NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengungkapkan awal mula datangnya PT Freeport Indonesia ke negeri ini sebenarnya bukan untuk berbisnis murni. Melainkan menjadi alat presiden RI ke-2 Soeharto agar mendapatkan dukungan politik global.
“Karena orba (Orde Baru) itu tidak mudah untuk eksis di kancah internasional, membutuhkan satu dukungan politik kuat khususnya dari PBB,” ujar Peneliti Lipi, Suharsono dalam diskusi publik bertajuk Jangan Tunda Lagi Divestasi 51% dan Pembanguna Smelter PT Freeport Indonesia, di Hotel Morrissey, Jakarta Pusat, Senin (27/2/2017).
“Jadi dealnya seperti ini kira-kira silakan menambang di grasberg Papua, tapi tolong saya didukung oleh Washiton DC,” lanjut dia.
Lobi-lobi politik seperti itu kemudian dilanjutkan oleh rezim-rezim berikutnya. Akibatnya tumbuhlah perburuan rente yang dilakukan oleh oknum berkuasa ditanah air atau perusahaan.
“Akibatnya merugikan masyarakat, khususnya masyarakat di wilayah tersebut,” ucap dia.
Hal tersebut tentu sangat tidak baik jika terus berkelanjutan. Karenanya Ia menyarankan agar pemerintah serius dalam memperbaiki proses negosiasi dengan lobi-lobi politik seperti itu.
“Karena jaman seperti itu (lobi-lobi politik) sudah selesai,” tuntasnya.
Diketahui, proses negosiasi antara pemerintah dengan PT Freeport Indonesia hingga saat ini belum menemukan titik terang. Bahkan, President and CEO Freeport-McMoran Inc, Richard Adkerson, pernah datang ke Indonesia untuk bertemu dengan Menteri Keunangan, Sri Mulyani.
Baca:
Freeport Bukan Sebatas Sengketa Bisnis Tapi Geostrategic
Irisan Sejarah Freeport Yang Terlupakan
Membaca Kembali Geopolitik Indonesia di Mata Cina
Polemik berkepanjangan ini bermula dari perubahan status Freeport yang merujuk Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 (PP 1/2017) yang mengharuskan perusahaan tambang pemegang Kontrak Karya (KK) untuk mengubah status kontraknya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).
Namun, Freeport menolak aturan perpajakan dalam IUPK yang berbeda dari KK dan akan mengajukan kasus ini ke arbitrase internasional. Berbagai kalangan turut mengomentari persoalan yang tengah hangat diperbincangkan, mulai dari Presiden Joko Widodo hingga para pengamat.
Reporter: Restu Fadilah