ArtikelOpini

Media Sosial, Teror Bom, dan Kekuasaan

Oleh: Mohamad Fathollah

NUSANTARANEWS.CO – Teror bom di negeri ini tak permah surut. Bom sepertinya menjadi “gaya hidup” kalangan ekstremis menekan emosional warga. Lagi dan lagi pelaku berhasil ditangkap, tapi yang lain menyiapkan diri.

Kita seyogianya berbaik sangka terhadap upaya pemerintah memblokir DSN media sosial. Sebab media sosial menjadi alat strategis kaum ekstrimis melakukan propaganda. Lihat misalnya, pelaku teror bom di Jerman dilakukan oleh warga yang baru belajar Islam. Seperti dilansir para peneliti di Universitas Bielefeld dan Osnabruck Jerman, para “jihadis” muda melakukan aksi teror bom sebab kena hasut media sosial. Mereka tak memahami isi Al-Quran.

Pelaku dan aktor teror bom yang terjadi belakangan ini, jika tidak segera diantisipasi dapat menjadi mata rantai kekerasan teror yang tiada habisnya. Agama bukanlah alasan para pelaku melakukan aksi keji tersebut. Sebab tak ada satupun ajaran agama yang mengajarkan teror dan kekerasan, apalagi bunuh diri sangat dilarang.

Sebagai Candu

Bom bunuh diri semakin menjadi tren kekerasan teror di negeri ini. Setelah aksi bom paling besar terjadi di Bali pada tahun 2002 lalu, bom bunuh diri semakin kerap terjadi. Walaupun demikian bom pada tahun 2000 merupakan tahun terparah. Pada tahun kelam tersebut aksi bom meluluhblantahkan lebih dari 20 geraja di berbagai wilayah di Indonesia dengan korban yang tidak sedikit.

Baca Juga:  Catatan Kritis terhadap Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2024

Menilik peristiwa tersebut, sepertinya bom sudah menjadi fenomena disintegrasi sosial terparah. Berbagai cara dilakukan untuk mencapai ketidakteraturan sosial (social disorder) dan jenis teror para pelaku kini semakin beragam. Dari teror bom di tempat-tempat umum, tempat ibadah, mobil boks, hingga ditujukan ke pada orang-orang dan kelompok berpengaruh seperti kepolisian.

Banyak motif yang melatarbelakangi adanya bom bunuh diri. Mengacu pada tempat kejadian perkara, motif bom bunuh diri tidak hanya didasari persoalan agama belaka. Melihat dari faktor kerusakan, aksi teror tersebut berkorelasi positif pada ranah politik, ekonomi, atau bahkan budaya. Adanya kepentingan pragmatis tersebut tentunya sangat disayangkan pada pelaku teror yang rela mati sia-sia.

Tradisi bom bunuh diri tidak hanya terjadi pasca reformasi. Pada saat berjuang melawan penjajah kolonial, bom dan atau bunuh diri tidaklah asing. Misalnya yang terjadi di Bandung, Jawa Barat pada 24 Maret 1945. Seorang pejuang kemerdekaan Muhammad Toha rela meledakkan diri di gudang mesiu Belanda kala itu. Kini ia dikenal dengan pahlawan Bandung Lautan Api. Dahulu tidak sedikit pejuang kemerdekaan rela mewaqafkan dirinya demi keutuhan dan kemerdekaan bangsa Indonesia.

Baca Juga:  Presiden Resmi Jadikan Dewan Pers Sebagai Regulator

Saya tidak cepat-cepat berasumsi bahwa bom yang terjadi di negeri kita merupakan aksi teror untuk kepentingan mereka, bukan untuk agama. Bisa jadi hal tersebut pengalihan isu dari isu-isu yang berkembang dewasa ini di tingkat elit pemerintahan atau kelompok yang hendak merebut kekuasaan dengan cara bounding-terror, yaitu melakukan justifikasi pelaku teror dengan meniadakan atau menyembunyikan aktor atau pelaku sebenarnya. Apapun motif yang melatarbelakangi, tidak lebih sebuah rangkaian teror dari kelompok tertentu untuk meraih keuntungan politik dan ekonomi.

Pelaku teror dan kelompoknya secara serentak telah menyisakan guncangan sosial yang berakibat sistemik pada ranah lainnya. Mengacu pada teori tindakan Weber, realitas teror berkembangan pada sistem tindakan yang lain. Misalnya, tindakan yang dilakukan oleh pelaku yang sudah menjadi kebiasaan dapat terus berulang tanpa adanya ancaman dari pihak lain. Walaupun ada tindakan represif dari pemerintah, hingga kini aksi terorisme masih terus berlangsung dengan jenis dan pelaku yang baru. Tindakan teror telah menjadi candu bagi kelompok atau golongan yang telah terindoktrinasi.

Baca Juga:  Mantan Komandan NATO Menyerukan untuk Mengebom Krimea

Memupuk Kesadaran Berbangsa

Walaupun aksi bom bunuh diri di negeri ini tidak sepopuler di Timur Tengah, namun rangkaian terselubung di balik aksi keji tersebut kiranya secepat mungkin patut dihentikan. Sebab aksi anti kemanusiaan semacam itu telah berpaling dari kesadaran nasional kita sebagai bangsa berdaulat dan berketuhanan.

Bom bunuh diri beberapa tahun terakhir terjadi karena minimnya kesadaran nasional dan kesadaran sosial yang dimiliki oleh segenap masyarakat. Asumsi saya, hal tersebut dikarenakan semakin merebaknya kecemburuan sosial dan minimnya kesepakatan sosial (social contract) antar warga dan warga dengan pemerintah. Misalnya setiap apa yang dilakukan pemerintah untuk meminimalisir teror dan konflik dipandang salah. Atau warga satu dengan lainnya saling curiga, tertutup, dan saling mengkafirkan.

Untuk meminimalisir kecemburuan sosial yang berubah konflik berjeniskelamin teror tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah. Segenap tokoh masyarakat dapat saling bergandeng tangan tanpa memandang dari kelompok manapun. Begitupula bagi pemerintah, kesadaran sosial saja tidak cukup apabila kesejahteraan sosial masih menggantung pada kepentingan kelompok (elit politik) tertentu.

*Mohamad Fathollah, alumnus Sosiogi UIN Sunan Kaliga dan pengelola Komunitas Saghara.

Related Posts

1 of 12