Lunturnya Budaya Gotong Royong

Kegiatan kerja bakti di Desa Demuk Kecamatan Pucanglaban. (Ilustrasi/Nusantaranews)

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Gotong royong merupakan salah satu budaya kearifanlokal masyarakat Indonesia. Seperti kerja bakti membersihkan lingkungan di sekitar kita. Namun, aktivitas ini sudah mulai langka dilakukan di lingkungan masyarakat atau meluntur kebudayaan ini. Terlebih lagi anak muda yang turut serta kerja bakti saat ini, hampir tidak ada.
Kerja bakti yang biasa dilakukan pada hari Sabtu atau Minggu kadang membuat kaum muda malas untuk terlibat. Pasalnya, di akhir pekan mereka biasanya refreshing atau bermalas-malasan. Bahkan kegiatan ini dianggap kegiatan yang membosankan. Bagi beberapa kaum muda bersih-bersih merupakan kerjaan yang membosankan.
Analis Sosilogi yang juga Analis Komunikasi Politik dari Universitas Pelita Harapan (UPH), Emrus Sihombing mengatakan, salah satu penyebab lunturnya gotong royong adalah kemajuan teknologi, media sosial misalnya. “Sehingga orang merasa tidak perlu melakukan sosialisasi. Efek dari media sosial itu menjauhkan yang dekat mendekatkan yang jauh,” ujarnya kepada nusantaranews.co saat dihubungi, Sabtu (12/8/2017).
Menurutnya, kebanyakan generasi muda sekarang sering berpikir dan bertindak global dibandingkan memikirkan dan berperilaku lokal seakan mengabaikan masyarakat lokal atau sekitar. “Prinsip bergotongroyong harus tetap digelorakan, tetapi juga membangun hubungan dengan dunia luar,” ucapnya.
Indonesia bisa merdeka karena adanya semangat gotong royong, kebersamaan dan bahu membahu. Kini semangat tersebut agak ditinggalkan, salah satu penyebabnya adalah penggunaan uang atau dana sebagai tolok ukur yang cukup untuk partisipasi dalam kegiatan kemasyarakatan.
Di beberapa desa bahkan secara nyata uang menjadi perusak semangat gotong royong warga desa. Kehadiran dalam sebuah kebersamaan pun terkadang diwakili dengan uang. Tidak hadir ronda cukup bayar denda. Tidak hadir dalam pertemuan cukup titip uang iuran. Tidak ikut kerja bakti cukup memberi sumbangan
Sifat emosional kebersamaan ini juga terjadi pergeseran nilai yang lebih mementingkan materialistik. Sekarang kebanyakan masyarakat berkalkulasi. Dengan uang yang dimiliki, masyarakat merasa bisa memperoleh apapun yang dibutuhkan. Rasa kebersamaan dan rasa persaudaraan itu tidak semua bisa dibeli dengan uang.
“Sehingga akibatnya banyak orang yang sukses yang memiliki materi, banyak orang pintar atau cerdas punya banyak materi tapi kosong jiwanya. Rasa sosialnya kosong,” tutur Emrus.
“Memang harus diakui ada pergeseran nilai-nilai gotong royong itu. Saya pikir yang harus paling bertanggung jawab adalah orang tua dan keluarga. Kenapa, karena keluarga adalah merupakan suatu kelompok kecil dari golongan masyarakat,” tandasnya.
Pewarta: Ricard Andhika
Editor: Eriec Dieda
Exit mobile version