Khazanah

Mata Air Keteladanan HOS Tjokroaminoto (Bag. 1)

Oleh: Lukman Santoso Az*

“…saya mencoba, mengikuti, bukan saja Tjokroaminoto, tetapi segala ajaran Tjokroaminoto, aku coba, aku ikhtiarkan, aku usahakan, aku laksanakan, oleh karena aku kagum kepada guruku yang bernama Haji Oemar Said Tjokroaminoto…” (Ir. Soekarno, 1966).

NUSANTARANEWS.CO – Ungkapan Soekarno di atas bukan sebatas pujian terhadap Haji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto sebagai guru sekaligus ayah mertuanya, tetapi tulus dari hatinya. Pemikiran dan jalan hidupnya dijadikan inspirasi sekaligus diteladani. Sehingga tidak heran jika dalam banyak literatur, Soekarno juga selalu menyebut nama Tjokroaminoto sebagai ‘pujaannya’ di kala muda.

Soekarno juga adalah satu dari sekian banyak tokoh bangsa yang memetik teladan dari figur Tjokroaminoto. Sehingga tidak heran julukan sebagai ‘guru bangsa’ melekat pada diri Tjokroaminoto.

Daya Rasional dan Komitmen Keadilan

Teladan kepemimpinan Tjokroaminoto hidup dalam diri tokoh-tokoh bangsa sesudahnya. Teladan kepemimpinan etis Tjokroaminoto dihidupkan oleh daya rasionalitas, kearifan konsensual, dan komitmen keadilan dalam dirinya yang dapat menghadirkan sintesis positif sekaligus dapat mencegah kekuasaan otoriter.

Keteladanan ini juga dicerminkan Tjokroaminoto melalui keteguhan iman, kemampuan berfikir rasional dan ketinggian ilmu berpadu kepiawaian dalam berpolitik, sehingga figurnya menjadi acuan dalam mendorong bangkitnya pergerakan kebangsaan di era 1920 an (Yudi Latif, 2014: 426).

Bagi Tjokroaminoto saat itu, pengabdian bukan meminta seberapa besar gaji atau imbalan tetapi seberapa besar tenaga, harta, pikiran dan jiwa yang dikorbankan karena tujuan kemerdekaan dan Syariat Islam. Sebagai informasi, Tjokroaminoto lahirkan pada 16 Agustus 1882 di desa Bakur, Madiun, dan tumbuh di lingkungan agamis, Tegalsari, Ponorogo.

Ia merupakan anak kedua dari 12 bersaudara dari ayah bernama R.M. Tjokroamiseno. Terlahir dari keluarga bangsawan tidak membuatnya bersikap angkuh, tetapi justru menjadi pelopor pergerakan nasional. Dialah tokoh politik yang berhasil menggabungkan retorika politik melawan penjajah Belanda dengan ideologi Islam.

Menginspirasi Dunia Perfilman

Belakangan kisah heroik Tjokroaminoto juga menginspirasi Garin Nugroho, seorang sineas Indonesia, untuk diangkat di layar lebar. Tepatnya 9 April 2015 lalu film tersebut dirilis.

Dalam film ini, kisah dimulai dengan Tjokro kecil yang melihat penderitaan pekerja-pekerja perkebunan kapas yang dianiaya oleh mandor-mandor Belanda. Kegelisahan Tjokro terhadap keadaan juga diperlihatkannya di sekolah, dimana dia berani berdebat dengan guru Belandanya.

Sementara itu, narasi-narasi agama Islam yang kuat tentang “hijrah” pada akhirnya berperan membentuk karakter dan kesadaran Tjokro terhadap posisi pribumi terhadap kolonial. Dan ketika beranjak dewasa, Tjokro pun mulai bertindak.

Era dimana Tjokroaminoto tumbuh besar adalah era fajar baru dimana politik etis Kolonial mulai melahirkan elit-elit pribumi yang “tercerahkan”. Tjokro adalah salah satunya. Selain itu, gagasan baru tentang nasionalisme dan pan-Islamisme mulai bertumbuh di Hindia Belanda (Nusantara).

Tjokro yang sedari awal sudah melihat potensi Islam Nusantara sebagai pemersatu, lalu berangkat “hijrah” ke Surabaya. Di sanalah semua kisah perjuangan bermula. Dari bertemu Haji Samanhudi pendiri Sarekat Dagang Islam (SDI), mengumpulkan pengikut, mengubah “Sarekat Dagang Islam” menjadi “Sarekat Islam (SI)”, mengganti blangkon dengan peci, hingga bersama pengikutnya menentukan arah perjuangan.

Hanya dalam waktu empat tahun setelah didirikan, SI sudah memiliki lebih dari 180 cabang dengan 700 ribu anggota di seluruh pelosok Indonesia. Jumlah ini meningkat dua puluh kali lipat dari jumlah anggota pada masa awal pendirian SI. Tidak hanya dari segi jumlah, pidato-pidato Tjokro juga mampu menumbuhkan semangat kebangsaan serta harapan kemerdekaan dan keadilan bagi rakyat jelata.

*Lukman Santoso Az, Pengajar Hukum IAIN Ponorogo; Pembina FPM IAIN Ponorogo
Editor: M. Romandhon

Related Posts