Gaya HidupInspirasiTerbaru

Membaca Buku Cetak Jauh Lebih Menyenangkan Ketimbang Membaca Buku Digital

NUSANTARANEWS.CO – Apakah ada pengaruh yang signifikan terhadap minat baca masyarakat, khususnya kalangan pelajar dengan keberadaan buku-buku digital atau ebook dewasa ini? Apalagi keberadaan ebook telah memberi pilihan dan kemudahan bagi pembaca yang berkantong pas-pasan. Memang harus diakui bahwa internet kini telah menjadi bagian dari kehidupan umat manusia sehingga keberadaan internet menjadi tantangan tersendiri bagi para penerbit buku cetak untuk lebih kreatif dan inovatif dalam pemasarannya.

Banyak kalangan menilai bahwa keberadaan internet dengan berbagai jenis layanan informasi digitalnya, termasuk keberadaan ebook merupakan lonceng kematian bagi eksistensi buku-buku cetak. Padahal informasi digital melalui internet yang bersifat instan belum tentu benar isinya, bahkan cenderung dangkal. Meski kenyataan itu sudah di depan mata, ternyata masih banyak pula masyarakat yang tetap optimis bahwa buku cetak tetaplah yang terbaik sebagai salah satu sumber referensi untuk memperoleh pengetahuan yang hakiki.

Pemerhati minat baca pelajar, Siti Muyassaratul Hafidzoh, Kepala sekolah MTs di Bantul, Yogyakarta menilai bahwa ada cara khas ketika kita membaca buku, misalnya kita suka memberi tanda-tanda tertentu pada bagian tulisan yang kita anggap penting untuk diingat, sedangkan kalau membaca media digital terkadang kita hanya sekilas saja.

Baca Juga:  Paslon Cabup Gus Fawait-Djos Tak Hadir Kampanye Damai, KPU Jember Langgar Kesepakatan Bersama

Kedua, kata wanita yang akrab disapa Muyyas ini menuturkan pandangannya bahwa penerbitan banyak yang mengalami kolep, bukan hanya penerbitan buku, namun koran dan majalah pun ikut merasakan dampak keberadaan internet. Yang paling sedih adalah majalah Horison, majalah sastra kebanggaan Indonesia yang memberi banyak inspirasi bagi anak -anak untuk mencintai sastra, sekarang sudah tidak terbit lagi cetaknya, beralih ke digital.

Ketiga, lanjutnya, koleksi buku perpustakaan akan jauh berkurang, sehingga mengakibatkan minat masyarakat datang ke perpus juga berkurang. Lihat saja mal lebih ramai dari pada perpus, pameran elektronik lebih ramai dari pada pameran buku.

Keempat, rawan plagiasi. Karena buku digital itu bisa di copypaste (copas) dengan mudah. Sehingga orang sering melakukan copas tanpa membaca keseluruhan, hanya karena dirasa cocok jadi di-copas. Kecenderungan ini banyak terjadi dikalangan mahasiswa yang sedang menulis skripsi.

“Saya pernah iseng riset (untuk pribadi, karena penasaran) di salah satu perpus kampus ternama di Jogja saya mengambil sekitar beberapa skripsi yang temanya sama dan tahunnya saya acak. Saya menemukan banyak kutipan-kutipan yang seharusnya dicantumkn sumbernya tapi tidak dicantumkan, kemudian beberapa skripsi sama persis 2 sampai 3 paragraf,” ungkap Muyyas saat berbincang-bincang dengan Nusantaranews.co di Yogyakarta, Kamis (8/9).

Baca Juga:  Mesin Propaganda Arus Utama Barat Marah Karena Mitos 'Isolasi Putin' Runtuh

Di tempat terpisah, penyair senior, penulis antologi puisi dan novel, Sutirman Eka Ardhana justru optimis dengan masa depan perbukuan di era digital.

“Tentang masa depan perbukuan, khususnya buku cetak, di era digital ini, kok saya masih punya keyakinan bahwa buku cetak tidak akan begitu saja mudah dikalahkan. Saya kok tetap yakin, buku cetak masih tetap punya pasar, walau memang tidak sehebat sebelumnya,” ujar Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini.

Menurutnya, membaca buku cetak tetap jauh lebih menyenangkan ketimbang membaca buku digital. Buku digital hanya unggul dalam segi praktis dan kecepatan saja. Apa yang dibaca di buku cetak, akan masuk sampai ke rasa (jiwa). Tapi kalau buku digital, kecenderungannya akan dibaca selintas dan cepat, seperti tanpa penghayatan. (Eriec Dieda/as)

 

Related Posts

1 of 3