Puisi HM. Nasruddin Anshoriy Ch
MALAM INI KUCANGKUL LANGIT
Malam ini kucangkul langit seorang diri. Sebongkah cahaya kugali dalam dadaku, terus kugali hingga kilaunya membelah jiwa. Begitu lama kemarau ini meretakkan detak jantungku. Remuk sudah rindu ini.
Kucangkul sawah jiwaku yang tak pernah sempurna menumbuhkan benih-benih cinta yang bersahaja. Kucangkul langit dengan renta kata-kata sebab doa dan cinta telah lama bersemayam di lubuk jiwa.
Malam ini keningku berdarah, membentur batu-batu rindu pada sajadah biru. Kuketuk pintu-pintu taubat hingga berdarah bibir dan lidahku.
Kucuci cintaku dengan mata air cahaya, kucintai cahaya pada sepertiga malam penuh pesona.
Tuhan, ketatkan peluk ini pada cinta yang menggelora, pada sunyi yang mengobati ratap rindu di ulu hati.
Simak:
Di Masjid Istiqlal
Mencari Jalan Kembali, Di Capitol Hill
Kupetik Kilau Matahari di Kota Makkah
Doa Untuk Indonesia
Belajar Pada Lidah, Secangkir Kopi
LANGIT DI ATAS MADINAH
Langit di atas Madinah menumpahkan gerimis cahaya. Butiran tasbih dan tahmid menari dalam gerak gelombang di cakrawala.
Kupejamkan mataku agar menampung semesta cahaya. Jutaan malaikat menjadi kusir kereta kencana yang mengantar bermilyar sholawat ke puncak tangga.
Aku mengeja doa-doaku dengan gemetar dan terbata-bata, tapi tetap saja bibir terkunci oleh rasa nyeri sebab jelaga di dada tak juga sirna.
Bukankah seluruh Nabi pernah berdoa di sini, di Masjid Nabawi, dengan kata-kata yang tak bisa terucap oleh manusia biasa?
Di Raudlah, kutanam sisa-sisa nafasku agar tumbuh hutan cahaya di langit sana.
Kutanam rinduku agar bersemi pohon-pohon ampunan yang khusyuk bertasbih mengantarkan kepulanganku.
Satu sholawat kupersembahkan kepada Rasulullah Muhammad dengan air mata berlinang, satu sholawat berikutnya menyusul dengan jeritan hati yang meledak di dada, begitu seterusnya hingga ribuan sholawatku menjelma kilau permata.
*HM. Nasruddin Anshoriy Ch atau biasa dipanggil Gus Nas mulai menulis puisi sejak masih SMP pada tahun 1979. Tahun 1983, puisinya yang mengritik Orde Baru sempat membuat heboh Indonesia dan melibatkan Emha Ainun Nadjib, HB. Jassin, Mochtar Lubis, WS. Rendra dan Sapardi Djoko Damono menulis komentarnya di berbagai koran nasional. Tahun 1984 mendirikan Lingkaran Sastra Pesantren dan Teater Sakral di Pesantren Tebuireng, Jombang. Pada tahun itu pula tulisannya berupa puisi, esai dan kolom mulai menghiasi halaman berbagai koran dan majalah nasional, seperti Horison, Prisma, Kompas, Sinar Harapan dll.
Tahun 1987 menjadi Pembicara di Forum Puisi Indonesia di TIM dan Pembicara di Third’s South East Asian Writers Conference di National University of Singapore. Tahun 1991 puisinya berjudul Midnight Man terpilih sebagai puisi terbaik dalam New Voice of Asia dan dimuat di Majalah Solidarity, Philippines. Tahun 1995 meraih penghargaan sebagai penulis puisi terbaik versi pemirsa dalam rangka 50 Tahun Indonesia Merdeka yang diselenggarakan oleh ANTV dan Harian Republika.
Menulis sejumlah buku, antara lain berjudul Berjuang Dari Pinggir (LP3ES Jakarta), Kearifan Lingkungan Budaya Jawa (Obor Indonesia), Strategi Kebudayaan (Unibraw Press Malang), Bangsa Gagal (LKiS). Pernah menjadi peneliti sosial-budaya di LP3ES, P3M, dan peneliti lepas di LIPI. Menjadi konsultan manajemen. Menjadi Produser sejumlah film bersama Deddy Mizwar.
Sejak tahun 2004 memilih tinggal di puncak gunung yang dikepung oleh hutan jati di kawasan Pegunungan Sewu di Selatan makam Raja-Raja Jawa di Imogiri sebagai Pengasuh Pesan Trend Budaya Ilmu Giri. Tahun 2008 menggagas dan mendeklarasikan berdirinya Desa Kebangsaan di kawasan Pegunungan Sewu bersama sejumlah tokoh nasional. Tahun 2013 menjadi Pembicara Kunci pada World Culture Forum yang diselenggarakan Kemendikbud dan UNESCO di Bali.
Gus Nas juga merupakan Pengasuh Pesan Trend Ilmu Giri, Bantul, DIY