Puisi

Lewat Lorong Langit, Ulah Waktu, Laut Pun Berlutut

Kepada Umniyaty dan Puisi-puisi Ahmad Nyabeer
Ilustrasi – (Foto: Amang Rahman Jubair/Anak Wayang)

Lewat Lorong Langit

lewat lorong langit pikirku dikadali
ada kalimat kurang ajar, juga
muka purba yang melengkung di barat laut
sehabis bidadari mandi
lewat lorong langit temu genang. –bayang malam
luruh menghujam kedalaman rasa,
kisah juga membasah atas ulah ricuh awan
yang menyihir dirinya sendiri jadi
lebat hujan yang yah. –yang wah!
lewat lorong langit aku dipaksa
jelajahi taman purba. membuka jendela silam
yang minta dibuka lagi. lalu?

2019

 

 

Ulah Waktu

—waktu senggang jadi ladang
taburtabur kata rahasia yang
bakal melahirkan cinta amat ranum
berbunga emas cincin. pun buah cium
waktu hujan jadi kesuburan
raut silam yang akan melahirkan
kenang—bayang. gerimis kedip,
kremun cium, lebatpun senyum
: ah, langit bertutur

2019

 

 

Laut Pun Berlutut

—lalu laut berlutut pada Musa
bukan sebab tongkat,
tapi kun-Nya. –laut beringas
semula memberi sila
tiba-tiba tiba: merampas nyawa
dari semesta. taubat pun hanyut
kehilangan jejak Musa dan hamba
: ada lega bernapas sedih
mengantar kelintirnya si kafir di
laut yang tak jadi belah

2019

 

Kelintir

maka kita hanyut pada
duka sendiri: menuju kenang sungai purba
danau perjumpaan—perceraian
pun lautan sepi, jurang jungkal
kasih yang sengal di
alir kecil sungai menuju mulut laut
maka kita menuju kisah berdarah, wewajah
tumbuh liar di dekat aliran nanah
juga air lewat lebam sepasang mata
ada yang hanyut tak menemui bendung
terus mengalir sampai
ke sakit sendiri, ke luka sendiri,
ke bayang sendiri.
ada alir darah yang darah, ada yang
tumbuh di sepasang mata hati yang mati
masih mengalir liar;
masih melayati diri sendiri

2019

 

Ini Langkah Menuju ke Mana?

ada langkah maut hendak
melucuti ruhruh, menendangi tubuh, dan
menyihir langkah biar bersauh
menuju gerowong sepi. sebaris papan rebah
tak melonjak langit
dimana letak napas cinta? –sebatas hari kusut
dan semrawut juga penungguan
yang ruwet. ada yang berumah malam,
cuaca sedih, dan jendela seperti
mengunci diri sendiri. ini sisa cinta bagai hari
yang selalu malam, taman dan
jalanan kehilangan lelampu dan bising
kesyahduan pagi selalu pergi
hilang. –tinggal pembaringan malammalam

2019

 

 

 

 

 

 

Riwayat penulis: Wahyu Hidayat ialah mahasiswa Universitas Muhammadiyah Kotabumi (UMKO). Ia merupakan penulis sekaligus seniman dari Lampung Utara. Ia pernah mendapatkan juara 3 cipta puisi nasional di Purwokerto, memenangkan cipta puisi di Kampus Sastra Indonesia (KSI), dan juara 1 cipta puisi yang diadakan oleh LDK STKIPM Kotabumi.

Wahyu Hidayat berdomisisli di Purwosari, RT 002 RW 006, Desa Ratu Abung, kecamatan Abung Selatan, kabupaten Lampung Utara. Email [email protected]. IG Wahyuuciha376.

Related Posts

1 of 3,051