Cerpen : Agus Hiplunudin
NUSANTARANEWS.CO – Senja itu, langit ufuk timur dan barat tampak gelap, awan hitam bergelayut. Tak lama berselang hujan turun amat derasnya, untung saja tidak dibarengi gelegar petir—yang dapat mengganggu pendengaranmu. Aku tahu kau begitu takut dengan gelegar petir, dan kau pernah bilang padaku bahwa suara petir lebih menakutkan dari pada bisik kematian, entahlah? Paling tidak demikianlah ungkapan kau.
Senja telah berganti malam, namun hujan tak pula reda. Dan gelegar petir tak kunjung datang—membuat kau sedikit nyaman. Kau mengangkat pantat dari sofa, melangkah menuju sebuah gudang. Tak lama berselang kau kembali datang dengan sebuah lukisan di tangan.
“Sebuah lukisan,” desahku.
“Kau tahu siapakah perempuan dalam lukisan ini?” tanyamu sambil meliriku yang duduk di sampingmu.
“Ya, itu lukisan wajah. Aku tak silau dan wajah itu adalah milikmu,” jawabku.
“Kau tahu, siapakah yang membuat lukisan ini?”
Aku menggelengkan kepala. Dan kau tersenyum, sehingga lesung pipimu nampak jelas, memperjelas kejelitaanmu.
“Pembuat lukisan ini, adalah lelaki yang sangat aku cintai,” tukasmu, pandanganmu nampak nanar dan kosong.
Aku tahu, pikiranmu sedang menuju masa lalumu. Kau tampak memejamkan mata, seakan puzle kenangan tengah berbondong-bondong memasukki relung pikiranmu. Selanjutnya kau kembali membuka kelopak matamu, kau nampak berkaca-kaca, seakan puzle kenangan itu menurih hatimu.
“Betapa sakitnya aku. Dia lelaki yang begitu aku cintai, bahkan aku berharap dialah yang kelak menjadi ayah dari anak-anak yang terlahir dari rahimku,” kata kau.
“Namun, apa yang aku dapat. Dia bilang padaku; bahwa dia hanya menganggapku sebagai teman yang sangat akrab. Perasaannya terhadapku tak lebih hanya sebatas itu,” sambung kau, kali ini air matamu tercurah-curah membasahi kedua bilah pipimu yang putih.
Aku tercenung, aku kembali memperhatikan lukisan wajah yang kau letakan di atas meja. Aku bagaikan tersengat watt listrik. Seakan lukisan wajah itu sangat aku kenal. Aku baru ingat, sepuluh tahun silam aku pernah membuat lukisan wajah untuk seseorang, pun aku tak khilaf lukisan yang tergeletak tersebut merupakan hasil karya buah tanganku sendiri.
“Hai apa yang kau pikirkan?” tanya kau.
Aku terperanjat, namun dengan segera aku kuasai diriku sendiri, sehingga kekagetku tidak kentara. “Oh, hanya sedikit yang aku pikirkan! Aku heran, kenapa pria pelukis wajah itu tega-teganya mencampakan gadis secantik kau!” kataku agak terbata.
“Jawaban kau tidak berbeda dengan apa yang mereka katakan padaku. Aku tahu kau dan mereka hanya mencoba menghiburku. Tetapi, nyatanya kecantikan tidak dapat menolongku, pria yang aku cintai tak menolehku sama sekali,” ujarmu sambil ketawa kecil, terdengar renyah kendati tawa itu terkesan dipaksakan.
Kau kembali mengangkat pantatmu, kau menuju sebuah gudang, tak lama berselang kau kembali, dan ditanganmu tergenggam setangkai mawah biru, kemudian bunga itu kau sodorkan padaku. Dengan segera aku memungutnya.
“Sebuah mawar biru,” gumamku.
“Kau tahu, siapakah yang membari bunga itu padaku?”
Aku menggelengkan kepala.
“Yang memberinya adalah lelaki yang sama. Dia bilang padaku bahwa mawar biru hanya tumbuh di negri para peri, dan dia memberikannya padaku,” katamu.
Kau kembali tercenung, kali ini kau memegang dadamu seakan rasa perih tengah mengusik hatimu. Pasang matamu kembali berkaca, berpendar, berkilauan oleh air mata.
“Mawar biru itu, sangatlah istimewa. Dia bilang padaku bahwa bunga itu miliknya yang paling berharga, dan dia memberikannya padaku?” gumammu.
“Pria itu telah memberikan segalanya padaku, membuat aku merasa; telah menjadi perempuan paling berharga di dunia ini. Namun, apalah arti semua pemberian-pemberiannya itu, sedangkan hatinya bukanlah untukku,” air matamu semakin menderas.
Aku merundukkan wajah. Aku masih ingat, di sepuluh tahun yang lalu, aku memberikan mawar biru pada seorang perempuan. Masih jelas tergambar dalam pikiranku, perempuan itu berbicara padaku, bahwa ia telah mimpi tiga kali berturut-turut—memetik setangkai mawar biru. Aku pun sebisaku menjelmakan mimpinya dalam kenyataan, aku telah memasukki dunia peri dengan seribu satu resikonya, aku berhasil dan seijinkan oleh sang ratu peri untuk memetik setangkai mawar biru, teruntuk permpuan itu, perempuan yang sesungguhnya jauh di dalam lubuk hatiku kusebut “kekasih”. Namun, aku belum sempat menyatakannya. “Miliku yang paling berharga,” gumamku di antara sadar dan tidak.
“Kau bicara apa?” tanya kau.
“Oh, mungkin yang dimaksud lelaki itu, miliknya yang paling berharga bukanlah mawar biru ini. Namun, miliknya yang paling berharga tak lain adalah dirimu,” kataku masih dalam keadaan di antara sadar dan tidak sadar.
“Omong kosong!” sanggahmu.
“Nyatanya, ia tak mempedulikanku. Dia hanya menganggapku temannya yang paling akrab,” ujarmu, kali ini kau nampak marah.
Tiada terasa melam telah berganti pagi. Dan hujan hanya menyisakan rintiknya—laksana benang-benang halus yang berjatuhan dari langit. Kau kembali mengangkat pantat, berjalan keluar, dan aku mengekorimu.
Aku endarkan pandanganku ke sekitar, tampak olehku, hamparan bunga mawar biru di halaman rumahmu, “siapakah yang menanam mawar biru ini?” tanyaku. “Lelaki itu, di sepuluh tahun yang lalu,” jawabmu. Jawabanmu menghempaskanku, bagaikan baru sembuh dari amnesia, aku baru ingat, bahwa yang menanam mawar biru tersebut adalah aku. Benihnya; aku dapat dari negri para perempuan peri—atas kekuarang ajaranku, tanpa sepengetahuan ratu peri—aku berhasil mencurinya, kala aku memetik setangkai mawar biru.
“Aku merawat mawar-mawar biru ini penuh cinta. Aku mencintai bunga-bunga mawar biru melebihi pada diriku sendiri. Aku pikir, jika aku tak diberi kesempatan untuk mencintai lelaki yang aku sayangi, paling tidak aku bisa menyayangi mawar biru pemberian darinya,” tukasmu, kali ini kau tersenyum, begitu manis.
“Aku akan masuk ke rumpun-rumpun mawar biru!” sambung, katamu.
“Kau jangan gila!” kataku, keget.
“Tidak, aku tidak gila. Aku waras!” desahmu.
Kemudian tubuhmu bergerak, masuk ke semak-semak mawar biru. Duri-durinya menggores seluruh tubuhmu, bercinta dengan daging dan darahmu. Tangkai-tangkai mawar biru menari-nari tersentuh olehmu. Dan kamu semakin asyik menelusuri semak-semak mawar biru. Kau merintih, mendesah, melengkuh seakan duri-duri mawar biru mencumbuimu penuh kemesraan.
Wajahmu semakin lama semakin pucat, karena terlalu banyak darah yang tertumpah. Di tengah-tengah hamparan mawar biru kau berhenti melangkah, kau memegang keningmu, namun bibirmu tetap tersenyum. Kemudian kau terjatuh, dan tidak bergerak lagi.
Aku menghela napas panjang, mawar biru itu kini abadi dalam benakku, dan kau tak lagi aku temui. Aku hanya menemukan sebuah nisan bertuliskan namamu, di bawah nisan itu tergeletak sebuah lukisan wajah dan disampingnya tergeletak setangkai bunga mawar biru.
Demikian kisah kau. Kau perempuan yang jauh di dalam lubuk hatiku kusebut “kekasih”. Jika dulu, aku tak sempat menyebutmu sebagai kekasih, namun kali ini, penuh keberanian kau kupanggil “kekasih”.
Panggarangan, 30 Juni 2017
Baca Cerpen lainnya karya Agus Hiplunudin
Agus Hiplunudin, lahir di Lebak-Banten, 1986. Ia lulusan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Serang-Banten, Jurusan ADM Negara sudah lulus dan bergelar S. Sos. Dan, pada April 2016 telah menyelesaikan studi di sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Jurusan Ketahanan Nasional, bergelar M. Sc. Kini bergiat sebagai staf pengajar Mata Kuliah Filsafat Ilmu dan Etika Administrasi Negara di STISIP Stiabudhi Rangkasbitung. Sekaligus sebagai Direktur Eksekutif SAF (Suwaib Amiruddin Foundation) periode 2017-2019. Adapun karya penulis yang telah diterbitkan: yakni: Politik Gender (2017) Politik Identitas dari Zaman Kolonialis Belanda hingga Reformasi (2017), Politik Era Digital (2017), Kebijakan, Birokras, dan Pelayanan Publik (2017), Filsafat Eksistensialisme (2017)—diterbitkan oleh Grahaliterata Yogyakarta. Adapun karya sastra dalam bentuk cerpen yang telah diterbitkan di antaranya: Yang Hina dan Teraniaya (2015 Koran Madura), Perempuan Ros (2015 Jogja Review), Peri Bermata Biru (2015 Majalah Sagang), Audi (2015 SatelitePost) Demi Suap Nasi (2015 Koran Madura), Filosofi Cinta Kakek (2017, Biem.co), Ustadz dan Kupu-kupu Malam (2017, Biem.Co). Aroma Kopi dan Asap Rokok (NusantaraNews, 2017) tercecer pula dalam buku antologi kumcer.
__________________________________
Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi (berdonasi*) karya baik berupa puisi, cerpen, esai, resinsi buku/film, maupun catatan kebudayaan serta profil komunitas dapat dikirim langsung ke email: redaksi@nusantaranews.co atau selendang14@gmail.com.