KolomOpini

LIPI yang Sains Sentris dan Rujukan Literasi Politik

NUSANTARANEWS.CO – Pandangan awam –setidaknya saya—selalu menstigmakan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dengan kenaan hal-hal di bidang riset teknologi, ketahanan, pangan. Terutama dalam tangkup yang bersifat materiil. Saya meyakini, peranan dan fungsi macam itulah yang dirasa lebih besar manfaatnya untuk kemajuan Indonesia.  Tapi, LIPI juga melakukan riset dalam hal-hal lain di luar eksakta macam di atas. Riset tentang ilmu-ilmu sosial. Termasuk politik beserta amatan dari beberapa sering penelitinya tampil di layar kaca.

Jika demikian, LIPI adalah laboratorium untuk ilmu-ilmu berbasis politik, kebudayaan, bahkan agama. Ada perbedaan cukup kentara dalam diktum pada dua wilayah itu. Satu sisi, kemanfaatan LIPI pada riset berbasis eksakta yang jauh dari anasir-anasir politik, menyibakkan sebenar-benar kefaedahan banyak orang. Inovasi terhadap tetumbuhan menjadi obat berkhasiat sampai urusan jarum suntik yang teranggap sederhana, namun semakin lama justru menjadi soal yang tidak sepele.

Walhasil, LIPI rupanya telah menghasilkan produk dari hasil risetnya tentang alat penghancur jarum suntik (APJS). Kita tahu, sampah farmasi rawan disalahgunakan. Jarum suntik yang seharusnya sekali pakai, bisa saja digunakan oleh oknum, untuk kemudian “diolah” dan “dimanfaatkan” kembali demi pamrih benefit rupiah yang cukup banyak. LIPI dalam rilis berkait APJS, menyatakan alat tersebut mampu meleburkan bahan stainless stell alias baja jarum suntik yang bertitik lebur 1.200 derajat Celsius menjadi serbuk. Kita memafhumi jarum suntik sering menjadi tersangka sebagai media penyalahgunaan narkoba dan penularan penyakit.

Prinsip LIPI yang saya baca dalam eksistensinya belakangan ini adalah, bagaimana ikhtiarnya mengembangkan sesuatu yang bermasalah lantas diubah menjadi hal yang bermanfaat. Sila tengok bagaimana air banjir yang kotor itu bisa diubah menjadi air laik minum. Di banyak perkotaan besar macam Jakarta, banjir hampir-hampir selalu datang saban tiap ada hujan deras. Dalam satu sisi, banjir merupakan bencana dan kerepotan, tapi di sisi lain, bagaimana mengubah banjir menjadi hal yang berfaedah. Beruntunglah, LIPI bisa memberikan  sumbangsih berupa alat pengolah air banjir menjadi air layak minum.

Baca Juga:  Apakah Orban Benar tentang Kegagalan UE yang Tiada Henti?

Kita memaklumi, ada defisit air di banyak daerah kala musim kemarau. Tapi, menjadi paradoks karena kita hidup dalam alam Nusantara yang sebenarnya cukup air. Selain curah hujan tinggi, kita juga memiliki persediaan air laut. Air asin itu bisa menjadi air tawar layak minum sebagaimana keberhasilan LIPI mengubah air banjir yang seperti comberan menjadi air minum menyegarkan. Beberapa waktu lalu, diwartakan telah ada prototipe mengubah air laut menjadi air tawar bersebut Omitor. Kita mengharap, LIPI memainkan peran sinerginya dengan temuan mahasiswa tersebut.

Berkait sinergitas, sudah cukup banyak hasil riset LIPI di pelbagai bidang. Terutamanya pada ranah pangan dan kesehatan yang memiliki sentuhan kemanfaatan secara langsung dengan masyarakat. Semisal, suplemen penyerap kalsium untuk penderita diabetes, obat anti malaria atau kit untuk deteksi virus penyebab kanker leher rahim. Dari banyak temuan itu, kita sangat berharap kepada Pemerintah agar LIPI tidak sekadar “setor” riset, tapi ada upaya tindak lanjut yang koheren.  Dan, di banyak tempat pula, terutama pada civitas perguruan tinggi yang juga memiliki kegiatan riset, seyogianya perlu lebih saling tukar infomasi dan kerjasama dengan LIPI.

Baca Juga:  Rezim Kiev Terus Mempromosikan Teror Nuklir

Sekali lagi, LIPI juga bergerak pada riset ilmu sosial. Mengamati perpolitikan dan seluk-beluk kepentingan serba pragmatis itu. Sayangnya, urusan politik kadung menjadi absurd dan agaknya pada bentuk faktualnya, tidak banyak memberikan kefaedahan. Dan, sifatnya tidak bisa pula merangkul pada semua kepentingan politik demi asaa kemaslahatan. Selalu dihadapkan untuk kiranya menjadi acuan dan pegangan masyarakat bahwa seorang pengamat politik, dari lembaga apapun itu, kadung mempunyai persetujuan dan keberpihakan. Sulit merumuskan pijakan sikap independensi. Inilah tantangan sebenarnya LIPI dalam merumuskan sudut pandang derap geraknya kala terjun pada urusan politik dan semacamnya.

Posisi ideal LIPI adalah menyediakan gambaran yang benar-benar jernih dan konsekuen. Serta dapat menjadi pegangan dan panduan dalam melihat fenomena kekinian. Untuk saat ini, kita bisa memberikan gambaran ideal itu pada buku Politik Kelas Menengah Muslim Indonesia karya Wasisto Raharjo Jati. Buku dari salah satu peneliti LIPI dalam amatan saya, menyibakkan gambaran yang koheren serta lepas dari anasir-anasir SARA dan semacamnya. Lepas dari kekurangannya, buku itu mendapat sambutan luas. Buku yang tidak tebal dalam sisi lain telah berhasil mendudukkan beginilah gambaran ideal bagaimana LIPI –dan penelitinya— yang seharusnya dan semestinya.

Buku itu berhasil mengantarkan sebuah temuan dan gambaran yang senyatanya tidak memojokkan dan menyudutkan. Pengejawantahan riset Wasisto tersebut menjadi acuan dan kerangka bekerja bagaimana sebuah diktum ilmu-ilmu sosial itu seharusnya di riset dan ditulis. Masyarakat, setidaknya saya, bisa terpandu dari buku itu bagaimana melihat dan memotret dengan secara jujur dan jernih pada kebaruan dan dinamika masyarakat muslim Indonesia kelas menengah. Alhasil, keberimbangan merupakan kunci.

Baca Juga:  Amerika Memancing Iran untuk Melakukan Perang Nuklir 'Terbatas'?

Lantas, apakah sekadar berhenti di situ? Tentu tidak. LIPI dan penelitinya merupakan suara independensi, baik dalam riset maupun dalam ranah personal diri peneliti. Maka, ketika saya mencoba mengamati garis pijakan seorang Wasisto di ranah media sosialnya, tampak dengan jelas ada prinsip independensi yang terpatri. Dirinya menampakkan integritas dan keberimbangan. Sehingga dapat dibedakan, mana seorang peneliti LIPI, mana sekadar seorang pengamat politik. Peneliti LIPI dalam soal-soal ilmu sosial dituntut nihil kepentingan dari keramaian ingar bingar-dunia politik yang sangat menggoda. Dalam konteks ini, kita kiranya teringat pandangan etis Amartya Sen tentang kebebasan dalam buku Etika Berbasis Kebebasan (2017).

Keterbatasan institusionalisme sangat memerlukan perluasan lingkup kewajiban etis bagi setiap individu. Di bawah payung LIPI, penelitinya yang bergerak dalam ranah kajian sosial-politik, mestilah duduk sebagai sebenar-benar perimbangan. Mengapresiasi kinerja sebuah rezim pemerintah, sangat berbeda dengan gaya seorang pemuja (fenomena buzzer); lantaran LIPI adalah representasi Negara, bukan suara suatu rezim pemerintahan yang terus berganti-ganti aktor dan kepentingan politik. Walhasil, kita berharap, LIPI selain menjadi pusat riset-riset berbasis eksakta, seperti stigma dan keunggulannya selama ini; pun juga menjadi rujukan utama masyarakat berliterasi politik. Sehingga mereka dapat berpolitik dengan sehat dan rasional. Semoga!

*Muhammad Itsbatun NajihPenulis adalah Alumnus UIN Yogyakarta.

Related Posts

1 of 3