Oleh: Mohamad Fathollah
NUSANTARANEWS.CO – Korupsi menjadi isu strategis dewasa ini. Tak hanya di tingkat pusat, setahun terakhir ini tak sedikit kepala daerah yang telah ditetapkan sebagai tersangka. Harus kita sadari bahwa menjamurnya perilaku korupsi di berbagai lini menghambat pembangunan Indonesia. Mungkinkah korupsi sudah menjadi budaya? Jika benar demikian, maka tak boleh tinggal diam harus kita lawan.
Desentralisasi menjadikan daerah sebagai kekuatan utama dalam pembangunan. Kran desentralisasi yang telah lama didengungkan sebagai upaya pemerintah memastikan pembangunan daerah merata, baik dalam memperoleh pendidikan, pekerjaan layak, kesehatan, dan lainnya. Tapi bagaimana jadinya bila desentralisasi dimanfaatkan segelintir elit lokal untuk menanam kekuatan penuh dalam membangun dinasti? Fenomena demikian dapat diamati di beberapa daerah di Indonesia, sebut saja dinasti Ratu Atut di Banten.
Memang demokrasi membuat setiap orang berhak berpartisipasi dalam kerja politik. Artinya setiap warga negara memiliki kesempatan yang sama untuk menduduki jabatan publik atau jabatan politik. Akan tetapi naifnya kran tersebut hanya dimanfaatkan oleh segelintir kelompok dan bahkan keluarga. Adanya kerajaan-kerajaan kecil di daerah hasil dari perkawinan demokrasi-politik. Bila dimaknai secara tersirat, ambivalensi demokrasi menumbuhkan monarki semu.
Jamak kita mendengar perkataan Emerich Edward Dalberg Acton atau dikenal Lord Acton (1834–1902), guru besar sejarah di Universitas Cambridge, Inggris, bahwa kekuasaan itu cenderung korup dan kekuasaan yang absolut cenderung korup secara absolut. Adagium ini lahir dari sejarawan yang hidup di abad ke-19 sebagai kritik atas absolutisme kekuasaan monarki Napoleon Bonaparte di Romawi. Acton berpandangan bahwa kekuasaan absolut (monarchy) atau dinasti menjadi pintu masuk bagi tindak pidana korupsi. Di sinilah seyogianya kita awas terhadap upaya sekelompok elit dalam membangun dinasti di daerah.
Sejatinya desentralisasi untuk menguatkan daerah dalam pelbagai hal, terutama mengelola angka kerja produktif di daerah dan pemanfaatan sumber daya alam untuk kepentingan daerah. Sebaliknya yang terjadi, kecenderungan sebuah dinasti politik yang dibangun kepala daerah atau elit lokal di daerah tidak lain ialah untuk menguatkan kekuasaannya. Figurisme dijadikan alat untuk mengeksploitasi sumber daya di daerah secara berkelindan dan pelan-pelan.
Bangkai Politik
Sepandai-pandainya menyimpan bangkai, baunya bakal tercium juga. Begitulah kata pepatah. Pepatah tersebut sangat korelatif terhadap tindakan para elit-elit politik kita dengan perilaku busuknya. Sepintar-pintarnya menyimpan uang di balik tembok misalnya, akhirnya ketahuan juga oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi).
Elit kini tidak lagi didominasi oleh pusat. Elit lokal di daerah tumbuh bagai jamur di musim penghujan. Patut digarisbawahi bahwa terbukanya kran demokrasi yang membuat setiap orang berhak berada di pucuk pimpinan daerah bukanlah menjadi penyebab utama. Egosentrisme dan nafsu berkuasa lah yang menjadikan seseorang bertangan besi.
Potret korupsi tidak hanya berpusat di Jakarta, kini sudah menjalar ke dearah-daerah. Desentralisasi yang sudah dicanangkan pasca reformasi bertujuan untuk mengembangkan daerah dan demi kepentingan pembangunan di daerah, namun praktiknya masih saja kita temui penyimpangan-penyimpangan.
Terkuaknya kasus penyucian uang di Bangkalan misalnya, menjadi borok demokrasi di daerah. Dinasti Ratu Atut Chosiyah di Banten pun begitupula adanya. Elit lokal tersebut terbukti menjadi semacam gurita raksasa di semua level politik daerah. Tidak hanya menguatkan dinasti politik, lebih parah ialah praktik korupsi dilakukan dengan rapih.
Elit biasanya memiliki kapasitas individu yang polimorfik. Seperti halnya Fuad, selain politisi melekat pula dalam dirinya identitas kiai atau bahkan blater. Banyak elemen (identitas) yang melekat dalam pribadi seseorang membuat bersangkutan berpengaruh hingga ke level bawah. Di sinilah proses patronase tercipta hingga memunculkan dinasti dan selanjutnya (jika tidak awas) muncul kesewenang-wenangan kekuasaan.
Adanya kesempatan kepemimpinan yang dibatasi misalnya, tidak pula membuat seseorang jera membangun dinasti dan melakukan tindakan amoral (korup). Untuk membatasi fenomena serupa perlu otokritik dari level bawah dan penetrasi dari kebijakan pusat. Adanya undang-undang yang membatasi calon kepala daerah tidak boleh sedarah tidak cukup kuat bila tidak ada perbaikan dalam masyarakat sendiri. Jangan sampai hasrat birokrasi yang digaungkan elit politik membangun dinasti, sebagaimana dikatakan Weber (1921), membawa kita ke situasi putus asa.
Kesadaran Kontributif
Melakukan kejahatan korupsi seperti halnya melakukan kejahatan kemanusiaan. Untuk itu perlu upaya signifikan, terukur, dan simultan dari pelbagai elemen (multi stake-holders) untuk mencegah terulangnya kasus serupa di daerah-daerah di Indonesia. Selain pengawasan dan pengetatan melalui perundang-undangan, seyogianya masyarakat juga memiliki kesadaran melawan perilaku koruptif sejak dari diri sendiri. Selain itu, ikut serta berperan aktif mengawasi dan tidak memilih politisi yang memiliki kecenderungan koruptif dan pragmatis.
Potret korupsi tidak hanya dilakukan para elit yang sudah ditetapkan sebagai tersangka. Kini KPK juga menghadapi ancaman pelemahan dari beberapa oknum yang tak senang dengan superbody kerja KPK. Jika para bandi-bandit uang negara bersepakat membubarkan KPK apa jadinya negeri ini. Untuk itu, segenap elemen masyarakat utamanya para pegiat anti korupsi untuk tidak tinggal diam melawan segenap upaya pelemahan terhadap kerja KPK.
Upaya tersebut barangkali tidak mudah, namun pendidikan berbasis kesadaran kontributif dapat diupayakan seluruh elemen masyarakat, baik di sekolah ataupun di keluarga. Kesadaran kontributif, sebagaimana dikatakan A. Gaffar Karim (2011), diantaranya ialah kehendak masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan, baik di tingkat pusat dan di daerah.
*Mohamad Fathollah, alumnus Sosiologi UIN Sunan Kalijaga dan pendiri GPMK (Gerakan Pemuda Melawan Korupsi) Yogyakarta. Kini mengelola Komunitas Saghara.
Editor: Achmad Sulaiman