NUSANTARANEWS.CO – Penggiat Gusdurian Lampung dan Keluarga Mahasiswa Nahdlatul Ulama (KMNU) Universitas Lampung (Unila) meminta media massa untuk tidak menjadi tutorial kekerasan terhadap perempuan.
“Hingga kini masih banyak media massa meloloskan liputan korban pemerkosaan yang jauh dari pantas,” ujar kader KMNU Unila Nuri Resti Chayyani, di Bandar Lampung, Rabu (28/12/2016).
Mahasiswi Fakultas Ekonomi itu menambahkan, media tidak perlu membuat berita yang menceritakan kronologi tindakan pelaku terhadap korban secara detail, cukup dengan satu kata seperti “pelecehan” itu sudah menggambarkan ada peristiwa asusila.
Ketidakpantasan berita vulgar mengenai pemerkosaan yang terpublikasikan di media massa, menurut dia, justru akan menjadi semacam tutorial bagi remaja tanpa disadari.
“Saya sebagai perempuan sangat risih ketika membaca berita pemerkosaan yang vulgar dan dipublikasikan luas. Media massa juga harus memperhatikan perasaan korban, jangan dibuat sudah jatuh tertimpa tangga,” paparnya.
Sementara itu, Ketua PC GP Ansor Way Kanan dan Gatot Arifianto menambahkan sejumlah media massa hingga kini masih meloloskan pemberitaan pemerkosaan yang melanggar kode etik jurnalistik. Seperti menyebut detail tempat tinggal, anak siapa, sekolah di mana, termasuk kronologi kejadian.
“Kode etik jurnalistik dengan tegas telah memberi batasan terhadap berita pemerkosaan, seperti menyamarkan identitas korban. Namun seringkali media massa tidak peka terhadap perasaan korban sehingga mempublikasikan tulisan jurnalisnya tanpa redaksional yang sesuai ketentuan,” ungkapnya yang selaku pegiat Gusdurian Lampung tersebut.
Ia juga mempertanyakan, apakah berita pemerkosaan yang terpublikasikan berdampak positif bagi kepentingan umum atau sekedar memenuhi rasa keingintahuan pembaca?
“Media massa atau pers bukan saja sekedar pilar demokrasi, ia juga guru bagi pembangunan peradaban. Peradaban maju atau mundur yang kita harapkan dengan pemberitaan negatif?” terang Gatot yang juga tergabung di Aliansi Jurnalis Independen (AJI). (Red-01)