Berita UtamaPolitik

Memahami Sikap Politik Penyair Besar WS Rendra

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Menjelang pesta demokrasi di Indonesia semua kalangan nyaris membicarakan siapa dan partai apa yang didukungnya. Termasuk kalangan seniman pun. Kendati, seniman baru berbondong-bondong tanpa tedeng aling-aling menyatakan sikapnya ke publik memberi dukungan pada salah satu calon (utamanya) Presiden ialah pada Pilpres tahun 2014 silam.

Meski tidak semua seniman menunjukkan pilihannya ke publik, tapi kebanyakan ikut terlibat melakukan kampanye melalui kata-kata, minimal di beranda media sosialnya masing-masing, dengan caranya masing-masing pula.

Sekadar membaca tola ukur atau barometer, redaksi memilihkan sikap soerang penyair, sastrawan, budayawan, dramawan, bahkan pemikir sekaliber WS Rendra. Mengapa WS Rendra? Sebab, sebagai penyair, si Burung Merang ini senantiasa jujur menyatakan-menyuarakan sikap politiknya. Apakah tahun 2014 WS Rendra memberika dukungan pada salah satu calon Presiden? Tentu saja Tidak, sebab pada 6 Agustus 2009, WS Rendra telah wafat.

Lantas, mengapa harus Rendra? Sebab pada Pilpres-Pilpres sebelumnya, Rendra pernah ikut hadir dalam sebuah kampanye capres-cawapres Megawit-Prabowo. Memang terkesan paradoks, ketika melihat sikap dan tindakan Rendra yang ikut berdiri di atas panggung kampanye partai politik. Bukankah Rendra punya pandangan bahwa, penyair menjadi otentik ketika penyair itu diistinakan alias berdiri di lingkaran politisi?

Mari kita simak jawaban-jawabannya dari seorang murid WS Rendra pada generasi 98-an, DS Priyadi.

Kepada salah satu media online, koranopini.com tiga tahun lalu, DS Priyadi mengungkapkan pandangannya tentang sikap politik sang guru sekaligus sahabat yaitu Rendra. Berikut ini kutipan lengkap diskusi DS Priyadi dengan KoranOpini yang dipulikasikan pada 4 Juli 2014 lalu menjelang Pilpres.

RASP: Anda adalah murid Rendra dari generasi 98-an. Pada generasi Anda, apa yang diperlihatkan Rendra dalam sikap politiknya saat itu?

DSP: Sejauh saya tahu, Rendra orang yang konsisten membela apa yang dia sebut sebagai daya hidup manusia, dalam skup lebih luas berarti daya hidup bangsa. Yang mendukung daya hidup itu, selalu dia bela. Sebaliknya, yang kontra daya hidup, ia lawan. Dalam konteks politik, Rendra memperjuangkan nilai-nilai yang mendukung daya hidup itu. Bukan karena tujuan pragmatis seperti jabatan atau karier. Sajak-sajak pamflet Rendra merefleksikan pandangan-pandangannya akan hal itu.

Baca Juga:  Ketua IPNU Pragaan Mengkaji Fungsi Chat GPT: Jangan Sampai Masyarakat Pecah Karena Informasi Negatif

Di tahun itu Rendra menulis Sajak Bulan Mei 1998. Dia membacakannya pada banyak pertemuan termasuk pada pentas besar Kantata waktu itu. Sebuah kesaksian dan keprihatinan seorang penyair terhadap tragedi yang waktu itu terjadi. Dalam situasi chaos itu Rendra wanti-wanti agar kita semua tidak larut dalam kesuntukan mencari ratu adil. Dia menuliskan: Berhentilah mencari ratu adil! / Ratu adil itu tidak ada. / Ratu adil itu tipu daya! / Apa yang harus kita tegakkan bersama adalah Hukum Adil.

Sajaknya bagus sekali. Saya ndak hafal. Tapi selalu, pada pokoknya Rendra membela daya hidup itu. Jadi, pada hemat saya, yang dilakukan Rendra sebenarnya lebih sebagai gerakan kebudayaan. Ia mencoba menegakkan standar akal sehat dalam memandang persoalan. Belajar mitologi baik, tapi larut dalam romantisme mitologi dan legenda-legenda yang memabukkan kita tidaklah mendukung daya hidup sebuah bangsa. Karena itu ia merasa tak segan-segan mengingatkan.

RASP: Sajak Sebatang Lisong adalah karya WS. Rendra yang memiliki relevansi kondisi bangsa saat ini. Apa yang bisa Anda jelaskan dari sajak tersebut?

DSP: Sajak Sebatang Lisong adalah potret sosial-politik waktu itu. Periode di mana Rendra awal-awal menulis sajak pamflet yang cukup menggegerkan karena keluar dari tradisi sastra pada zamannya. Waktu itu menjadi signifikan karena jarang sekali ada orang yang berani membeberkan fakta-fakta buram yang tersembunyi di balik topeng anggun kekuasaan. Di sini Rendra menyadari, bahwa puisi bukanlah persoalan intuisi dan estetika saja. Puisi mesti menaikkan fungsi dan martabatnya, bukan sekedar pelipur lara.

Di tangan Rendra, puisi bisa menjadi alat penyadaran bangsa.  Dengan demikian, pada prosesnya harus disertai laku verifikasi supaya tidak ambigu dan membingungkan publik yang mendengar atau membacanya. Etos manjing ing kahanan tak cukup dimaknai sebagai menggelandang, blusukan dan hidup menderita saja, tapi juga perlu masuk dalam kahanan yang berkembang dewasa ini: ada fakta sosial, ada fakta politik, ada fakta ekonomi, ada fakta sejarah. Ini kan mau gak mau harus dipahami. Misal kita ngomong penderitaan atau kemiskinan, nggak bisa dong kita intuitif saja. Nanti bisa terjebak dikit-dikit metafisis. Sedih terus jadinya, karena takdir apa mau dikata. Nah, dalam rangka memupuk daya hidup, harus dicari sumber persoalannya. Harus ada laku verifikasi. Sajak Sebatang Lisong  itu kan seperti tesisnya Rendra, itu buah verifikasinya Rendra.

Baca Juga:  Berikut Nama Caleg Diprediksi Lolos DPRD Sumenep, PDIP dan PKB Unggul

Ia menggambarkan dengan apik betapa syahwat penguasa dan cukong-cukong yang mengangkangi negeri ini telah menumbuhkan ironi di sana-sini. Kanak-kanak tanpa pendidikan, buruknya sistim pendidikan, kemiskinan dan pengangguran, dan kesenian yang gagap karena terpesona terus dengan keindahan langit. Rendra menutup sajak tersebut dengan statement yang gamblang: Apakah artinya kesenian, bila terpisah dari derita lingkungan. Apakah artinya berpikir, bila terpisah dari masalah kehidupan.

RASP: Ketika pemilu 2009 WS Rendra membaca sajak dalam acara deklarasi Mega-Prabowo. Menurut Anda, apakah Rendra yang dikenal sebagai imparsial selama itu, seperti mendukung Megawati dan Prabowo? Mengapa?

DSP: Waktu itu saya juga kaget. Saya sudah tidak di tempat Rendra, saya di Jogja. Menurut saya bisa saja itu dibilang bentuk dukungan, setidaknya dukungan moral. Dan Rendra tak mungkin gegabah. Seperti yang saya bilang, ia ketat dalam menjalankan laku verifikasinya. Pasti ada data-data yang menguatkan sikapnya itu. Ndak mungkin beliau mendukung karena dorongan pamrih kekuasaan atau jabatan. Wong waktu jaman pak Harto kalau dia mau berdamai sudah ditawari jadi menteri pendidikan dan kebudayaan kok.

Tapi kalau saya boleh menduga, Rendra ini orangnya kan getol sekali mengingatkan siapa saja supaya tidak terbius oleh iming-iming asing dalam segala bentuk dan rupanya. Asing jadi sumber masalah karena nggagahi sumber daya alam serta mengintervensi kebijakan dan regulasi.

Penetrasinya tak cuma sebatas itu karena mereka juga masuk dalam ranah kebudayaan. Walaupun tak bergaung luas, sebenarnya dulu sempat terjadi polarisasi anatara seniman yang pro TUK dan yang kontra. Nah secara ideologis Rendra jelas berseberangan dengan TUK yang menjadi mesin tunggangan asing itu.
Pokoknya kita ini dikepung dari mana-mana. Dan bagaimana solusinya? Sementara, pada tahun 2009 itu Prabowo lah yang memiliki visi yang terang atas penolakannya terhadap asing. Bukan SBY atau Wiranto. Soal bocor-bocor itu, waktu itu ia sudah bicara. Ini menjadi harapan tentu saja.

Baca Juga:  WaKil Bupati Nunukan Buka Musrenbang Kewilayahan Tahun 2024 Pulau Nunukan dan Pulau Sebatik

Dan juga, iklim politik sudah bergeser. Di jaman Orba ndak mungkin to ndukung-ndukung kayak gitu. Lha musuhnya waktu itu kan sama, rezim. Kalau Rendra membaca puisi pada deklarasi itu, saya kira ndak ada salahnya. Sebagaimana sekarang mbah Maemun Zubair bersikap serupa. Kalau ada visi yang baik, ada niat yang baik, ya saya kira baik saja memberikan dukungan.

RASP: Tapi visi dan misi bukan jaminan. Apalagi momentum kampanye seperti sekarang ini.

Ya itu resiko. Tapi kan ya ndak bisa dong kalau lalu pesimis terus. Artinya itu kontra daya hidup. Jika kemudian yang didukung berhasil tapi tak melaksanakan visi baiknya, ya tinggal dikritisi lagi. Rendra punya filosofi “hidup di angin”. Itu sudah disiplin kepujanggaan dia. Kedudukan pujangga diibaratkan sebagai ruh sementara pemerintahan adalah badan. Sebagai penyair ia akan berada pada posisi yang berseberangan: mengkritisi, memberi masukan, mengingatkan. Ia mungkin saja mendukung siapapun yang memiliki agenda-agenda positif, dan setelah yang didukung berhasil, ia kembali ke angin dan mengkritisi lagi.

RASP: Anda punya kesaksian apa tentang sikap politik Rendra bila ia masih hadir saat ini? Ke Prabowo atau Jokowi bila mengacu pada sikap politik di tahun 2009?

DSP: Tentu ia akan menimbang potensi asing yang mencengkeram masing-masing kubu. Seumpama mendukung, yang dipilih ya yang resiko tersanderanya lebih kecil. Mengenai sikap politiknya di tahun 2009 saya kira masih mempengaruhi secara signifikan. Tapi sebagaimana saya katakan di atas, pada hakikatnya  Rendra mendukung daya hidup bangsanya. Ia hidup di angin. Di kalbu rakyatnya. Dan jangan lupa, di manapun pilihan kita, kawan dan lawan adalah saudara.

Penulis/Editor: Ach. Sulaiman

Related Posts

1 of 3