ArtikelBerita Utama

Masalah Korupsi, Kolusi dan Nepotisme di Indonesia (Bag.1)

Karikatur Anti Korupsi/Ilustrasi/Net/Istimewa/Nusantaranews
Karikatur Anti Korupsi/Ilustrasi/Net/Istimewa/Nusantaranews

NUSANTARANEWS.CO – Sangat menarik disimak tentang pendapat menaikkan 80% besarnya gaji anggota DPR-RI dewasa ini. (Sengaja mengunakan kata ‘gaji’, bukan kata ‘tunjangan kehormatan’ atau pun yang lainnya). Pendapat masyarakat luas tidak ada  yang mendukung untuk menyetujui. Dari pihak anggota DPR-RI sebagian besar tentu mendukungnya, amun ada satu fraksi yang tidak menyetujui, dengan alasan bahwa  gaji yang diterimanya sekarang sudah  mencukupi untuk hidup layak.

Dalam suasana prokon tentang menaikkan gaji tersebut, mendadak timbul berita baru, anggota DPR dan semua pejabat negara menerima gaji ke 13. Bukankah itu semua merupakan korupsi moral, tidak mengabaikan keluhan penderitaan rakyat banyak, apalagi impati dengan kesulitan hidup “wong cilik”.

Dikaitkan dengan masalah korupsi (baca KKN), di sini dikemukakan dua warisan kebajikan leluhur kita yang mengatakan bahwa, “Gaji kecil, cukup! Gaji besar, kurang! Rumah kecil, cu¬kup! Rumah besar, kurang!” Dari ungkapan tersebut tersirat makna bahwa, besar kecilnya gaji atau pendapatan boleh dikatakan sangat relatif untuk penyelenggaraan rumah tangga keluarga, tergantung bagaimana kecenderungan jiwa keluarga yang mengaturnya. Apabila dikaitkan dengan penyelenggaraan rumah tangga negara, dapat dikemukakan kebajikan warisan ‘founding fathers’ kita yang mengatakan bahwa, “Yang sangat penting dalam pemerintahan dan dalam hal hidupnya negara ialah semangat, semangat para penyelenggara negara, semangat para pemimpin pemerintahan.” Hal itu tercantum dalam Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 yang aseli.

Sayang Penjelasan Undang-Undang Dasar tersebut dewasa ini telah musnah dilanda tsunami perubahan, sehingga para penyelenggara negara dan para pemimpin pemerintahan tidak ada yang memahami betapa relevannya “semangat” dalam penyeleng¬garaan rumah tangga keluarga dan rumah tangga negara. Maka maraklah wabah korupsi melanda kehidupan masyarakat, bangsa dan negara.

Arti KKN

Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) merupakan suatu kompleks kegiatan yang kait mengkait dan saling mendukung. Kata Korupsi diangkat dari bahasa Latin corruptio, yang berarti pembusukan, kerusakan, kemerosotan, penyuapan, remuk, hancur dari dalam atau runtuh. Corruptor adalah orang yang korupsi, orang yang busuk, perusak, pembusuk, pemerdaya, penyuap, pelanggar (nilai/norma).

Baca Juga:  KPK Tetapkan Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor Tersangka Korupsi, AMI Gelar Santunan Anak Yatim

Dalam bahasa Jepang disebut ‘oskoku, dirty job’, dalam bahasa Muangthai disebut ‘gin mil ong, nation eating’, dan dalam bahasa China disebut ‘tan LULL, greedy, impurity.’ Korupsi diartikan sebagai penyelewengan atau penggelapan uang negara atau uang perusahaan untuk kcuntungan pribadi atau orang lain (KBBI.1995). Di samping itu, dikenal juga adanya korupsi intelektual, korupsi politik, korupsi etis, dan korupsi moral. (Ensiklopedi Politik Popular Pembangunan Pancasila 1984).

Korupsi intelektual terjadi apabila orang dengan sengaja memberi informasi menyesatkan demi keuntungan politik, karier, gengsi, kekuasaan dan kesombongan pribadi, keluarga, kelompok atau golongannya. Misalnya terdapat penyakit busung lapar dikatakan sebagai kecelakaan, atau sebagai akibat budaya malu, orangtuanya malu membawa anaknya ke rumah sakit karena perut anaknya buncit. Contoh lain adalah manipulasi data statistik dan data sejarah, pemalsuan ijazah, penggunaan gelar kesarjanaan yang diperoleh dengan tidak wajar, meng-atasnama-kan rakyat atau agama untuk kepentingan diri dan kelompoknya, dan sebagainya.

Korupsi politik terjadi apabila kegiatan politik dilaksanakan secara tidak etis dan tidak legal dengan maksud untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau kelompoknya dengan mengabaikan peranan politik bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Misalnya penjualan dan pembelian suara dalam pemilihan umum, penyusunan paraturan perundang-undangan demi kepentingan partai atau kelompoknya sendiri dengan mengabaikan kepentingan masyarakat, dan sebagainya.

Korupsi etis terjadi apabila perbuatan yang salah atau jahat dianggap sebagai perbuatan yang baik dan benar. Misalnya perbuatan yang menyalahi dan melampaui kewajaran umum, melanggar hak asasi manusia, tidak sesuai dengan rasa keadilan masyarakat, justeru dibenarkan dengan dalih demi kepentingan umum, kepentingan negara, atau kepentingan agama, yang kenyataannya hanya demi untuk mendapatkan atau mempertahankan kedudukan, kekuasaan atau kepentingan pribadi, keluarga, kelompok, dan golongan.

Baca Juga:  Polres Sumenep Gelar Razia Penyakit Masyarakat di Cafe, 5 Perempuan Diamankan

Termasuk jenis korupsi ini adalah penyalahgunaan ‘asas praduga tak bersalah’.

Sudah terkena perkara korupsi atau kriminal, karena belum diputuskan secara tetap oleh pengadilan, yang bersangkutan masih tetap merasa dirinya tidak bersalah dan tetap bersikukuh menduduki jabatan publiknya atau tetap mencalonkan dirinya sebagai calon legeslatif atau jabatan publik lainnya. Korupsi moral terjadi apabila kejujuran umum dalam hubungan keluarga, sosial, budaya, politik, pertahanan dan keamanan sudah sangat merosot. Kesetiaan pada keluarga diabaikan. Kepentingan bersama, kepentingan masyarakat dan bangsa, serta kepentingan pemerintah dan negara sama sekali diabaikan. Penyelenggaraan ketertiban dan keamanan umum, pelayanan umum dan penegakan hukum sama sekali tidak mendapat perhatian  semestinya, bahkan justeru diperjualbelikan. Setiap anggota keluarga atau anggota masyarakat dengan gigih mengejar keuntungan dan kepuasan sesaat dengan segala cara tanpa menghiraukan nilai-nilai kewajaran, kepatutan, sopan santun, kejujuran, tenggang rasa, tahu diri dan nilai luhur lainnya, yang seharusnya dijunjung tinggi dalam perga-ulan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Kolusi diangkat dari bahasa Inggris ‘to collude’, berarti mengadakan konspirasi atau komplotan untuk memperdaya atau menipu orang lain. ‘Collusion’ diartikan sebagai kerjasama atau perjanjian antara dua orang atau lebih dengan maksud untuk memperdaya atau menipu orang lain. Dapat juga di¬artikan sebagai persekongkolan untuk menjalankan korupsi. Kolusi merupakan usaha untuk memperlancar tindak korupsi. Demikian juga halnya Nepotisme. Nepotisme adalah kecenderungan mengutamakan sanak saudara sendiri, terutama dalam jabatan, pangkat di lingkungan pemerintahan. Tindakan memilih kerabat atau sanak saudara sendiri untuk memegang jabatan pemerintahan: para pemimpin banyak melakukan korupsi, menya-lah-gunakan kekuasaan, dan cenderung ke arah nepotisme (KBBI-1995).

Baca Juga:  Belgia: Inisiatif Otonomi di Sahara Maroko adalah Pondasi Terbaik untuk Solusi bagi Semua Pihak

Akar masalah KKN

Pendapat mengenai akar masalah atau sebab korupsi (baca KKN) yang dikemukakan masyarakat berbeda-beda. Wang An Shih (1021-1086), seorang pembaharu China berpendapat bahwa “buruknya hukum dan buruknya manusia” merupakan dua sumber korupsi yang senantiasa berulang. (Sosiologi Korupsi, Syed Hussein Alatas, LP3ES, Jakarta, 1975). Berdasarkan pendapat tersebut, sebab atau akar masalah korupsi dapat dibedakan menjadi dua, sebab dari luar diri manusia (buruknya hukum), dan sebab dari dalam diri manusia (buruknya manusia) .

Sebab dari luar diri manusia dapat disebutkan di sini antara lain: (1) Sistem penggajian yang tidak adil. Perbedaan antara gaji atasan dan bawahan sangat mencolok. Perbeda¬an antara gaji pegawai negeri, polisi dan tentara dengan gaji pegawai BUMN sangat besar. (Warisan sistem gaji kolonial?). (2) Sistem manajemen keuangan yang lemah. Kontrol dan sanksi terhadap penyimpangan dan kesalahan tidak tegas dan tidak jelas. (3) Penegakan hukum sangat lemah. (4) Sistem nilai yang melanda masyarakat (konsumtif, hedonistik, materialistik, egoistik, instantif, oportunistik dsb). (4) Sikap masyarakat yang makin permisif terhadap segala macam penyimpangan dan pelanggaran peraturan. (5) Adanya usaha-usaha yang merongrong kehidupan masyarakat, bangsa dan negara, dan sebagainya.

Dalam hal yang terakhir (rongrongan dari luar) sangat menarik dikemukakan pengakuan John Perkins dalam bukunya “Confessions of an Economic Hit Man” yang diterbitkan oleh Berret-Koehler Publishers, Inc. San Francisco, 9 November 2004, dan yang akan diterbitkan dalam 16 bahasa termasuk bahasa Indonesia.***

Penulis: B. Parmanto, (AS/Sumber LPPKB)

Related Posts

1 of 71