ArtikelBerita UtamaPolitik

Melirik Pilkada Jawa Barat

Oleh: Ikhwan Arif*

Setelah berakhirnya gejolak Pilkada DKI Jakarta, selanjutnya mata akan tertuju pada  kontestasi Pilkada Jawa Barat. Kesuksesan partai pengusung di ajang Pilgub DKI Jakarta tentu akan membawa dampak kuat pada proses Pilkada Jawa Barat. Berbagai unsur partai tengah menyiapkan langkah baru untuk mengusung kandidat kuat yang akan bertarung nantinya.

Jika berkaca pada kemenangan koalisi partai utama yaitu Gerindra dan PKS pada Pilkada DKI Jakarta, tentu kemenangan dalam berkoalisi antara Gerindra dan PKS akan berlanjut pada Pilkada Jabar tahun 2018 nantinya. Terlebih kedua koalisi ini mampu mempertahankan chemistry partai untuk bertarung di dalam kontestasi politik nasional dan daerah. Karena akhir-akhir ini banyak partai yang tidak mampu menjaga koalisi harmonis, kebanyakan partai hanya mengutamakan kursi politik dibandingkan menjaga kesolitan partai.

Polaritas Koalisi

Kesiapan partai dalam mengusung kandidat, tidak dapat dihindari dari kepentingan partai koalisi nasional dan daerah.  Saat ini yang menjadi sorotan utama, adanya beberapa partai politik telah menyiapkan para petarung di Pilgub Jabar nantinya. Misalnya Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon mengatakan bahwa sulit bagi partainya untuk mengusung Wali Kota Bandung, Ridwan Kamil, pada Pilgub Jawa Barat tahun 2018.

Ini sinyal positif bagi Ridwan Kamil untuk segera memantapkan pilihan kendaraan politiknya. Pasalnya, saat ini Ridwan Kamil telah dideklarasikan oleh Partai Nasdem, yang merupakan partai pendukung pemerintahan Jokowi- Jusuf  Kalla. Terlebih Nasdem berencana mendukung Jokowi pada Pilpres 2019.

Jika Ridwan Kamil tetap diusung Gerindra, tentu akan menghambat ketampanan Prabowo yang akan bertarung dalam laga Pilpres tahun 2019. Meskipun pada Pilkada Kota Bandung 2013 silam Ridwan Kamil diusung oleh Gerindra dan PKS. Kegoyahan sikap Ridwan Kamil ini yang mengubah pilihan Partai Gerindra, dan timbulnya perbedaan kepentingan politik jangka panjang.

Baca Juga:  Mulai Emil Hingga Bayu, Inilah Cawagub Potensial Khofifah Versi ARCI

Disamping Partai Gerindra, Ketua DPD Partai Golkar Provinsi Jawa Barat, Dedi Mulyadi  telah memiliki mitra politik yang tergabung dalam koalisi partai bernama Poros Jawa Barat. Partai yang telah berkomunikasi dalam Poros Jawa Barat itu adalah Partai Golkar, Hanura, PAN dan PKB.

Komunikasi positif antar partai dan persiapan koalisi partai tersebut secara bersama-sama sudah terlihat dengan terang. Terlebih komunikasi yang telah dibangun partai dalam program-program koalisinya, untuk mendorong pembangunan yang memihak kepada golongan masyarakat pedesaan. Disamping itu petemuan Partai Hanura dengan Golkar beberapa waktu lalu di Bandung dalam menghadapi Pilgub tahun 2018, disinyalir akan memperkuat koalisi Poros tersebut.

Kemudian adanya pertemuan singkat antara para petinggi partai dalam menyusun konsolidasi telah terjadi. Katakanlah Dedi Mulyadi telah berkomunikasi langsung dengan Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan. Lalu PKB beberapa waktu lalu telah datang melalui ketua umum Garda Bangsa mendeklarasikan akan bersama Golkar untuk menghadapi Pilgub Jabar.

Keempat Poros partai ini, sejatinya bukan hanya bersepakat untuk menghadapi Pilkada Jabar tahun 2018 saja. Akan tetapi, poros ini telah memulai langkah politik melalui fraksi-fraksinya di DPRD Provinsi Jawa Barat, mengawal penyusunan APBD tahun 2018 untuk memihak kepada pembangunan di wilayah pedesaan. Terlebih wilayah Jawa Barat paling besar adalah masyarakat pedesaan.

Baca Juga:  Bupati Nunukan Resmikan Pemanfaatan Sumur Bor

Untuk menciptakan koalisi yang kuat, keterbukaan dari beberapa partai sangat penting, untuk memperbesar jaringannnya di daerah. Ada beberapap partai yang telah membuka koalisinya seperti Poros Jawa Barat, Gerindra dan juga PDIP. Alasan dibukanya koalisi ini dikarenakan kekurangan figur yang dianggap tidak berkompeten di daerah.

Kekuatan Koalisi

Untuk memastikan seberapa besar kuatnya koalisi partai, dapat kita lihat pada determinan koalisi partai pada Pilkada sebelumnya. Jika pada Pilkada DKI Jakarta 19 April 2017 lalu, PKS dan Gerindra mempunyai peran penting dalam kesuksesan Anies dan Sandi. Mereka menang telak, disamping itu partai Perindo dan PAN juga mempunyai andil besar dalam koalisi Anies-Sandi. Seperti kontribusi positif  Partai Perindo dan PAN dalam mendongkrak suara, baik itu dari kader partai maupun dari simpatisan partai.

Memang pada saat itu kemenagan Anies dan Sandi di pengaruhi oleh gejolak massa dari berbagai ormas-ormas Islam di beberapa daerah, untuk menuntut kasus penodaan agama oleh Ahok. Sentimen agama yang menyebabkan jatuhnya suara Ahok dan Djarot. Jika kita menatap ke Jawa Barat tentu sentimen agama ini tidak mendukung karena peta politik yang berbeda.

Kemudian jika kita lihat pada koalisi Pilkada Jabar, misalnya koalisi Gerindra, PKS yang sampai saat ini masih didominasi oleh chemistry kedua partai, tentu ini akan tetap dipertahankan. Tidak tanggung-tanggung jika DPD dari masing-masing partai saling mendukung, tentunya frame politik yang solid akan menunjukkan kepada kekompakan kader-kader dan simpatisannya.

Baca Juga:  Bukan Emil Dardak, Sarmuji Beber Kader Internal Layak Digandeng Khofifah di Pilgub

Disamping itu, terbentuknya koalisi Poros Jabar dari partai Golkar, PKB, PAN Dan Hanura merupakan antitesis dari Pilkada DKI Jakarta putaran kedua. Secara kasat mata kita bisa mellihat adanya benturan kepentingan antara kedua koalisi. Baku hantam antar partai dan keinginan untuk memenangkan Pilkada di Jabar sudah mulai muncul ke permukaan.

Secara singkat dapat kita lihat, ternyata keegoisan partai itu terlalu besar dalam berkoalisi. Jika memang koalisi sudah menunjukkan pencapaian di nasional atau daerah itu biasa, jika tidak ada tentu koalisi akan sia-sia. Intinya bagaimana partai membangun figur dan mencari figur yang benar-benar kompeten, bukan bertolak ukur pada koalisi partai saja.

Alhasil pada Pilkada DKI Jakarta, petahana gagal karena didukung oleh koalisi partai yang gagal paham dalam berkoalisi. Sederhananya bukan berarti petahana mempunyai kesempatan besar untuk duduk kembali di pemerintahan termasuk Jabar. Kenyataanya membangun koalisi itu tidak boleh tergesa-gesa, karena kita masih berada di euphoria kemenagan Pilkada DKI Jakarta yang harus dijadikan kunci dalam merebut kemenangan di Jabar.
Kenapa demikian, karena kondisi politik dan pemetaan politik saat ini tidak mudah ditebak, karena sewaktu-waktu akan timbul gejolak-gejolak politik yang menyuarakan persatuan bangsa. Karena hasil pilkada serentak, akan dijadikan hipotesis yang sangat kuat terhadap Pilpres tahun 2019 mendatang.[]

*Ikhwan Arif, Direktur Indonesia Political Power (Pengamat Politik)

Related Posts

1 of 7,664