Puisi

Madura dan Mata Angin Banuaju – Puisi Kamil Dayasawa

Grafiti "Nenek Moyang Madura" di Taman Hiburan Rakyat Gotong Royong Sumenep/Ilustrasi SelArt/nusantaranews
Graffiti di Taman Hiburan Rakyat Gotong Royong Sumenep/Ilustrasi SelArt/nusantaranews

Madura

Manis air susumu terus kucecap meski telah lama aku minggat
Jauh dari riak selat, tak menyaksikan sampan-sampan tertambat
Seperti dulu di pangkuanmu, aku suka menghitung banyak layar berkibar
Pelaut datang dan pulang memanggul payang nenek moyang

Cangkir-cangkir kopi di kedai sunyi, ingatkanku akan tangan keriput
Biar jauh raga di tanah asing ini, kepadamu dua lengan tetap berpagut
Walau bukan sulung atau bungsu, yang selalu kau rindu
Namun aku anakmu sanggup menanggung luka paling batu

Kutahu telaga rahimmu kini ditambang para pendatang
Pulau-pulau terisak saksikan orang-orang bergegas ke Giliyang
Pengiris batu putih di Badur menahan getir di mata gergaji
Para petani menganga karena tanahnya dirampas anak sendiri
untuk dibangun pasar-pasar yang menjual produk luar negeri

Bocah-bocah tak datang ke langgar di surup hari untuk mengaji
Mereka sibuk mendengarkan nyanyi sumbang televisi
Malam-malammu tak lagi menebar harum bunga-bunga
Bintang-bulan tak datang lantaran sukar memandang ladang

Seribu luka di tubuhmu semerbak nanah menghambur ke udara
Cungkup-cungkup lengang ditinggal peziarah ke pusat kota
Kata orang; nabi baru telah tiba membawa berhala
Pujaan paling agung semesta harta, tahta dan wanita

Cangkul patah ulu dikubur waktu di pusara leluhur
“Pulang, Nak. Pulang ke timur!” suaramu lewat debur.
Tapi apa lagi bisa kutunggangi bila sapi karapan lelah berdiri?
“Bersama angin jadilah puing, jangan takut pada orang asing.”

Ibu, manis air susumu terus kucecap meski telah lama aku minggat
Beri aku petuah agar marwah cintaku menunjukkan satu alamat

Batang-Batang, 2016

Banuaju

Di bawah bulan perahu kau rentangkan dua lengan
Menunggu hujan datang menyiram
rumbai rambut panjangmu yang legam

Tanah kerontang membentang
Tetumbuhan jagung mekar kembang
di bukit dadamu yang gersang

Kutahu betapa pasang arus darah
Didera badai sepi dan sunyi

Panas napas api tungku
di sana selalu kau duduk menunggu
menghitung jumlah jari-jemari
seperti membilang berapa depa
panjang halaman rumah sendiri

“Tapi aku perempuan,
dilarang membangun harapan,” desahmu.

Kau kembang mawar baru mekar
Dipetik dari tangkai dan ditabur di atas tikar
Angin yang kau cintai tak bisa kau panggil kembali
Karena dinding putih halangi pandang matamu ke lembah kasih
Tempat hijau ilalang menari riang
di bawah naungan kemarau panjang

Tegak berdiri di muka dapur,
burung membisikkan suara timur
Malam menghambur ke makam leluhur,
kau hanyut dalam syukur

“Segala duka kupanggang di atas bara
Karena cinta, merah darah nganga luka.”

Bulan di angkasa tak mendengar kata-katamu
Seperti aku, tak sampai angan
memasuki sumur batinmu yang dalam

Banuaju
Banuaju

Piyungan, 2016

Mata Angin

Setiap menyusuri jalan kecil dan gambut
namamu senantiasa kusebut
karena tahu di depan akan kutemukan
gumpalan hitam kabut hutan
halangi pandang
pada buah-buah ranum di dahan

Pernah sekali aku meradang
semak berduri nasib tukang kebun
lalu kusaksikan onggokan batu-batu
hitam serupa puing bulan
Akar merambat panjang melilit hasrat perburuan
Irama angin pada daun
hanyutkan kecut rindu anak tahun

“Setiap jalan akan sampai pada simpang,
seperti garis tangan
Ke mana arah memanjang
di sana takdir membangun rumah bagi petualang.”

Kutahu semua itu karena kau mata angin,
membimbing langkah ke peraduan
tempat kawanan harimau lelap telentang,
menunggu hujan
sedang di atasnya
langit terang bagai bingkai kaca

Hingga kujumpa hamparan semesta
basah air mata kupu-kupu,
lantaran dendam saling memburu

Piyungan, 2016

__________________________

Kamil Dayasawa/Foto istimewa
Kamil Dayasawa/Foto istimewa

*Kamil Dayasawa, lahir di Sumenep, 05 Juni 1991. Alumni TMI. AL-AMIEN PRENDUAN, Sumenep dan kini Mahasiswa Sejarah dan Kebudayaan Islam, Fakultas Adab dan Ilmu Budaya-UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Puisi-puisinya dipublikasikan di media cetak lokal dan nasional. Puisinya juga termaktub dalam antologi: Estafet (2010), Akar Jejak (2010), Memburu Matahari (2011), Sauk Seloko (2012), Ayat-Ayat Selat Sakat (2013), Bersepeda ke Bulan (2014), Bendera Putih untuk Tuhan (2014) dan Pada Batas Tualang (2015) Ketam Ladam Rumah Ingatan (2016). Tinggal di: [email protected]

Related Posts

1 of 124