya Rusia dan Iran pun ingin segera melakukan penyelesaian akhir – sehingga mereka segera bisa keluar. Logikanya jelas, semakin banyak uang dan tenaga yang keluar ke Suriah, semakin sedikit mereka dapat terlibat di tempat lain.

Baca Juga:  Dewan Kerja Sama Teluk Dukung Penuh Kedaulatan Maroko atas Sahara

Presiden Trump melihat bahwa militer hanya akan dikerahkan ke mana saja bila digunakan untuk membela kepentingan AS sendiri – tidak untuk dipertaruhkan di Suriah. Nah, apakah keamanan nasional AS lebih baik atau lebih buruk jika AS pergi? Di Suriah, tentara AS dan Rusia kini saling berhadapan langsung yang dapat saja memicu perang yang tidak disengaja. Bahkan kemungkinan memulai perang yang tidak disengaja dengan Iran akan berpotensi menjadi bencana bagi AS dan juga bagi semua negara di kawasan, sehingga jauh lebih baik untuk menjaga jarak antara kedua pihak.

Situasi ini jelas merupakan peluang bagi untuk Suriah segera melakukan reformasi politik yang telah dicoba diprakarsai oleh Presiden Suriah Bashar al-Assad pada tahun 2001. Suriah memang membutuhkan perubahan untuk menghadapi zaman baru – meski butuh kerjasama dan dukungan dari sekutu utamanya: Iran dan Rusia – tapi pada akhirnya rakyat Suriah sendirilah yang akan menentukan nasib bangsa mereka yang kaya secara historis dan budaya.

Baca:

  • Mengenal Visi “Four Seas Strategy” Suriah Presiden Assad
  • Strategi Iran Menghadapi Politik Minyak AS
  • Akankah Israel Menjadi “Lone Wolf” di Timur Tengah?

 

Sebagai penutup tulisan ini, Presiden Trump memang sudah menyadari bahkan sebelum menjadi Presiden bahwa dia tidak akan mampu mencapai agenda sekutunya ini. Jadi penarikan pasukan AS dari Suriah adalah suatu hal yang sudah tepat untuk dilakukan – meski mungkin ada beberapa transasksi politik rahasia dengan sekutunya di Timur Tengah seperti Israel, Arab Saudi dan Turki – yang boleh jadi akan semakin memperumit pemulihan kedaulatan Suriah dan sekaligus menambah panjang pekerjaan rumah Rusia dan Iran.

Baca Juga:  Rezim Kiev Terus Mempromosikan Teror Nuklir

Memang ada sedikit kesan bahwa Washington menentang hegemoni Israel di kawasan regional. Washington tampaknya ke depan akan memainkan kebijakan luar negeri dan strategi militer yang lebih lentur di panggung global. Namun tetap saja pengeluaran militer AS masih tinggi, tercatat pada 2017 sebesar US$ 610 miliar.

Boleh jadi faktor utama penarikan pasukan AS dari Suriah dan Afghanistan adalah biaya keuangan perang yang besar. Diperkirakan perang Suriah akan menelan biaya US$ 15,3 miliar pada 2019. Biaya Perang Afghanistan bahkan lebih mengejutkan lagi. Dengan 16.000 tentara di negara kaya lithium itu – AS harus mengeluarkan biaya US$ 45 miliar setahun. Bahkan pada 2010 sampai 2012 ketika AS mengerahkan 100.000 tentara dalam Perang Afghanistan telah menghabiskan US$ 100 miliar pertahun.

Atau boleh jadi Presiden Trump menyadari bahwa AS tidak akan memenangkan perang tersebut.

Sampai saat ini, diperkirakan empat juta umat Islam telah terbunuh akibat perang global melawan terorisme yang dikobarkan sejak 2001 dan jutaan lainnya menjadi pengungsi.  AS sendiri kehilangan lebih dari delapan ribu tentaranya yang tewas selama perang yang tidak jelas. Perang tersebut telah menghabiskan biaya US$ 6 triliun dan terus bertambah. (Agus Setiawan)

Related Posts

1 of 3,083