NUSANTARANEWS.CO – Berdasarkan sudut pandang geografi dan etnografi, pulau Jawa merupakan salah satu pulau dalam rangkaian kepulauan di Indonesia yang terbentang diantara 6 derajat Lintang Utara, 11 derajat Lintang Selatan dan 95 derajat Bujur Timur, 141 derajat Bujur Timur. Pulau Jawa sendiri terletak diantara 5 derajat Lintang Selatan, 10 derajat Lintang Selatan dan 105 derajat Bujur Timur, 115 derajat Bujur Timur (Mundzirin Yusuf: 2006).
Secara antropologi budaya, yang disebut suku bangsa Jawa adalah orang-orang yang secara turun temurun menggunakan bahasa Jawa dengan berbagai ragam dialeknya. Wilayah kediaman suku Jawa biasa disebut sebagai Tanah Jawa (Budiono Herusatoto: 2008).
Asal muasal nama Jawa, sampai detik ini masih banyak beragam versi. Ada yang menyebutkan bahwa nama pulau Jawa berasal dari tanaman jawa-wut. Dimana tanaman ini banyak ditemukan di pulau Jawa pada masa purbakala, sebelum masuknya pengaruh India.
Versi lain menyebutkan bahwa asal muasal nama Jawa berasal dari kata jau yang berarti jauh. Sedangkan dalam bahasa Sansekerta disebut yava yang merujuk pada tanaman jelai, yakni sebuah tanaman yang membuat pulau Jawa terkenal.
Yawadvipa disebut dalam epic India Ramayana. Dimana Sugriwa, panglima wanara (manusia kera) dari pasukan Sri Rama, mengirimkan utusannya ke Yawadvipa (pulau Jawa) untuk mencari Dewi Shinta.
Berdasarkan kesusasteraan India terutama pustaka Tamil, disebut dengan nama sanskerta yavaka dvipa (dvipa = pulau). Dugaan lain ialah bahwa kata Jawa berasal dari akar kata dalam bahasa Proto Austronesia, yang berarti rumah.
Menurut Thomas Hyde pulau Jawa berasal dari kata Persi Jawadib (جاوديب) atau ‘Jawadiu’. Jawa sama dengan jawawut dan dib sama dengan pulau. Adapun kata ‘Jawa’ masih terdapat dalam bahasa Jawa (Shaleh Saidi: 2003). Atas dasar pendapat inilah kemudian ada beberapa anggapan yang menyebutkan bahwa yang memberikan nama Jawa dan yang melakukan babad alas tanah Jawa pertama kali adalah Syekh Subakir.
Spekulasi story history ini didasarkan pada kata Jawadib yang diadopsi dari bahasa Persi. Sedangkan Syekh Subakir atau Muhammad al-Baqir berasal dari daratan Persi (Persia/Iran). Namun Werndly yang mengutip Thomas Hyde menegaskan bahwa istilah tersebut bukan dari bahasa atau pun kata Arab.
Dalam perbendaharaan bahasa Persi terdapat kata ja (جا) dan jai (جاي) sebagai ajektif dan Jawi (جاوي) berarti barang sesuatu yang ditempatkan atau ‘mempunyai tempat’. Jika arti itu diterapkan dalam klausul Jawa, maka kira-kira mempunyai makna ‘sesuatu yang mendapatkan tempat’.
Berbeda dengan Thomas Hyde, P. Voorthoeve, berpendapat bahwa orang Melayu sendiri pada zaman dulu sering menamakan bahasanya dengan nama bahasa Jawi dan hurufnya pun juga huruf Jawi, seperti yang terdapat dalam naskah Kitab Seribu Masalah, dan Tibyan fi Ma’rifatat al-Adyam.
Tetapi kenapa bahasa Melayu dinamakan bahasa Jawi? Mungkin berdasarkan letak geografis. Dimana dulu kawasan Melayu, awalnya masih dalam satu daratan dengan pulau Jawa sebelum akhirnya bencana besar terjadi dan mengakibatkan daratan Jawa, terpisah-pisah. Dengan kata lain, daratan Sumatera (Melayu) akhirnya terpisah dengan pulau Jawa.
Marcus Paulus dari Venesia dalam bukunya yang berjudul Lukisan Tentang Pemandangan Negeri-Negeri Timur, 1296, menyebut sebuah pulau bernama ‘Jawa Kecil’ padahal yang dimaksud adalah Sumatra. Hal itu dibuktikan dengan lukisan-lukisannya mengenai besarnya pulau, yang menurut lukisan itu sangat sesuai dengan Sumatra sedangkan untuk pulau Jawa dinamakan dengan sebutan ‘Jawa Besar’. Bangsa Portugis juga menyebutkan bahwa Sumatra sebagai ‘Jawa Kecil’ pada abad ke-16 (Shaleh Saidi: 2003).
Penulis: Romandhon