Berita UtamaOpiniTerbaru

Marah Ketika Islam Dikaitkan Dengan Teroris Tapi Tak Berani Marah Pada Kelompok Teroris Yang Mengatasnamakan Islam

Marah Ketika Islam Dikaitkan Dengan Teroris Tapi Tak Berani Marah Pada Kelompok Teroris Yang Mengatasnamakan Islam
Foto: Eddy Santry
Tindakan  kekerasan berupa aksi teror Bom Bunuh Diri di Mapolsek Astana Anyar, Bandung baru – baru ini bukan hanya aksi dari sebuah kebiadaban yang mengoyak sendi-sendi kemanusiaan yang adil dan beradab, namun juga sebuah penodaan terhadap indahnya kedamaian.
Oleh: Eddy Santry

 

Beribu pernyataan duka mengalir dari berbagai belahan bumi Pertiwi untuk korban keganasan aksi yang menewaskan  seorang anggota Polri dan puluhan lainya luka – lula itu dan tak ketinggalan disertai kecaman terhadap para pelaku dari aksi biadab tersebut.

Hal itu dapat dimaklumi, karena itu adalah fitrah dari manusia yakni untuk bersimpati dan berempati. Namun kita juga terhenyak bahkan sudah pasti juga tersentak marah ketika empati terhadap pelaku teror dinisbatkan pada agama tertentu yakni Islam. Dari hal terbut, penulis berusaha instropeksi dan bertanya pada hal-hal yang telah terjadi sehingga orang dengan mudah melabelkan Islam dengan Teroris.

Dan menurut saya, manusiawi juga jika ada pihak yang berfikiran demikian terhadap Islam belakangan ini, walau pemikiran  itu salah dan tidak adil.

Kita contoh saja, ketika seekor macan tutul memangsa hewan ternak, hal yang terlintas dalam fikiran dan spontan diaminkan oleh mulut kita, adalah harimau telah makan ternak. Kita tidak mau berfikir lebih lanjut bahwa ada ada macan kumbang, loreng dan lain sebagainya dalam species harimau itu.

Baca Juga:  Tim SAR Temukan Titik Bangkai Pesawat Smart Aviation Yang Hilang Kontak di Nunukan

Ketika sekelompok Burung Emprit memakan padi disawah, dalam framing kita pasti langsung terlontar perkataan burung memamakan padi. Kita tak mau tahu bahwa ada betet, kutilang, elang dan ribuan jenis lainya. Tapi karena yang memakan padi itu adalah hewan jenis burung, maka kita merasa tak bersalah dengan fikiran kita itu.

Begitupun pada kejadian manusia, ketika beberapa waktu lalu kelompok Ma Ba Tha mengatasnamakan agama Buddha melakukan tindakan intoleransi terhadap Umat Islam di Myanmar, karena yang melakukannya identik dengan agama Buddha, maka tanpa Tabayyun (cek & ricek) terlebih dahulu kita langsung menghakimi dengan fikiran dan ucapan bahwa Umat Buddha di Myanmar telah berlaku aniaya terhadap Muslim dari etnis Rohingya. Padahal mayoritas Umat Buddha sendiri sangat tidak sepakat dengan apa yang dilakukan oleh kelompok Ma Ba Tha tersebut. Dan sekali lagi, kita tak pernah merasa bersalah dengan fikiran dan penghakiman yang kita ucapkan.

Pun ketika ISIS dan kelompok teroris lainya melakukan kekejian, orang-orang diluar Islam spontan akan mengatakan bahwa Islam telah melakukan kekerasan.

Mereka tidak mau berfikir lebih lanjut bahwa Islam juga melaknat apapun baik sikap dan perbuatan yang bernuansa kebiadaban. Tapi karena mereka melihat yang melakukan kekejian tersebut adalah individu atau kelompok yang beratribut Islam, maka hal yang pertama terlintas adalah, Islam telah melakukan tindakan terorisme.

Baca Juga:  Pemkab Nunukan Tandatangani MoU Dengan BP POM Tarakan

Sikap diam terhadap kelompok radikal adalah pembelaan tersembunyi kepada terorisme

Umat manapun pasti akan marah apabila agamanya dinisbatkan sebagai agama radikal apalagi sebagai agama teroris, tak terkecuali dengan Umat Islam. Tetapi ketidaksukaan terhadap presepsi publik yang mengatakan bahwa Islam adalah agama teroris hendaknya dapat kita bantah dengan tindakan konkrit sebagai pembuktian bahwa Islam adalah agama yang dapat menjadi rahmat buat alam semesta (rahmatan lil alamin).

Pertama tentunya adalah dimulai dari diri kita sendiri. Muhasabah (instropeksi) adalah jalan yang tak bisa dibantah untuk dilewati. Karena dengan instropeksi akan lahir sebuah evaluasi dan jawaban, apakah prilaku kita sudah sesuai dengan nafas-nafas Islami atau justru hanya menjadikan keagungan islam sebagai kedok pembenar dari nafsu dan kepentingan pribadi.

Dan kedua adalah instropeksi keluar. Selama ini kita sudah kehilangan sikap obyektif yang hanya mampu marah pada pihak-pihak yang mengatakan bahwa Islam sebagai Agama Teroris, tetapi kita tidak mampu untuk marah kepada individu dan kelompok-kelompok yang menjadikan kesucian dan simbol-simbol Islam sebagai atribut atau ciri khas dari kelompok tersebut.

Kita hanya mampu marah ketika orang lain mengkait-kaitkan ISIS dengan Islam tapi kita jangankan untuk marah, untuk mengecam ISIS yang menggunakan atribut Islam saja kita tidak berani. Kita hanya mampu menentang lewat ucapan bahwa Islam bukan radikal, tapi kita diam terhadap kelompok-kelompok yang menjadikan Islam sebagai kedok aksinya.

Baca Juga:  Aliansi Pro Demokrasi Ponorogo Tolak Hak Angket Pemilu 2024

Atau justru kita tidak sadar, bahwa ketika kita keras bersuara menentang presepsi orang yang mengatakan Islam adalah teroris, tetapi diam terhadap kelompok-kelompok teroris yang menggunakan Islam sebagai atributnya, itu secara tak langsung kita tengah memberi semangat kepada kelompok-kelompok radikal tersebut untuk menjalankan aksinya.

Dalam arti lain, kita sedang membela secara sembunyi-sembunyi dari aksi-aksi biadab yang mereka lakukan. Teroris tersebut juga serasa mendapat semangat untuk aksi-aksi selanjutnya, karena yang mereka lakukan akan terus dibela dengan uacapan “Islam bukan Teroris”, tapi mereka serasa disetujui untuk terus menggunakan atribut dan simbol-simbol Islam.

Seharusnya, peristiwa ketika Nabi Muhammad (Rasulullah saw) bersabada “Apabila Putriku Fatimah terbukti mencuri, maka Demi Allah, Aku sendiri yang akan memotong tanganya”, dapat menjadi tuntunan kita bahwa menegakan keadilan dan kebenaran, harus dimulai dari diri kita sendiri. Dan yang lebih penting, pesan dari sabda Rasulullah SAW tersebut adalah, kita diwajibkan untuk bertindak tegas terhadap yang bersalah dan menyimpang, sekalipun itu adalah dari umat Islam sendiri. (*)

(Penulis: Eddy Santry)

Related Posts

1 of 32