MancanegaraOpiniTerbaru

Mampukah China Taklukkan Korea Utara di Tengah Sanksi PBB?

NUSANTARANEWS.CO – Amerika Serikat telah berulang kali memperingatkan bahwa Korea Utara (Korut) mengkampanyekan perang militer. Pyongyang sedikitnya telah enam kali melakukan uji coba rudal nuklir sejak pertengahan 2016 lalu. Berbagai jenis rudal telah diujicobakan, mulai rudal balistik jarak pendek, menengah dan jauh; rudal nuklir antar-benua hingga bom hidrogen. Artinya, dilihat dari kekuatan alutsista Korut sudah siap bila perang pecah.

Terbaru, Korut baru saja menggelar uji coba bom hidrogen yang diyakini telah rampung dikembangkan para ahli Pyongyang. Tapi, uji coba bom hidrogen ini tidak membuat publik internasional ribut seperti uji coba rudal balistik beberapa hari sebelumnya yang membuat Jepang geram.

Baca juga: Mencermati Runtuhnya Pax Americana

Korut meluncurkan rudal balistik yang melewati langit Pulau Hokkaido, Utara Jepang. Rudal tersebut menempuh jarak sekitar 2.700 kilometer (1677 mil) dan mencapai ketinggian maksimum 550 kilometer (341 mil). Rudal ini diujicobakan setelah DK PBB menjatuhkan sanksi kepada Korut.

Awal Agustus lalu, DK PBB menjatuhkan sanksi berupa larangan ekspor batu bara, besi, bijih besi, timah hitam dan makanan laut. Produk-produk itu dilarang diekspor ke Korut. Sanksi lain, negara-negara yang tergabung dalam PBB juga dilarang meningkatkan jumlah pekerja dari Korut, serta melarang usaha patungan baru dengan negara yang dipimpin Kim Jong-un itu.

Baca Juga:  Prabowo-Gibran Menang Telak di Jawa Timur, Gus Fawait: Partisipasi Milenial di Pemilu Melonjak

Baca juga: Bagaimana Kalau Imperium Amerika Runtuh?

AS melalui Nikki Haley mengingatkan bahwa negara-negara yang tergabung dalam PBB agar jangan menganggap remeh temeh rudal Korut dan menganggapnya mudah diselesaikan, melainkan harus dipandang sebagai sebuah ancaman nyata.

Sebagai sekutu tradisional, China diberi tanggung jawab untuk mengontrol sanksi DK PBB terhadap Korut. Maksudnya, China adalah mitra utama Korut, terutama dalam bidang perdagangan. Sanksi itu dimaksudkan untuk menekan Korut agar tak lagi melakukan uji coba rudal balistik sebagai komitmen bersama menjaga stabilitas dan pedamaian terutama di kawasan.

Baca juga: Gerakan Anti China Mulai Muncul di Australia

China seperti dilematis. Di satu sisi, Korut adalah negara ekspor utama batu bara China. Begitu pula produk-produk Korut, China adalah pasar utamanya. Sebagai negara yang tergabung dengan PBB, China tentu berkewajiban mematuhi kesepakatan bersama DK PBB terkait sanksi yang dijatuhkan kepada Korut. Lalu apa yang terjadi?

Belum juga sanksi dijalankan, Korut kembali pamer senjata rudalnya. Artinya, tantangan terbesar China untuk menjadi negara adidaya dunia adalah dengan kemampuan mereka menjinakkan Korut.

Baca Juga:  Transparansi Dana Hibah: Komisi IV DPRD Sumenep Minta Disnaker Selektif dalam Penyaluran Anggaran Rp 4,5 Miliar

Baca juga: Haley, Korea Utara ‘Mengemis’ Perang

Sebagai negara yang berambisi menjadi imperium dunia di abad 21, AS memberikan peluang bagi China untuk melanjutkan program One Belt, One Road yang membentang di 68 negara guna menanamkan investasi dan pengaruhnya. China bahkan sudah mulai berani masuk ke kawasan Timur Tengah setelah sekian lama menjadi penonton, mengamati serta mencari celah.

Seperti diketahui, pada awal 2016 Presiden China Xi Jinping melakukan lawatan ke kawasan Timur Tengah. Kunjungan ke kawasan ini menjadi bersejarah kepemimpinan Xi karena China sebelumnya sangat berhati-hati di tengah ketegangan Sunni dengan Syi’ah Iran. Jika salah, Xi akan dituding mendukung salah satu dari mazhab, padahal selama ini berusaha netral.

Namun, China dewasa ini negara tirai bambu telah terbuka. Pemerintah China mulau bergaul erat dan menjalin mesra hubungan luar negerinya dengan Dunia Arab, dan jalinan kerjasama perang melawan aksi teror pun akhirnya dimulai, termasuk saling tukar-menukar informasi intelijen serta kerjasama teknis di lapangan. Bahkan China telah memberi sinyal mereka siap membantu mengatasi segala permasalahan rumit yang terjadi di kawasan.

Sementara itu, di sisi lain AS cenderung menarik diri. Pasalnya, AS yang diketahui mendukung ISIS telah kalah perang melawan Iran dan Rusia di Suriah. Artinya, Trump benar-benar ingin menerapkan semboyan America First  yang sejak kampanye hingga terpilih menjadi Presiden ke-45 AS semboyan itu tetap dijadikan pijakan utamanya dalam setiap kebijakan luar negeri AS. Tak hanya itu, AS juga tidak protes China membangun pangkalan militer di Djibouti, sebuah negara yang terletak di Afrika Timur tepatnya di Teluk Aden yang merupakan pintu masuk ke Laut Tengah. Secara geopolitik, letak Djibouti berada di posisi strategis sebagai pintu masuk selatan Laut Merah menuju Terusan Suez. Kawasan ini merupakan salah satu jalur tersibuk di dunia, di mana jutaan barel minyak negara-negara Arab dan Afrika melewati selat itu setiap harinya.

Baca Juga:  Kolaborasi dengan Rumah Sehat Rabu Biru, Titiek Soeharto Gelar Pemeriksaan Kesehatan Gratis di Desa Triharjo

Baca juga: Di Balik Rencana Kunjungan Kapal Induk AS ke Vietnam

Dengan kata lain, AS sepertinya hendak menyerahkan permasalahan rudal dan nuklir Korut kepada China di tengah kecaman dan tekanan dunia internasional. Sedangkan Trump hanya mewanti-wanti saja, bahwa program senjata nuklir Korut adalah permasalahan yang mesti diselesaikan oleh China. Seperti diketahui, Trump berupaya mengurangi peranan global AS dengan slogan America First, yang sekaligus merupakan fakta tentang semakin melemahnya Pax Americana. (ed)

(Editor: Eriec Dieda)

Related Posts

1 of 52