NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Nafasku berjeda, tatkala memelototi angka-angka yang sungguh memiriskan hati. Demikian curah Mekhaer Pakkana dari Ahmad Dahlan School of Economics, Jakarta. Data yang dimaksud ialah data dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang diolah, IDEAS mengonfirmasi per Januari 2018, dari sekitar 246 juta rekening di perbankan, 98,1% dimiliki nasabah yang simpanannya di bawah Rp100 juta.
“Komposisi dana simpanan ini hanya 14.1% dari total simpanan perbankan. Bandingkan, kelas terkaya yang hanya 1,9% jumlah nasabahnya, justru menguasai 85,9 persen dari total simpanan,” kata Mukhaer Pakkanna kepada redaksi NUSANTARANEWS.CO, Senin (16/4/2018).
Baca:
- Holding BUMN Pertanima dan PGN: Ambisi Utang Besar dan Mega Proyek di Tahun Politik
- Pembangunan Ekonomi-Politik Dinilai Hanya Ilusi Developmentalisme Jokowi Belaka
- Liberalisasi dan Demokratisasi Meningkat, Pamor Ideologi Pancasila Menurun
Yang lebih menyakitkan, kata dia, jika direratakan simpanan di bawah Rp100 juta, ternyata mereka memiliki simpanan di bawah Rp3,1 juta. Sementara kelompok kaya di atas Rp100 juta, terutama yang di atas Rp5 milyar simpanannya, ternyata rerata memiliki Rp27,7 milyar. “Ini ada kontras luar biasa antara Rp3,1 juta dan Rp27,7 milyar,” ujarnya.
Kekontrasan ini, lanjut dia, belum menghitung jumlah aset tetap dan bergerak yang dimiliki oleh lapisan atas, terutama aset lahan, properti, dan simpanan (investasi) dalam bentuk lain (saham, obligasi, dll).
“Maka, rasio gini yang hanya 0,39 sejatinya itu “ngibul”, karena hanya menghitung aspek pengeluaran, bukan aspek pendapatan dan penguasaan aset-aset yang lain. Saya agak yakin rasionya 0,75,” kata Mukhaer.
Ia pun menyamapikan, tidak mengherankan, pasca krisis global 2008, kekayaan 40 orang terkaya Indonesia terus terdongkrak dari US$20,6 milyar (2008) menjadi US$119 miyar (2017). Demikian pula konsentrasi sumberdaya materi meterial power index (MPI) juga menganga lebar dalam rentang 10 tahun.
MPI-40 artinya, jelasnya, membandingkan rerata kekayaan 40 orang terkaya dengan rerata pendapatan per kapita. Pada 2008, MPI-40 hanya 1:1 juta maka pada 2017, MPI-40 menjadi 1:8 juta. Ini mengirim pesan, 1 orang terkaya kekayaannya berbanding 8 juta orang.
“Maka, saya agak yakin, 4 orang paling kaya dari 40 orang terkaya ekuivalen kekayaannya sama dengan 100 juta orang,” hemat Mukhaer.
Baca juga:
- Infid: Ketimpangan Sosial di Indonesia Meningkat
- Cita-cita Kemerdekaan Dinilai Tercegat Oleh Melebarnya Ketimpangan Ekonomi dan Kemiskinan
- Ketimpangan Dinilai Ancaman Nyata Bagi Kesatuan dan Persatuan Bangsa
Dia bertanya, mengapa ketimpangan ini makin menganga lebar?. Boleh jadi dipicu oleh (pertama) liberalisasi kontestasi politik.
“Saya menduga, liberalisasi politik hanya memproduksi kebijakan ekonomi yang makin memuluskan pemilik modal raksasa. Hampir pasti, pemilik modal raksasa inilah yang sesungguhnya menyuplai kebutuhan material para kontestasi politik. Mereka melakukan perselingkuhan yang makin dahsyat, terutama pada lingkaran elit politik, apapun partainya,” kata dia.
Kedua, sambungnya, geliat dunia perbankan, apapun mereknya, business as usual, yakni mengawetkan ketimpangan. Tidak ada industri perbankan yang mau rugi, bank bukanlah usaha biasa tapi semacam drakula yang hanya menghisap kekayaan, apalagi setelah bank-bank asing bebas masuk menguasai 99% saham perbankan nasional.
“Sepanjang masyarakat masih bertransaksi dengan perbankan, jangan harap ketimpangan pendapatan dan aset akan mengecil. Karena itu, bagi umat Islam, instrumen-instrumen zakat, infak, shodaqah (ZIS), menghidupkan baitul maal, koperasi rakyat, optimalisasi waqaf, hingga Sukuk, yang bisa menggerakkan pemerataan dan menyapa rakyat,” tegas Mukhaer Pakkana.
Pewarta: Achmad S.
Editor: M. Yahya Suprabana