Budaya / SeniCerpen

Lingkar Ramal

Cerpen: Kartika Demia

Irisan daging manusia itu dikecap nikmat dalam mulut Prabu Dewata Cengkar. Raja itu bersendawa keras setelah menjilati sisa-sisa rempah di jarinya. Alunan gamelan masih khusyuk menemani makan siangnya yang baru saja berakhir. Patih Jugul Muda menjetikkan jari—mengisyaratkan para dayang untuk segera membereskan isi meja. Prabu masih selonjoran, dengan tusuk gigi di tangan—mencungkili sisa urat di geraham. Sekejap kemudian wedang uwuh yang masih panas terhidang. Prabu Cengkar menyesapnya tandas.

“Siapkan keretaku. Aku mau nyambangi selir ketujuh belas.”

Pengabdian tergurat jelas saat Patih menatapnya. Dengan sikap santun dan penuh hormat, lelaki yang memiliki pesona tak terelakkan bagi siapapun wanita yang melihatnya itu lantas undur diri. Patih Jugul Muda, seorang utusan paling terpercaya dari Kerajaan Medang Kamulan itu segera menyiapkan kereta kencana berwarna emas. Beserta empat kuda hitam yang siap melaju dengan gagah.

Dalam siang yang tak begitu terik, Patih Jugul memacu kudanya. Hentakan keras tak lantas mengguncang tubuh besar Prabu dalam kereta. Raja beraut wajah keras itu khusyuk mengidung tembang jowo sesekali bahunya bergoyang akibat jalan yang terjal. Kekayaan kerajaan tak cukup layak untuk memperbaiki lubang-lubang di jalan daerah kekuasaannya. Harta berpundi yang ia kumpulkan, lebih memilih mengganti seonggok tubuh balita keluarga miskin dengan segepok koin emas.

Telah berwindu-windu Patih Jugul Muda membeli anak-anak pribumi untuk dimasak, lantas menghidangkannya kepada Prabu Cengkar yang tamak. Sang Raja mengingat lagi, kapan ia pertama kali mengecap daging manusia yang gurih itu. Kala ia belum genap tujuh tahun, ketika itu ia beserta ayahnya terdampar di tengah laut di atas sampan. Kapal ayahanda dibajak orang-orang hitam dari arah barat—seingatnya.

Lantas ketika mereka berdua terapung dan tak kuat menahan lapar yang kian menggerogoti lambung. Sang ayah mengiris daging di salah satu otot kakinya. Diberikannya sepotong kepada Dewata Cengkar dan sepotong lagi untuk dirinya sendiri. Sepotong daging itu telah menyelamatkan Cengkar.

Dua hari setelahnya mereka ditemukan nelayan, namun sang ayah telah menjejal kematian. Cengkar masih ingat, ayahnya merintih kesakitan dengan darah yang terus merembes keluar—meski disumpal dengan sobekan bajunya. Prabu Cengkar getir mengingatnya, ia mengembus napasnya ke jalanan seperti membuang masa lalu. Kenangan dengan ayahandanya itu lantas membuat ia lebih berani menantang hidup. Menjadi Raja dari Kerajaan Medang Kamulan yang zalim. Menjadi kegemaran pula ia memamah daging manusia. Ia telah menitah Patih Jugul Muda untuk selalu mencari tubuh balita hingga anak-anak. Mengutus tukang masak khusus untuk meramu bumbu-bumbu yang menambahkan  cita rasa dari kekenyalan daging manusia. Dewata Cengkar mencanduinya.

Baca Juga:  G-Production X Kece Entertainment Mengajak Anda ke Dunia "Curhat Bernada: Kenangan Abadi"

Ketika Patih Jugul Muda membukakan pintu kereta, sebuah joglo yang diapit pohon jejawi dan asam sudah terlihat di depan mata. Prabu Cengkar turun, dua orang dayang langsung mengantarnya menuju kamar dalem selir ketujuh belas. Ia tak pernah menempatkan selir-selirnya di kerajaan. Paras ayu wanita itu langsung semringah menyambut kedatangan Raja. Di tiga bulan kehamilannya, perutnya tampak sangat besar. Seolah bisa jadi besok sudah saatnya melahirkan. Wanita muda itu bernama Gendis Masayu. Saat itu perutnya dipijat oleh dukun bayi berumur renta. “Jabang bayi lanang, slamet-slamet!” pungkas nenek itu mengakhiri pengurutan.

Di luar ruangan itu, Patih Jugul Muda merasakan semilir angin yang mendesirkan dadanya. Ketika ia melihat Prabu mengelus-ngelus perut Masayu, sebersit cemburu tersirat di matanya. Lantas ia lemparkan pandangannya pada sekumpulan burung pipit di langit senja. Berharap rasa itu dibawa pergi oleh mereka.

“Mak Yah bisa menerawang, Ndoro Prabu,” jawab Masayu saat Prabu bertanya perihal kedatangan dukun renta tersebut. “Tebakannya selalu tokcer. Saya juga yakin kalau bayi dalam kandungan ini laki-laki.”

Prabu Cengkar menatap si dukun bayi, mengusap janggutnya sesekali mengangguk paham. “Apa kau bisa menerawang takdirku?”

Pertanyaan itu mengangetkan Masayu, namun tidak pada raut si dukun bayi. Dengan sikap  santun, Mak Yah mengangguk pelan dengan senyum hormat yang tak pernah lepas dari bibirnya. “Monggo, Ndoro Prabu.”

***

Prabu Cengkar tak bisa tidur, meski dingin begitu menyergap, pun tak ada suara bising jangkrik di luar sana. Sebentar-sebentar tubuhnya serong ke kiri, serong ke kanan. Sungguh seperti perjaka yang hendak dipaksa kawin. Semua itu karena omongan dari Mak Yah. Nenek tua itu mengatakan kematian Prabu Cengkar ada di tangan pemuda bernama Aji Saka. Bagaimana bisa seorang remaja bisa mengalahkan Raja bertubuh kekar sepertinya. Saat itu Prabu langsung marah, lantas langsung menghukum gantung si dukun bayi. Nyatanya, ucapan dari nenek itu masih terngiang di kepalanya dan sulit membuatnya terlelap.

Pagi buta, Prabu Cengkar memanggil utusan kepercayaannya. Patih Jugul Muda segera datang menghadap. Patih yang baru saja menyiapkan perencanaan upeti untuk pribumi, buru-buru menghadap Sang Raja. Dengan titahnya, Prabu Cengkar mengutus Patih untuk membunuh siapapun rakyatnya yang bernama Aji Saka. Dari bayi sampai renta, Patih telah mencari ke seluruh penjuru negeri untuk mencari nama Aji Saka. Nyatanya ia kembali dengan tangan kosong.

Baca Juga:  G-Production X Kece Entertainment Mengajak Anda ke Dunia "Curhat Bernada: Kenangan Abadi"

Berbulan-bulan Patih mencari Aji Saka ke seluruh negeri. Beserta puluhan pengawalnya, Patih berparas tampan itu menjelajah hutan-hutan dan daerah kekuasaan lainnya. Pada sore di bulan Sapar, hampir saja tercetus perang antara Kerajaan Medang Kamulan dengan Mataram. Penyebabnya adalah, kedatangan Patih Jugul Muda beserta rombongannya yang tiba-tiba di daerah kekuasaan lawan itu. Namun sebelum kesalah pahaman itu terjadi, Jugul Muda turun dari kudanya dan melarang pengawal menemaninya ke gerbang kerajaan lawan. Setelah jeda beberapa lama. Akhirnya Kerajaan Mataram mengerti maksud kedatangan Patih dari Kerajaan Medang Kamulan itu. Dengan politik mutualisme, akhirnya kedua pihak itu menyepakati, Kerajaan Mataram mau membantu pencarian seorang bernama Aji Saka, dengan imbalan bantuan keamanan jika serangan dari kerajaan lain datang menghadang. Nyatanya, tak pernah ada nama Aji Saka di muka bumi!

Irisan daging manusia yang dicecap Prabu sudah tak berasa gurih lagi di lidahnya. Ia hanya memikirkan Aji Saka. Pemuda itu harus ia makan seluruh daging hingga tulang-tulangnya!

Pada petang di permulaan bulan Rejeb, suara tangisan bayi terdengar nyaring di joglo selir Prabu Cengkar yang ketujuh belas. Gendis Masayu melahirkan. Bayi itu masih merah, Masayu tak pernah menyangka akan melahirkan di malam buta. Kedua dayangnyalah yang membantu persalinannya, bukan lagi Mak Yah yang malang. Tapi wanita renta itu tak pernah membawa kebohongan dalam mulutnya, sekalipun kematian merenggut. Sesaat sebelum tali pancung menjerat napasnya, mulutnya masih menyerukan nama Aji Saka.

Detik inipun, ketika Patih mengabarkan kepada Prabu Cengkar bahwa selir ketujuh belas bersalin. Memberikan bayi laki-laki yang sehat kepada Raja. Rempah-rempah yang sebelumnya tak menyokong rasa gurih pada irisan daging manusia di lidahnya, kini terasa nikmat. Ia menemukan cita rasa itu lagi. Dengan seringai mengembang, lantas ia berujar pada patihnya, “Bawa bayi itu kemari, akan kubuat nama Aji Saka benar-benar ada.” Kata-kata Prabu membuat tubuh Patih bergetar. Tanpa menunggu penjelasan apapun, Patih tahu, Sang Prabu akan menamai anaknya yang baru lahir itu dengan nama Aji Saka lantas membunuhnya, atau lebih keji lagi memakannya!

Dengan gigi gemeretak Patih meninggalkan Prabu, segera menyongsong Masayu dan bayinya di joglo. Patih menarik paksa bayi mungil dalam gendongan Masayu. Keringat dingin mengucur deras di pelipis sang Patih. Esoknya, dengan mata kepala sendiri Patih melihat Prabu Cengkar memenggal kepala bayi berkulit langsat pada malam buta. Lalu mengutus juru masaknya untuk memotong-motong bangkai bayi itu. Menjadikannya berpotong-potong daging. Beriris-iris cita rasa yang akan segera dicecap Sang Raja.

Baca Juga:  G-Production X Kece Entertainment Mengajak Anda ke Dunia "Curhat Bernada: Kenangan Abadi"

Ketika Prabu menjilati rempah-rempah yang menempel pada irisan daging anak manusia itu, ia mengingat lagi rasa yang dicecapnya ketika mengulum irisan daging sang ayah. Tak kan pernah ada yang senikmat itu. Tak kan pernah ada.

***

“Jangan bawa anakku!” Tubuh lemah Masayu yang baru saja melahirkan tak dapat mengimbangi kekuatan Patih.

Telunjuk Patih Jugul Muda menutup bibir Masayu dengan lembut. “Dengarkan aku, akan kutukar bayi ini dengan bayi pribumi di luar sana. Tenanglah, pribumi ini dapat dipercaya. Bayi ini tak akan kekurangan suatu apapun karena aku akan menghidupinya dengan layak.”

Wanita itu masih berurai airmata, sakit berpisah dari anaknya lebih perih dari luka bersalin yang tertinggal di raganya. Masayu terus mengecupi bayinya, Patih memandangnya penuh kasih, menjelaskan bahwa wanita itu bisa kapanpun menjenguk bayinya di luar sana tanpa sepengetahuan Sang Raja. Malam itu bagai badai dalam kehidupan Masayu. Setelah mengandung buah cintanya selama sembilan bulan, kini karena ambisi Prabu Cengkar, ia dan bayinya harus berpisah. Ia tak ingin nasib bayinya berakhir menjadi irisan daging dalam piring makan malam Raja.

“Akan kauberi nama apa anak kita?” tanya Masayu lirih kepada Patih Jugul Muda.

Patih itu menatap Masayu lembut, “Aji Satrio Kamulan. Suatu saat nanti orang-orang akan menyebutnya Aji Saka.”

21 Oktober 2016

Catatan;

Jabang bayi lanang, slamet-slamet: Calon bayi laki-laki, semoga selamat.

Medang Kamulan; Kerajaan ini dikatakan setengah mitologis karena tidak pernah ditemukan bukti-bukti fisik keberadaannya. Sumber-sumber mengenai kerajaan ini hanya berasal dari cerita-cerita rakyat, misalnya dalam legenda Loro Jonggrang, dan penyebutan oleh beberapa naskah kuno. Cerita pewayangan versi Jawa menyebutkan bahwa Medang Kamulan adalah tempat bertahtanya Batara Guru. Dalam legenda Aji Saka, Medang Kamulan adalah negeri tempat berkuasanya Prabu Dewata Cengkar yang zalim. Cerita rakyat lain, di antaranya termasuk legenda Loro Jonggrang dan berdirinya Madura, menyatakan bahwa Medang Kamulan dikuasai oleh Prabu Gilingwesi.

____________________________________

Kartika Demia, penulis baru yang gemar nonton film. Beberapa cerpennya dimuat di Malang Pos, Flores Sastra, Haluan Padang dan Harian Rakyat Sultra. Bisa dihubungi di [email protected]

__________________________________

Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi (berdonasi*) karya baik berupa puisi, cerpen, esai, resensi buku/film, maupun catatan kebudayaan serta profil komunitas dapat dikirim langsung ke email: [email protected] atau [email protected].

Related Posts

1 of 39