KhazanahSpiritualTraveling

Melirik Potensi Wisata Ziarah

Melirik potensi wisata ziarah. Ziarah sendiri telah ada sebelum kedatangan agama-agama ke Nusantara. Ilustrasi wisata ziarah ke Makam Gus Dur.
Melirik potensi wisata ziarah. Ziarah sendiri telah ada sebelum kedatangan agama-agama ke Nusantara. Ilustrasi wisata ziarah ke Makam Gus Dur.

NUSANTARANEWS.CO, Semarang – Melirik potensi wisata ziarah. Ziarah sendiri telah ada sebelum kedatangan agama-agama ke Nusantara. Sedangkan agama-agama yang datang melakukan akulturasi dengan adat setempat yang masih bercorak dinamisme dan animisme. Jadi ziarah sendiri bukan hanya terdapat dalam agama Islam saja, melainkan seluruh agama hampir mengajarkan atau setidaknya memperbolehkan untuk berziarah. Jika dilihat dari agama Islam, peziarah terbagi dari dua kelompok, yaitu peziarah santri dengan peziarah abangan.

Peziarah santri, khususnya makam para sholeh menjadikan makam mereka sebagai sarana mendekat kepada Tuhan, meneladani perjuangan dakwahnya, ngalap berkah dan memohonkan ampun kepada mereka. Peziarah abangan, baik makam maupun lokasi lain, menjadikannya sebagai sarana mendekat kepada Tuhan, ngalap berkah, tirakat untuk mencapai yang diharapkan. Ada dua dimensi dari wisata ziarah in, dimensi spiritual dan dimensi sejarah.

Menawarkan wisata ziarah sebagai potensi wisata desa bukan tanpa alasan. Ada beberapa faktor pendukung yang melatar belakanginya. Faktor pendukung yang pertama berkaitan dengan kultur masyarakat. Masyarakat di Nusantara pada umumnya sangat menghormati tradisi dan adat-istiadat yang turun-temurun diwariskan dari nenek moyang. Telah lama kita mengetahui bahwa Indonesia termasuk dalam corak budaya timur. Budaya timur tersebut sangat berkaitan dengan adat-istiadat, tradisi, roh, tirakat dan kekuatan supranatural, termasuk di dalamnya adanya kegiatan ziarah. Ziarah pada umumnya yang sering dilakukan adalah ziarah kubur, kemudian mengunjungi petilasan, sendang (kolam), sungai, gunung dan lainnya. Mereka datang ke tempat tadi ada yang memanjatkan doa, meminta keselamatan dan tujuan lain. Khususnya ziarah kubur, di masyarakat Jawa dikemas ke dalam acara yang dinamakan Sadranan yang dilaksanakan setiap Bulan Ruwah dalam penanggalan Islam dan Jawa menjelang Bulan Suci Ramadhan. Ini berkaitan dengan dimensi spiritual.

Baca Juga:  Cucu Sultan Aceh Ziarah Ke Makam Pocut Meurah Intan di Blora Jawa Tengah

Faktor pendukung yang kedua berkaitan dengan jumlah lokasi ziarah. Sebagaimana yang telah saya sampaikan di atas, bahwa Nusantara khususnya Jawa keberadaan lokasi ziarah ini sangatlah banyak. Bisa dikatakan semua desa di Indonesia memiliki tempat ziarah. Baik itu yang berupa makam, petilasan, pohon, sendang (kolam) dan sebagainya. Bahkan terkadang satu desa memiliki beberapa tempat ziarah, walaupun berbeda jenisnya. Sangat sedikit dari tempat ziarah tersebut yang terawat keberadaannya. Kebanyakan dari mereka itu dibiarkan begitu saja, dikelola perseorangan, dijadikan tempat pemujaan bahkan terkadang ada benda sejarah yang tercuri. Ini berkaitan dengan dimensi sejarah.

Wisata ziarah merupakan salah satu alternatif wisata yang bisa disuguhkan dan digarap melalui Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Mengajukan wisata ziarah sebagai potensi wisata bagi desa bukanlah ajakan untuk melakukan pemujaan. Tetapi di sini lebih ditekankan kepada dimensi sejarah yang lebih fleksibel untuk diterima secara luas. Walaupun dalam pelaksanaannya dimensi spiritual pun ikut masuk di dalamnya namun itu sah-sah saja. Karena dimensi sejarah dengan dimensi spiritual dalam wisata ziarah ibarat dua sisi uang logam. Melainkan perlu penanganan khusus dan cara menggarapnya yang baik dan benar. Dikatakan baik karena tidak merubah adat-istiadat dan keaslian. Dimaksud benar karena tidak menyimpang dari ajaran agama. Oleh karena itu, ada beberapa poin penting yang diajukan sebagai cara untuk menggarap wisata ziarah tersebut.

Baca Juga:  Indonesia Mulai Terapkan Green Tourism dan Wellness di Sektor Pariwisata 

Pertama, perlu adanya perhatian dari dinas terkait. Dinas Purbakala melakukan inventarisasi setiap aset bangunan purbakala dan memberikan legalitas. Kemudian Dinas Kebudayaan dan Dinas Pariwisata melakukan pembinaan dan pengelolaan termasuk promosi. Lalu Dinas Agama melakukan pembinaan secara keagamaan, bagi yang Islam bisa melakukan pengajian, sholawatan, sadranan dan sebagainya.

Kedua, penyediaan fasilitas sarana dan prasarana yang memadai. Secara spiritual, wisata ziarah berkaitan dengan perjalanan spiritual yang lebih menekankan kepada kesederhanan dan prihatin serta bertapa. Sehingga simbol-simbol kemewahan yang berada di lokasi ziarah akan mengurangi kesakralan. Jalan yang mulus terkadang tidak dibutuhkan oleh peziarah, karena semakin sulit jalan yang ditempuh maka semakin dekat mereka dengan yang diharapkan dan memperbesar pertapaannya. Walaupun menghindari kemewahan, tetap saja ada sarana dan prasarana yang sangat urgen untuk disediakan. Sarana dan prasarana yang sangat urgen tersebut adalah adanya prasarana sumur dan toilet. Karena selama berziarah mereka sangat mengedepankan kebersihan, sehingga air dan toilet sangat dibutuhkan. Namun lokasi parkir, lokasi jajanan, lokasi souvenir, lokasi penginapan dan sebagainya juga dibutuhkan.

Baca Juga:  Bupati Nunukan Ajak Muslimat NU Selalu Berkonstribusi Dalam Pembangunan

Ketiga, Dinas Pariwisata dalam promosinya harus memasukkan desa-desa wisata ke dalam paket wisata. Perhatian ini lebih dikaitkan kepada dimensi sejarah dari wisata ziarah. Oleh karena itu perlu adanya kerjasama antar desa. Kerjasama antar desa lebih layak jika diwujudkan ke dalam BUMDes atau mungkin bentuk lainnya. Pemerintah Daerah, dalam hal ini Kecamatan memfasilitasi atas lahirnya kerjasama antar desa. Karena kerjasama antar desa merupakan bagian dari pembangunan kawasan yang diamanahkan di dalam UU No 6 Tahun 2014 Tentang Desa (UU Desa). Sehingga lahirlah paket pariwisata yang terpadu. Potensi kuliner, potensi alam, potensi kriya (kerajinan) dan potensi seni-tradisi yang ada dalam lingkup kawasan tersebut saling berkerjasama. Pengunjung dalam ke kawasan tersebut tidak hanya disuguhi wisata ziarah semata, melainkan bisa ke kuliner, alam, kriya dan seni-tradisi.

Keempat, suatu usulan yang setidaknya bisa dijadikan bahan pertimbangan pelaku pariwisata adalah berkaitan dengan cerita atau sejarah. Sebagaimana salah satu dimensi tadi, selain dimensi spiritual dalam wisata ziarah juga memuat dimensi sejarah. Candi Prambanan di Jawa Tengah dan DIY terkenal karena kisah Loro Jonggrang dan Bandung Bondowosonya, Gunung Gambar di Gunung Kidul terkenal karena kisah Pangeran Samber Nyowo atau KGPAA Mangkunegara I atau RM Said, begitu juga dengan lokasi-lokasi lainnya. Makam-makam dikunjungi karena adanya tokoh yang sejarahnya telah berkenal. Oleh karena, perlu perunutan sejarah yang ada di lokasi tersebut. Jika tidak memungkinkan bisa ‘dibuatkan’ sejarah atau cerita yang dimungkinkan mirip agar menjadi daya tarik tersendiri. (Min/Alya)

Related Posts

1 of 3,051